[Judul Buku: Hugo Chavez Vs Amerika Serikat. Penulis: Nurani Soyomukti. Penerbit: Garasi
Yogyakarta. Tahun Terbit: Februari – 2008. Tebal: 132 halaman]
“Jika imperialisme AS
berhasil mengonsolidaikan dominasinya, maka umat manusia tidak mempunyai masa depan.
Oleh karenya, kita harus menyelamatkan umat
manusia dan mengakhiri imperialisme
AS” (Hugo Chavez)
Pemimpin Venezuela itu
kini gencar-gencarnya membangun kekuatan baru. Setelah Kim II-Sung, Deng
Xiaoping, Peron, Nikita Khrushchev dan Broz Tito meninggal serta baru-baru ini
pemimpin “diktator” Kuba, Fidel Castro, meletakkan jabatannya, kini dialah yang
menjadi satu-satunya yang tengah eksis dan menjadi penentang kekuasaan
hegemonik dalam konstelasi perpolitikan dunia. Seakan-akan pemimpin
revolusioner itu merupakan penjelmaan Napoleon, Hitler dan Stalin pada abad ini.
Sentimen Hugo Chavez dan
barisan pemimpin Amerika Latin lain saat ini tengah dipersatukan oleh
mengguritanya tekanan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Dengan menganggap
liberalisasi perdagangan dan sistem ekonomi kapitalistik bukannya menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan sebagaimana yang didalihkan AS selama ini. Namun,
justru malah memperburuk dan memperparah kehidupan sosial-ekonomi.
Konsekuensi logis dari
aksi-aksi hegemonik AS terhadap negara lain itu memantik terbitnya kebencian
bersama yang mendalam. Simpati yang kemudian bergeser menjadi antipati. Itulah
simpul yang menyatukan presiden Venezuela, Hugo Chavez, berserta sejumlah
pemimpin Amerika Latin lainnya. Bahkan presiden Iran, Ahmadinejad, sekarang
juga getol menentang keras terhadap segala dominasi negeri Paman Sam di dunia.
Lebih-lebih isu nuklir di dalam negerinya dan Timur-Tengah seputar Palestina
dan Israel.
Dalam beberapa dekade, hegemoni
AS merupakan sekelindan ambisi untuk menjadi penentu politik dunia, polisi
dunia dan sekaligus penguasa ekonomi, industri dan perdangan dunia. Hal ini
diperkuat dengan rezim-rezim “populis” internasional yang dibentuknya. Sebut
saja “rezim” moneter IMF, Bank Dunia, WTO dan lain sebagainya. Keberadannya
memperburuk dan memperparah tatanan kehidupan sosial-ekonomi serta gagal
menanggulangi disparitas antara si kaya dengan si miskin.
Untuk melawan imperialisme
AS dan Barat, Pemimpin progresif itu memiliki beribu cara bahkan cukup unik dan
berani. Setelah melakukan nasionalisme perusahaan asing, kini, Caracas
membatasi penggunaan bahasa Inggris. ’’Berbahasa Spanyollah dan katakan dengan
bangga’’, slogan ini menjadi senjata Presiden Chavez untuk melawan imperialisme
AS yang telah merusak kehidupan sosialis, termasuk dalam hal bahasa yang
disampaikan secara terbuka baru-baru ini.
Selain masalah bahasa,
Chavez, juga memberikan solusi dalam mengatasi dampak buruk imperialisme. Dia
berjanji akan membiayai produksi film yang ada di Venezuela untuk menghambat
invasi dari film-film Hollywood. Dia juga memaksa stasiun radio untuk lebih
banyak memutar lagulagu Venezuela. Presiden berhaluan “kiri” ini sangat
membenci AS.
Di mata Chavez, AS
merupakan kekuatan yang serakah dan ingin menguasai seluruh dunia secara
absolut. Sebagai pemimpin yang setia terhadap sistem sosialis, Chavez merasa
berkewajiban untuk melawan hegemoni Negeri Paman Sam. Bahkan, Chavez pernah
menyebut Presiden AS George W Bush sebagai setan jahat saat berpidato di markas
besar Persatuan Bangsa-Bangsa pada beberapa waktu yang lalu.
Buku yang berjudul “Hugo
Chavez Vs Amerika Serikat” ini, memberikan informasi dan aksi yang teramat
detail seputar Venezuela dan Amerika Latin. Sebuah semangat yang tidak kenal
lelah mempertahankan “nurani bangsa”. Membawa negaranya terbebas dari setiap
penindasan dan hegemoni negara asing. Selalu mencoba untuk keluar dari setiap
cengkeraman imperalisme dan hegenomi AS berserta sekutunya dalam hal ekonomi,
sosial dan politik.
Semangat Revolusi
Bolivarian di Venezuela, mengantarkan Chavez untuk memperkenalkan demokrasi
partisipatoris dan sosialisme abad 21. Meluncurkan serangkai program ekonomi
dan sosial bagi rakyatnya. Mulai dari Mission Robinson (program untuk melakukan
kampanye memberikan pelajaran aritmetika, membaca dan menulis kepada para
remaja), Mission Guaicaipuro (program untuk memberikan perlindungan kehidupan,
agama, tanah, budaya dan hak-hak orang pribumi) hingga Mission Sucre (program
bebas pendidikan bagi remaja yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar).
Nurani Soyomukti sebagai
penulis buku ini, setidaknya telah memberikan khazanah dalam mengisi wawasan
baru bagi kita tentang arti perjuangan melawan penindasan dan tirani hegemonik
asing. Memberikan inspirasi bagi kita untuk melakukan perubahan. Terlebih di
negara Indonesia yang kian terpuruk. Belajar bagaimana seharusnya kita
berpegang dan menemukan teladan agar diri, citra dan bangsa ini tidak selalu
dijajah bangsa lain. Baik itu secara ekonomis, ideologis bahkan dari segi
humanitas kita sendiri. Semoga!
*Mahasiswa PPs. UIN Malang
& Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar