Foto: Persatuan dan Solidaritas Muslim Sunni,
Kristen (Ortodoks), dan Muslim Syi’ah dalam Melawan ISIS (Wahabi Takfiri,
Amerika, Israel, Rezim Saudi, NATO dkk)
Dalam sejarah Kristiani, Alexandria sudah
tentu bukan nama yang asing bagi sejarawan dan para sarjana yang konsen pada
sejarah dan teologi Kristiani, sebagaimana Anthiokia yang merupakan pusat
Kristen Ortodoks Suriah. Salah-satu sumbangan Alexandria dalam sejarah Kristen
adalah Sekolah Teologi mereka yang bahkan murid-muridnya dari Barat (Yunani
dll).
Secara teologis dan filosofis,
cara pandang utama Alexandria menganut paham alegorisme, filsafat (Yunani), dan
menekankan “pengetahuan” (gnosis)
yang saling berkaitan satu sama lain. Selain itu masih ada karakteristik
yang mengikutinya, yang dapat ditemukan di dalam pembahasan mengenai:
[1] Rahmat Pembaharuan (Deification),
yang menekankan bahwa “hidup baru” merupakan rahmat Ilahi yang diterima melalui
Roh Kudus yang menyatukan kita dengan Bapa dalam Yesus Kristus
[2] Keutuhan Hidup ada dalam Yesus Kristus
[3] Soteriologi, di mana penyelamatan hanya dapat dikerjakan oleh
seorang yang sehakekat dengan Allah dan yang tanpa menanggalkan keilahiannya
menjadi satu dengan manusia. Bahayanya, batas antara ke-Allah-an dan
kemanusiaan menjadi kabur
[4] Inkarnasi (Kristologi) lebih dipikirkan menurut pola Yohanes
1:14 (Logos itu ”telah
menjadi manusia atau daging) daripada menurut pola Filipus 2:7 (Mazhab Anthiokia) (Logos “mengambil
rupa seorang hamba”, menjadi “sama dengan manusia”). Dominasi Allah menjadi
terlalu besar. Bahaya monophysitisme ini menjadi nyata dalam Eutyches (378-454):
‘Kemanusiaan Kristus tenggelam dalam ke-Allah-an, bagaikan setetes air dalam
laut’.
Salah satu tokoh Alegorisme Alexandria yang
cukup masyhur adalah Philo (20 SM-50M), yang membuat sebuah metode
sistematis untuk menghubungkan jurang antara wahyu dalam Perjanjian Lama dan
Filsafat Platonis.
Sementara itu, kata “alegori” itu sendiri berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “alla”
yang berarti “lain” (other),
dan “agoreuo”
yang berarti “menyatakan” (proclaim).
Hal ini awalnya menunjuk pada seorang figur ahli pidato, Cicero yang
mendefinisikan “alegori” sebagai sebuah “aliran lanjutan dari metafora-metafora
(kiasan)”.
Menurut Santo Agustinus (354-430),
alegori adalah sebuah model pidato atau khutbah, di mana sesuatu itu dapat
dimengerti oleh yang lain. Dalam hal ini, alegori dibedakan dari “perumpamaan”.
Alegori lebih merupakan sebuah penyajian sistematis dari segi-segi (features) ide yang berbeda, yang
mengilustrasikan “isi” dengan penjelasan yang terperinci (exposition) dari kebenaran-kebenaran
teoritis daripada sebuah nasihat praktis.
Dalam eksegese (penafsiran) alegoris, contohnya,
teks suci (dalam kitab suci) diperlakukan hanya sebagai simbol atau alegori
dari kebenaran-kebenaran spiritual.
Ada
tiga macam metode pendekatan alegoris yang digunakan. Pertama, Alegori
Figuratif, dalam Kitab Suci penggambaran ini dapat ditemukan
dalam 1 Korintus 13: 1-13 (Kasih). Kedua,
Alegori
Naratif, penggambaran ini dapat ditemukan dalam perikop mengenai
“Orang Samaria yang Baik Hati” (Lukas 10: 30-35), dan Ketiga, Alegori Tipologis, penggambaran ini
merupakan sebagian besar bentuk karakteristik biblis, metode eksegese
(penafsiran) Perjanjian Baru yang memperlakukan peristiwa-peristiwa dan
figur-figur Perjanjian Lama sebagai kombinasi realitas historis dengan maksud
profetis.
Menurut Santo Agustinus, alegori yang
para penulis Perjanjian Baru temukan dalam Perjanjian Lama tidak hanya
figur-figur retoris melainkan kenyataan-kenyataan historis (non in verbis sed in facto).
Alegori Tipologis dikritik oleh Antiochene Criticism (Golongan atau
Mazhab Anthiokia) yang membedakan antara alegori dan tipologi. Alegori didefinisikan
sebagai sebuah metode, di mana realitas keduniawian diinterpretasikan secara
simbolik untuk menunjuk pada realitas surgawi. Sedangkan, tipologi, di mana realitas historis
diinterpretasikan sebagai “pemberi tanda yang lain”, khususnya pribadi dan
karya Kristus. Metode Alegori secara
umum membawa kebingungan (bahkan dalam zaman patristik).
Lalu kemudian muncullah Origenes sebagai
orang pertama yang membawa kedua macam interpretasi alegori dan tipologi ini dalam sebuah sintesis yang
kuat. Menurutnya, kata-kata dalam Kitab Suci itu seharusnya diwujudkan dalam
jiwa setiap orang melalui tiga jalan:
[1] Literal sense, memperhatikan sejarah
dan arti secara literal (harfiah), dan hal ini diperuntukkan bagi orang-orang
sederhana (awam dan umat biasa kebanyakan)
[2] Moral sense, memahami arti moral, atau
mempelajari teks-teks untuk menemukan kemajuan bagi jiwa, hal ini
diperuntukkan bagi orang-orang yang lebih maju
[3] Spiritual sense, kemajuan jiwa
diperjuangkan melalui rasa-perasaan spiritual dalam relasinya dengan Kristus
yang mengandung bayang-bayang rahmat, hal ini diperuntukkan bagi orang-orang
yang “perfect”
(lebih maju lagi) atau kaum khusus.
Sementara itu golongan atau Mazhab Anthiokia (Suriah)
tetap yakin bahwa level pertama untuk menginterpretasikan (Kitab Suci) adalah
melalui level historis. Mereka memberi perhatian untuk revisi teks, sebuah
kesetiaan yang murni untuk kejelasan makna yang natural (wajar, alamiah)
berdasarkan penggunaan bahasa dan situasi lingkungan penulis pada saat itu, dan
memperhatikan faktor-faktor manusiawi di dalamnya.