(Foto: Presiden Alawi Suriah Bashar Al-Assad bersama Asma Al-Assad saat menjamu anak-anak Yatim-Piatu Kristen Orthodoks)
oleh Sulaiman Djaya (esais & penyair)
Suriah, atau yang dalam literatur kuno juga
disebut Aramia, berada di salah satu persimpangan jalan di dunia kuno , tempat bertemunya jalur kafilah dari
kawasan Laut Tengah menuju ke Cina dan dari Mesir menuju ke Anatolia. Dahulu kala,
di jaman-jaman sebelum pentarikhan Masehi, bala tentara Akkadia, Babilonia,
Mesir, Persia, Yunani, dan Romawi pernah melintasinya. Dan berabad-abad
kemudian, orang-orang Turki dan para ksatria Perang Salib melintasinya. Sementara
itu, pada zaman modern, bala tentara Prancis dan Inggris saling berperang untuk
menguasainya. Saat ini, sebagian kawasan itu dikenal dengan sebutan yang
digunakan di masa-masa ribuan tahun yang lampau—Syria (di mana orang-orang Indonesia
menyebutnya Suriah). Meskipun Suriah telah banyak berubah, apalagi akibat
perang saat ini, gema sejarahnya masih tetap bergaung dan bergema di sana.
Sebagai contohnya adalah Damaskus, yang
juga jadi ibukota Suriah. Konon, kota itu adalah salah satu kota
tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni sejak didirikan. Damaskus, yang
terletak di kaki Pegunungan Libanon dan dilalui aliran Sungai Barada ini, telah
berabad-abad lamanya menjadi oasis yang dinanti-nantikan di tepi Gurun Suriah
yang luas. Kemungkinan besar, dahulu kala, Ibrahim as melintasi kota ini dalam
perjalanannya ke selatan menuju Kanaan (Funisia atau Fenisia). Dan, di sana
pula ia mengambil Eliezer, ”yang orang Damaskus (Damsyik)”, menjadi anggota
rumah tangganya sebagaimana dinarasikan Kitab Kejadian 15:2.
Meski mayoritas warga Suriah saat ini adalah
muslim Sunni, namun di Suriah terdapat ‘kota suci’ ummat Kristiani Suriah (dan bahkan
dunia), yaitu Antioch, yang tentulah sudah tidak asing lagi bagi Ummat
Kristiani Orthodoks di Dunia (seperti bagi Ummat Kristiani Rusia dan Ummat
Kristiani keturunan Suriah di Kerala, India). Demikian pula, Gereja Antioch
Purba dikisahkan dalam Kitab Kisah Para Rasul. Maka tak heran, bila Bashar
Al-Assad sebagai Presiden, yang kebetulan muslim
Sunni itu, pernah melontarkan pernyataan: “Hanya Vladimir Putin-lah yang
membela ummat Kristiani”
Dalam Kitab Kisah Para Rasul itu disebutkan,
misalnya, sepeninggal Isa Al-Masih putra Maryam yang disucikan, Rasul Petrus
bertugas sebagai patriark yang pertama di Anthiokia. Selama tujuh tahun Rasul
Petrus menjalani misi sucinya, sebelum bertugas ke Roma. "Sejak saat itu
ajaran Kristen mengalami proses Helenisasi, diikuti dengan Westernisasi".
Demikian pula kecantikan perempuan-perempuan
Suriah bukanlah dongeng semata, termasuk kecantikan perempuan-perempuan
Kristiani dari etnik (bangsa) Armenia dan Assyria itu, yang barangkali pula
juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para mujahilin ISIS. Terkait dengan
saat ini, ummat Kristiani Suriah pun berjuang bersama dengan saudara-saudara
mereka yang Sunni dan yang Syi’ah untuk melawan mesin-mesin (geng-geng perang)
bentukan aliansi Israel, Mamarika (Amerika), Rezim Al-Saud (Saudi Arabia),
Qatar, Turki (Erdogan anak buahnya Amerika) dkk.
Suriah ini pulalah yang dahulu kala dikunjungi
Rasulullah Muhammad saw dan Abu Thalib (ayahnya Imam Ali), di mana kala itu,
sang pemimpin ummat Kristiani Suriah, yaitu Buhaira (Bahira), menjamu rombongan
Rasulullah dan Abu Thalib di rumahnya sendiri. Inilah negeri Syams yang
kemasyhurannya sampai ke kawasan-kawasan Makkah dan Madinah kala itu, negeri
tempat di mana Khadijah Al-Kubra mengirimkan komoditas dagangnya, negeri di
mana Rasulullah dulu menjadi duta dagang Khadijah Al-Kubra, sebagaimana
dinarasikan Martin Lings berikut:
“Pada suatu ketika, saat Muhammad berusia
sembilan tahun, atau menurut riwayat yang lain dua belas tahun, pergi bersama
kafilah saudagar ke negeri Syria (Syam). Di Bostra, di dekat sebuah tempat
persinggahan para saudagar Mekah, berdiri sebuah biara yang dihuni seorang
pendeta Kristen dari masa ke masa. Ketika sang pendeta meninggal, yang lain
menggantikannya dan mewarisi semua yang ada dalam biara, termasuk
manuskrip-manuskrip kuno. Di antaranya ada satu manuskrip yang berisi ramalan
tentang datangnya seorang nabi pada masyarakat Arab. Bahira, pendeta yang
sekarang hidup di biara tersebut, benar-benar menguasai kandungan kitab ramalan
itu. Ramalan tersebut membuatnya sangat tertarik karena, seperti halnya
Waraqah, dia merasa yakin nabi tersebut akan datang pada masa hidupnya.
