Beberapa
waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan ulah tak bermoral seputar penyadapan yang dilakukan Amerika atas perbincangan orang
nomor satu di negeri kita yang semestinya merupakan wilayah rahasia. Tidak usah heran! Itu sudah biasa bagi Negara yang
setia mempraktekkan standard ganda, yaitu Amerika, hingga Vladimir Putin sempat
berseloroh, “Saya iri pada Obama yang bisa memata-matai Negara berdaulat dan
tidak mendapat konsekuensi apa pun.” Belakangan, mulai terungkap pula ternyata
kelompok-kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam di Timur Tengah, semisal
di Suriah, juga dibentuk oleh Amerika bersama para sekutunya, utamanya
Israel.
Tidak
ada satu kedutaan besar negara di dunia yang tidak melakukan aktivitas
intelijen sevulgar Amerika di negara yang ditempatinya. Urusan penilaian
terhadap kondisi negara yang menjadi wilayah kedutaan merupakan tugas wajib
duta besar dan diplomat yang bersamanya. Bagi negara yang tidak memiliki
ideologi, keberadaan kedubes paling-paling hanya terbatas pada urusan kerja
sama bilateral antarkedua negara di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan
hankam. Sifatnya pasif. Sementara bagi negara yang memiliki ideologi, duta besar
dan diplomat memiliki tugas yang jauh lebih besar dari itu. Mereka bisa
memiliki agenda sendiri di luar urusan-urusan resmi terkait dengan negara di
mana mereka bertugas. Mereka bisa saja bertugas menghancurkan negara sasaran
termasuk memasok senjata dan sejenisnya. Dalam hubungan diplomatik, telah
menjadi konvensi internasional bahwa para diplomat memiliki kekebalan
diplomatik, tidak hanya menyangkut fisik/diri diplomatnya tapi juga segala yang
bersama dengan diplomat itu seperti barang, dokumen, dan sebagainya. Negara
yang dituju tidak boleh memeriksa itu. Makanya, korps diplomatik dalam beberapa
kasus di dunia menjadi alat kejahatan yang luar biasa.
Di
Indonesia, campur tangan Amerika telah begitu lama dibiarkan, hingga
lambat-laun mengangkangi bangsa ini.
Sejak
Indonesia Merdeka
Awalnya, masuknya
AS itu untuk mematahkan penyebaran komunis di dunia, termasuk di Indonesia. Keluarlah Truman Doctrine
pada 1947, untuk mengepung komunis dan kemudian disusul Marshall Plan tahun
berikutnya guna membangun kembali Eropa dari puing-puing akibat PD II. “Ketika
tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi
1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep
Angkatan Darat AS.” (Gouda & Zaalberg: Indonesia Merdeka Karena Amerika?
Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia 1920-1949; 2008). Bahkan AS
diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya
pada 18 Desember 1948.
Dalam
rangka menjatuhkan pemerintah Soekarno, Amerika membantu pemberontakan PRRI/PERMESTA. AS menurunkan kekuatan besar. CIA menjadikan Singapura, Filipina
(Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan, dan Korea Selatan sebagai pos suplai
dan pelatihan bagi pemberontak. Pada 7 Desember 1957, Panglima Operasi
AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan Panglima Armada ke-7 (Pacific)
Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan AL-AS yang berbasis di Teluk Subic
untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan penuh tanpa boleh berhenti di mana
pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine, di bawah pengawalan sejumlah kapal
penjelajah dan kapal perusak disertakan dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan
itu untuk mengamankan instalasi perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru,
Riau.
AS
memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap dengan amunisi dan aneka
granat. Amerika juga mendrop sejumlah alat perang berat seperti meriam
artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat tempur dan pembom,
dan sebagainya. Awalnya Amerika membantah terlibat, namun sebuah pesawat
pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem penangkis serangan udara
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pilot pesawat itu Allan Lawrence
Pope berhasil ditangkap hidup-hidup. Ia terbang atas perintah CIA.
Puncaknya
ketika Amerika berada di balik pemberontakan G 30 S/PKI. Banyak dokumen
dan literatur membongkar keterlibatan CIA-yang merangkap sebagai
diplomat-di dalam peristiwa Oktober 1965 tersebut. Atas nama pembersihan
kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar nama kematian (The
Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di Indonesia kepada
Jenderal Soeharto. Namun yang dibunuh bukannya 5.000 orang, Kol Sarwo
Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama
di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil
dihabisi, termasuk orang yang tak tahu apa-apa. Inilah tragedi kemanusiaan
terbesar setelah era Hitler.
Buku
“Membongkar Kegagalan CIA” karya Tim Weiner, wartawan The New York
Times, mengungkap bagaimana para diplomat AS yang juga perwira CIA berhasil
merekrut Adam Malik sebagai agen mereka.
Tim
Weiner menulis, “CIA berusaha mengonsolidasi sebuah pemerintah bayangan, sebuah
kelompok tiga serangkai yang terdiri atas Adam Malik, Sultan yang memerintah di
Jawa Tengah, dan perwira tinggi angkatan darat berpangkat mayor jenderal
bernama Soeharto.
“Malik
memanfaatkan hubungan dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia
dengan Duta Besar Amerika yang baru di Indonesia, Marshall Green. Sang Duta
Besar mengatakan bahwa dia bertemu dengan Adam Malik “di sebuah lokasi rahasia”
dan mendapatkan “gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto
dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan”
buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang
mereka pimpin, yang disebut Kap-Gestapu.
Doktrin
Arthur-Churchill
Pada
Perang Dunia II, Jenderal McArthur dan Winston Churchill membuat doktrin yang
dikenal kemudian dengan sebutan ‘Doktrin McArthur-Churchill’. Ini adalah suatu
skenario penguasaan kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II. Khusus
bagi Indonesia, doktrin ini membagi Kepulauan Indonesia menjadi tiga
kawasan, yakni Kawasan Malesia (Sumatera dan
Kalimantan), Kawasan Melanesia (Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara, dan Papua), dan Pusat Layanan(Jawa dan Bali).
Menurut
doktrin itu, kawasan Malesia disubordinasikan ke Semenanjung Malaysia dan
Daratan Asia Tenggara, menjadi ‘Great Malesian Region.Sedangkan
Kawasan Melanesia disubordinasikan ke Kepulauan Philippines dan
negara-negara Pacific (Australia dan sekitarnya), menjadi ‘Great
Melano-Polynesian Region.’ Terakhir Pulau Jawa dan Bali yang menurut
rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis
Singapura.
Doktrin
itu menjadi acuan acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia
secara geostrategis maupun geopolitik. Tampaknya doktrin ini masih berlaku dan
semakin terbukti dengan adanya cengkeraman Amerika yang kian kuat di Indonesia.
Bisa jadi Kedubes AS di Jakarta akan menjadi pusat layanan di kawasan ASEAN dan
Pasifik seperti yang direncanakan doktrin tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar