Oleh Mohammad Kh. Azad (http://www.koran-jakarta.com/)
Kebudayaan Iran dan
Indonesia memiliki jalinan sejarah. Salah satu bukti yang mendukung hubungan
sejarah itu adalah adanya persamaan sastra dan bahasa yang saling memengaruhinya.
Keberadaan lebih dari 400 kata dari bahasa Persia pada bahasa Melayu yang masih
digunakan dalam kehidupan sehari-hari membuktikan eratnya hubungan ini.
Almarhum Zafar Iqbal, mantan dosen Uviversitas Indonesia dan Universitas Syarif
Hidayatullah, Jakarta, pernah mengaji pengaruh sastra dan puisi Persia terhadap
sastra dan puisi Indonesia serta dunia Melayu dalam disertasinya. Berangkat
dari itu, penulis mencoba mengaji hubungan kebudayaan Iran dan Indonesia dari
sisi sastra dan syair.
Perkenalan orang Iran
dengan orang Melayu memiliki sejarah panjang. Hal ini dapat dikenali
berdasarkan dokumen historis, mitos, dan tulisan di batu nisan. Orang Iran,
sebelum menerima Islam, karena perdagangan yang luas dengan China dan sebagai
jembatan penghubung antara Barat (Kaisar Romawi) dan Timur (China) dalam dua
jalan, yaitu rute darat “Jalan Sutera” dan rute laut “Jalan Rempah-rempah”,
memunyai hubungan dagang dan budaya dalam perjalanan mereka dengan Nusantara,
sungguhpun mereka aktif mendakwakan kepercayaan Zoroaster di kawasan ini.
Sejarah hubungan semacam
ini dimulai sejak Dinasti Ashkhaniyah, khususnya Dinasti Sasaniyah melalui rute
rempah-rempah 200 tahun Sebelum Masehi. Tapi setelah orang Iran menerima Islam
dan migrasi kelompok-kelompok Iran dari China Selatan karena penderitaan yang
ditimpakan Pemerintah China, para pedagang dan mubalig Iran dalam rangka
berdagang dan mendakwahkan Islam di kawasan ini. Sejarah Barat, yang
mendasarkan pada catatan Marcopolo, percaya bahwa Islam masuk ke Nusantara di abad
ke-13, tapi sejarah Timur yang mendasarkan pada referensi orang China, Arab,
dan Melayu menekankan pada tahun pertama hijriyah atau paling tidak tahun
ketiga hijriyah (abad ke-9 Masehi).
Dalam hal ini, latar
belakang kehadiran orang Iran yang aktif dan terus-menerus di kawasan nusantara
– terkait masalah ekonomi, budaya, dan politik – jelas sekali menunjukkan peran
kaum ini mendakwahkan Islam dan hidup damai dengan orang Melayu. Untuk
mengetahui kehadiran orang Iran dalam sejarah Nusantara dapat dilihat dari
pengaruh bahasa dan literatur Persia dalam literatur Melayu. Secara
keseluruhan, pengaruh sastra Persia terhadap sastra Indonesia dapat digolongkan
dalam tujuh kategori, yaitu pengaruh sastra Persia terhadap buku-buku
bersejarah, buku-buku undang-undang Malaka, agama, kerajaan Indonesia, cerita
para nabi dan ahlulbait, sastra keseharian Indonesia, dan alhasil pengaruh
sastra Persia terhadap puisi-puisi Indonesia.
Seperti ditemukan pada
buku Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Malaka, dan Hikayat Aceh. Dalam buku
tersebut ditemukan 130 kosa kata bahasa Persia. Seperti diketahui, pada zaman
dahulu, para raja Pasai menugaskan para ahli sejarah untuk menulis hal-hal yang
terjadi terkait kerajaan mereka. Raja-raja Pasai mengumpulkan para penyair dan
pemikir besar serta mendatangkan pemikir besar mancanegara seperti Sayed Amir
Sharif Shirazi dan Tajuddin Esfahani sebagai penasihat kerajaan. Pendalaman
terhadap naskah-naskah kerajaan menunjukkan pengaruh signifikan sastra Persia
terhadap buku pada masanya. Seperti buku Serat Tajusalatin yang ditulis pada
kerajaan Islami Aceh (1603 M) dan buku Bustanul Arefin.
Pada buku tersebut,
terdapat lebih 36 kosakata dan pepatah bahasa Persia. Penggunaan nama-nama para
raja Iran, peribahasa, dan kata-kata Persia menunjukkan pengaruh sastra Persia
terhadap buku yang beredar di Kerajaan Pasai. Sebagian besar buku itu bersumber
pada buku karya pemkir Iran seperti Attar dan Vaez Kashani dan terinpirasi dari
karya Khosro va Shirin, Yusef va Zoleykha, dan sebagainya. Buku-buku agama pula
tidak luput dari pengaruh aroma Persia. Katakanlah buku Sheikh Nuruddin
Arraniri dan Abdul Rauf Al-Senkili yang ditulis pada abad 17 M dan 50 judul
lainnya memiliki interaksi dengan buku Sa’di, Abu Hamed Mohammad Gazali,
Suhravardi, Khoja Abdullah Ansari, yang menjadi sufi-sufi besar di Iran.
Karya sastra Nusantara
lain adalah cerita para nabi dan ahlulbait. Sejarah menunjukkan bahwa penulisan
cerita para nabi dan Ahlulbait dimulai dari Yaman dan Iran, lalu meluas ke
negara lainnya dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, antara lain Turki dan
Melayu. Penulis menyebutkan cerita Nabi Yusuf, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Nabi
Lahir, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Raja Khandagh, dan banyak cerita lainnya
sebagai cerita para nabi dan ahlulbait yang terlihat dengan jelas pengaruh
bahasa dan sastra Persia di dalamnya.
Selain 400 kata dari
bahasa Persia pada bahasa Melayu seperti bandar, nakhoda, istana, masih banyak
kata lainnya yang menjadi bagian dari bahasa keseharian masyarakat Indonesia
yang berasal dari bahasa Persia. Lebih sembilan buah hikayat seperti hikayat
Amir Hamzah, Muhammad Hanafiyah dan Bendara Hitam dari Churasan terdapat
pengaruh menonjol bahasa Persia dalam hikayat-hikayat ini. Hikayat Bendara
Hitam dari Churasan merupakan cerita seorang pahlawan dari Kota Khorasan –
salah satu provinsi terbesar di Iran – yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke
bahasa Indonesia pada 1953. Bukti lain, yang membuktikan interaksi historis
sastra Persia dan Nusantara adalah syair-syair yang dikenal masyarakat Indonesia.
Yakni Bustan dan Musyawarah Burung yang berinteraksi mendapatkan pengaruh dari
karya-karya penyair ternama di Iran, seperti Attar, Molawi (Rumi).
Pengaruh signifikan
penyair-penyair dan sufi masyhur Iran seperti Ghazali, Saadi, Attar terhadap
buku-buku Hamzah Fansuri terlihat dari banyaknya kosa kata yang digunakan dalam
naskah tersebut. Alhasil, persamaan antara kedua bangsa Iran dan Indonesia
begitu banyak yang pada kesempatan ini hanya dibahas dari sisi persamaan
sastra. Tentu saja persamaan-persamaan ini dapat menunjukkan hubungan baik yang
sedang terjalin antara kedua negara di berbagai bidang pada saat ini bukan
merupakan fenomena baru, melainkan sebagai kelanjutan dari suatu hubungan yang
umurnya berabad-abad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar