Oleh GIOVANIRONI
JEREMY
Banyak orang menganggap operasi Barbarossa
(1941) adalah salah satu operasi paling fenomenal yang pernah ada. Namun, tak
sedikit yang mengklaim ini menjadi salah satu blunder terbesar yang dilakukan
oleh Hitler semasa perang dunia II. Benarkah demikian? Bukankah Hitler memang
berniat menginvasi Soviet sejak awal? Namun atas dasar pikiran apa mereka
melabelkannya sebagai blunder? Pernyataan dibawah akan menjawabnya.
MISKALKULASI
KEKUATAN SOVIET
Komando Tinggi Jerman pada masa itu
mengkalkulasikan jumlah pasukan Soviet (Rusia saat ini) yang dimobilisasi pada
akhir 1941, sebanyak 825 divisi dalam jumlah total[1] dan
kemudian meningkat mencapai total 10 juta prajurit[2].
Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa Soviet tak pernah kehabisan
pasukan. Sehingga sebanyak apapun Jerman menghabisi tentara Soviet (bahkan
tercatat sampai 3 juta tawanan), tetap tidak berpengaruh dalam kekuatan pasukan
Grand Army yang masih memiliki 7 juta prajurit. Disinilah miskalkulasi fatal
itu dilakukan. Dalam pertempuran, Soviet sukses mengatur ulang defense of
Moscow dengan sisa pasukannya, namun Jerman tidak pernah bisa mengatur ulang
jumlah pasukannya, dikarenakan Army Group Center bahkan tidak menyentuh
angka 100.000 tentara.
SMOLENSK,
BATU LONCATAN ATAU BATU SANDUNGAN?
Banyak yang bilang bahwa pertempuran di kota
ini merupakan bagian utama dari awal kehancuran seluruh Operasi Barbarossa.
Nah, klaim ini secara total saya tolak jika faktanya didasari oleh masalah
Logistik.
MENGAPA?
Pada saat menghadap ke Smolensk, 2nd dan
3rd Panzer Army (Jerman) menghadapi sekitar 6 kesatuan yang
menyerang ke arah mereka dengan total 700 tank. Untunglah skuadron udara
pimpinan Marsekal Kesselring cepat tanggap dan melakukan serangan balik,
sehingga hampir dari seluruh kekuatan penyerang Soviet musnah. Namun serangan
penjepit dari dua arah yang kemudian dilakukan oleh kedua Panzer Army tetap
gagal untuk menjaring seluruh armada Soviet. Dan sekitar 100.000 pasukan Soviet
meloloskan diri dari kepungan Jerman. Pada saat ini, Hitler sudah kehilangan
kepercayaan untuk memaksa Rusia menyerah, dan memerintahkan serangan total.[3]
PENGHANCURAN
INDUSTRI RUSIA
Ada beberapa orang berkata, Jerman tidak ingin
menghancur leburkan seluruh industri Russia karena mereka tidak ingin memulai
dari nol. Hal ini jelas dikemukakan oleh para pembela Hitler. Adalah nonsense
atau omong kosong yang luar biasa konyol jika hal ini diperdebatkan. Sebelumnya
sudah dikatakan bahwa Hitler berniat menghancurkan seluruh Soviet dengan
serangan total. Karena itu dia melakukan pengepungan di Leningrad dan serangan
besar-besaran di Stalingrad. Sebelumnya, Hitler memerintahkan serangan langsung
ke Leningrad, dimana pada saat tersebut, ternyata korban jiwa dipihak Jerman
meningkat, dan kemajuan pasukan hanya 10 km. Sehingga akhirnya Hitler
memerintahkan pengepungan besar-besaran di Leningrad yang akan bertahan selama
900 hari kedepan.
Dan selama pengepungan tersebut, Jerman banyak
menjatuhkan bom di wilayah tengah kota Leningrad, yang apalagi maksudnya kalau
bukan menghabisi kemampuan industri Soviet.[4]
Stalingrad kemudian menjadi bukti berikutnya.
Bagaimana mungkin kota yang dihancur-leburkan dari semua arah, siang malam,
dengan berbagai jenis bomber, tidak menghancurkan sisi industrinya? Namun,
bukanlah Industri yang diincar Jerman di Stalingrad. Melainkan lambang kota
tersebut (“Stalin-grad” kotanya Stalin) sebagai lambang moral Pasukan Utama
Soviet. Walau begitu, pertempuran di kota ini menjadi pertempuran paling brutal
sepanjang front timur Perang Dunia II. Terutama semenjak Friedrich Paulus dan
seluruh 6th Army masuk ke kota tersebut. Hancur leburnya
seluruh infrastruktur kota dan jalur-jalur kereta api dalam kota kemudian
melumpuhkan seluruh Stalingrad, baik tepi barat maupun timur sungai Volga.
CUACA
Inilah faktor terpenting dari seluruh
kehancuran operasi Barbarossa. Simpel memang, tapi mematikan. Pada saat operasi
Typhoon yang dilakukan untuk menyerang Moscow setelah Kiev dan Kharkhov
ditaklukkan, adalah cuaca ekstrim (-6 derajat Celsius) yang memaksa pasukan
Jerman berhenti bergerak. Hujan yang terus turun membuat jalanan berubah
menjadi lumpur dan menyulitkan pergerakan kendaraan tempur, terutama Tank.
Para Jenderal Jerman mulai membandingkan
Operasi ini dengan nasib yang menimpa Napoleon Bonaparte saat menginvasi Rusia
pada tahun 1812. Cuacalah yang menghentikan mereka.[5]
Rencana Hitler sudah gagal total, dan bukanlah sebuah hal yang di
besar-besarkan jika itu semua karena kegagalan Grand Army menyelesaikan tugasnya
sebelum musim dingin datang. Bahkan ketika musim dingin tersebut akhirnya tiba,
tak satupun pasukan Jerman yang dibekali dengan pakaian musim dingin sehingga
mereka terpaksa membakar bahan supply yang dalam keadaan menipis untuk sekedar
menghangatkan badan. Hal inilah yang kemudian menyebabkan supply logistic habis
seketika.[6]
Bahkan ketika Marsekal Kesselring dan skuadron
udaranya kembali dari Afrika dan berusaha mendrop supply di posisi Jerman,
kembali mereka mengalami kegagalan akibat cuaca buruk.
Akhirnya musim semi pun tiba. Namun, bukannya
mempermudah situasi bagi Jerman, kembali malapetaka yang mereka dapat. Sekali
lagi curah hujan intensif yang membanjiri tanah Soviet membuat jalanan menjadi
lumpur dan membuat berbagai tank Jerman yang kebanyakan Pz. III dan Tiger
mengalami kemacetan di bagian as roda. Hal ini membuat pertempuran berubah
menjadi Man vs Man, Rifle vs Rifle, Bayonet vs Bayonet. Hal tersebut tak
bertahan lama, sebelum akhirnya Soviet sukses menemukan Tank yang berguna
disegala cuaca, yaitu T-34 dan KV-1. Kedua jenis tank ini mampu tetap berjalan
walau berada dalam situasi Hujan lebat maupun hujan salju. Dan tank-tank ini
yang kemudian menjadi kunci dari pelaksanaan Operasi Bagration yang sukses
menghentikan seluruh Operasi Barbarossa dan memukul mundur Jerman hingga ke
Berlin dalam waktu setahun.
CATATAN:
[6] Sumber
dari paper yang ditulis oleh US Army Combat Studies Institute mengenai Operasi
Barbarossa tahun 1981