Bahira sudah sering melihat kedatangan kafilah
Mekah yang singgah tak jauh dari biaranya. Tetapi, kali ini perhatiannya
terpaku pada sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya: segumpal awan
bergelayut rendah bergerak pelan di atas kepala mereka sehingga awan itu selalu
berada di antara matahari dan satu atau dua musafir dari kafilah itu. Dengan
sangat tertarik, Bahira melihat dari dekat. Tiba-tiba perhatian Bahira berubah
menjadi kekaguman, karena begitu mereka berhenti, awan itu pun berhenti bergerak.
Awan itu tetap menggumpal di atas pohon yang di bawahnya mereka (yang di antara
mereka itu adalah Muhammad yang masih remaja) berteduh, sementara pohon itu
menundukkan dahan-dahannya di atas mereka. Dengan demikian, mereka berteduh di
bawah dua naungan. Bahira tahu bahwa pertanda itu, walaupun tidak menonjol,
mempunyai signifikansi yang tinggi. Hanya seseorang yang memiliki kepekaan
spiritual yang bisa menjelaskannya. Dan dia segera berpikir tentang nabi yang
diharapkan itu. Benarkah akhirnya ia datang juga, dan berada di antara
musafir-musafir itu.
Biara itu baru saja mendapatkan berbagai
persediaan makanan. Bahira menyuguhkan semua yang dimilikinya dan berkata
kepada para musafir, “Wahai kaum Quraisy! Aku telah menyediakan makanan untuk
kalian. Aku berharap kalian semua datang kepadaku, tua dan muda, budak maupun
orang merdeka.” Maka mereka pun datang ke biaranya. Tetapi, sekalipun Bahira
telah berkata demikian kepada mereka, mereka meninggalkan Muhammad di belakang
untuk menjaga unta dan barang-barang mereka. Ketika mereka mendekat, Bahira
menatap wajah mereka satu persatu. Namun tak satu pun yang ia lihat sesuai
dengan penggambaran dalam kitabnya; tidak juga ada seorang pun di antara mereka
yang pantas bagi kebesaran dan mukjizat itu. Barangkali mereka belum datang
seluruhnya.
“Wahai kaum Quraisy,” seru Bahira, “jangan
sampai ada seorang pun dari kalian yang tertinggal.” “Tidak ada seorang pun
yang tertinggal,” jawab mereka, “kecuali seorang lelaki yang masih
kanak-kanak!” “Jangan perlakukan dia seperti itu!” Ucap Bahira. “Ajaklah dia ke
sini! Biarkan dia hadir bersama kita dalam perjamuan makan ini.” Abu Thalib dan
yang lain pun saling menyalahkan atas kecerobohan mereka. “Kita benar-benar
terkutuk,” tukas salah seorang di antara mereka, “putra-nya Abdullah kita
tinggalkan di belakang dan tidak turut makan bersama kita!” Segera ia
menemuinya dan memeluknya, lalu membawanya duduk bersama yang lain.
Pandangan sekilas ke wajah pemuda itu cukup
bagi Bahira untuk menjelaskan adanya mukjizat tersebut. Selama perjamuan itu,
dia menatap Muhammad dengan seksama dan dia menemukan beberapa bagian dari
wajah dan badannya yang cocok dengan yang dilukiskan dalam kitabnya. Maka,
setelah mereka selesai bersantap, Bahira menghampiri tamu termudanya tersebut
dan menanyakan tentang pola hidupnya, tidurnya, dan urusannya sehari-hari.
Muhammad pun menjawab semua yang ditanyakannya dengan sigap, karena pendeta itu
patut dihormati, dan pertanyaan-pertanyaannya pun diajukan dengan sopan dan
baik. Muhammad juga tidak ragu-ragu melepaskan jubahnya ketika diminta pendeta
itu agar dapat melihat punggungnya. Bahira telah merasa yakin karena di tempat
itu, di antara kedua punggung Muhammad, ada sebuah tanda yang ia lihat, sebuah
tanda kenabian pada tempat yang persis seperti yang digambarkan dalam kitabnya.
Bahira pun kembali ke Abi Thalib. “Apa
hubunganmu dengan anak itu?” Bahira bertanya. “Dia anakku!” Jawab Abi Thalib.
“Dia bukan anakmu. Tidak mungkin ayahnya masih hidup!” Tegas Bahira. “Dia anak
saudaraku!” Kata Abi Thalib. “Lalu siapa ayahnya?” “Dia telah meninggal,” jawab
yang lain, “ketika pemuda itu masih dalam kandungan ibunya.” “Itu yang benar!”
Ujar Bahira. “Bawalah anak saudaramu ini ke negerinya, dan lindungilah ia dari
kaum Yahudi. Demi Tuhan, kalau mereka melihatnya dan tahu seperti aku
mengenalnya, mereka akan berbuat jahat terhadapnya!”
(Foto: Para ‘Ulama Islam bersama para Patriarkh Kristen Orthodoks)