Oleh Ali Syari’ati
Hari-hari ini pun berlalu,
dan Nabi wafat. Tiba-tiba, “angin yang telah terkungkung” dibebaskan dari
segala penjuru, dan Ali, pengejawantahan ruh revolusi ini, terkucil di rumahnya
sebagai pertanda bahwa keadilan sekali lagi dipisahkan dari agama: sebagai
pertanda bahwa massa rakyat sekali lagi barus meninggalkan gelanggang dan agama
sekali lagi digunakan secara eksklusif oleh para agamawan elit, para aristokrat
dan penguasa, dan karena hal inilah maka Ali dan orang-orang dalam
parameternya: Abu Dzar, seorang pria gurun; Bilal, seorang budak Ethiopia asing
tanpa kerabat famili atau pekerjaan; Salman, seorang bukan Arab yang bekas
budak; Suhaib, seorang asing yang datang dari Yunani; Ammar, seorang peranakan
yang lahir dari ibu budak berkulit hitam dan ayah dari Arabia bagian selatan;
Maitsam, seorang penjual kurma yang dilanda kemiskinan... yang merupakan
orang-orang kepercayaan dari pemimpin revolusi Islam, meninggalkan gelanggang ―
dan ― para sahabat senior: Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqas, Khalid bin
Walid, Thalhah, Zubair, Abu Bakar, Umar dan Utsman, yang semuanya berasal dari
kalangan aristokrat di zaman Jahiliah, mengambil kendali pimpinan dari gerakan
ini, menguasai masyarakat, dan menciptakan suatu kelompok politik yang akrab.
Kecenderungan Islam yang kuat dan yang tak diharap-harap itu ke kanan, yang dimulai dengan pemilihan di Saqifah[11] yang mirip kudeta pada masa Abu Bakar itu, hanya mengandung aspek politik, [12] dan dalam masa Umar, aspek ekonomi, menampakkan diri dengan menggolong-golongkan kaum Muslimin dalam penerimaan gaji dari pemerintah, bahkan hendak menggolong-golongkan para istri Nabi ke dalam dua ukuran, tergantung pada kelas mereka sebelum kawin (dengan Nabi saw), orang merdeka atau budak! Yang mana para istri Nabi yang asalnya wanita merdeka (asal budak), keberatan, dan menolak hak-hak istimewa itu.
Tetapi dalam masa
pemerintahan Ustman, kecenderungan (ke kanan) ini mencapai puncaknya:
masyarakat menjadi terkategorisasi; kaum aristokrat mengambil kekuasaan absolut
atas pemerintahan; penaklukan-penaklukan Islam di Timur dan di Barat yang
meliputi sumber-sumber ekonomi, rampasan perang, serta banyak lagi pos-pos politik
dan administratif, dari Transoxania Iran sampai ke Afrika Utara, ditempatkan di
bawah kekuasaan pemerintahan Madinah; para sahabat Nabi, mujahidin, kaum
Muhajirin[13] dan Anshar,[14] dipalingkan dari keadaannya
sebagai partisan akidah revolusioner menjadi para politikus dan tokoh-tokoh
kekuasaan dan kekayaan; terciptalah suatu kelas penguasa[15] yang
terdiri dari orang-orang yang pada umumnya saleh, miskin, komited, pejuang.
Suatu golongan borjuis
baru pun terbentuklah dari banjir kekayaan dalam bentuk rampasan perang, zakat
dari kaum Muslimin, jizyah (dari yang non-muslim yang berada di bawah
perlindungan umat Islam) dan dari orang-orang kafir,[16] yang
mengalir masuk ke Madinah yang ‘miskin’, yang bukan saja mengubah Madinah
Islam, umat muslimin dan mujahidin Perang Badar dan Perang Uhud, tetapi juga
isi dan orientasi sosial Islam; dan sebagai akibatnya, mengubah pandangan
keagamaan. Ini mengubah Islam dari bentuk ‘akidah revolusioner’ menjadi suatu
bentuk ‘agama penguasa’. Pembelokan ini, yang mana kudeta (pencurian imamah dan
khilafah yang merupakan hak Imam Ali yang berdasarkan surah al Maidah ayat 67
yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan imamah dan khilafah Ali saat Haji
Wada’) yang dirancang di Saqifah telah menyimpang ke kanan, dalam masa kurang
dari seperempat abad -bertepatan dengan seperempat abad Ali terkucil di
rumahnya, dalam masa-masa penentuan politik pada tahun-tahun ketika sejarah
Islam sedang dibentuk, ia terpaksa bertani di Yanba’, atau berada di rumahnya
untuk melakukan pengumpulan mushaf Al-Qur’an, yang dijaganya untuk tidak sampai
diubah pula ― mencapai titik di mana wajah politik dan intelektual Islam adalah
Mu’awiyah (gubernuur dalam masa pemerintahan para khalifah awal itu) yang
independen, Marwan bin Hakam, orang yang diasingkan oleh Nabi, dan Ka’ab
al-Ahbar, seorang rabbi Yahudi yang baru-baru ini masuk Islam (demi menyusup ke
tubuh pemerintahan Umar dan Utsman) dan menjadi mullah Islam ― Utsman,
‘khalifah Rasul’, biasa meminta kepada Ka’ab untuk menafsirkan Al-Qur’an;
Utsman menganggap tafsiran Ali dan Abu Dzar tidak tepat!
Utsman, untuk membenarkan
sistem politik dan ekonominya yang baru, yang merupakan tiruan palsu dari
pemerintahan Raja Persia dan Kaisar Roma, tidak berusaha apa-apa untuk menipu,
barangkali karena pada waktu itu, cara itu tidak akan efektif, sebab orang telah
melihat bagaimana pemerintahan Islam dengan mata kepala mereka sendiri, dan
juga pekerjaan Utsman lebih memalukan ketimbang kemampuan untuk berusaha
membenarkannya sebagai yang Islami.
Utsman adalah seorang
penentu pertama suatu daftar bid’ah (inovasi) yang ‘pertama kali’ muncul dalam
Islam. Untuk pertama kalinya, pemimpin menjadi penghuni istana; untuk pertama
kalinya, ia menyusun pengawal sekuriti pejabat; untuk pertama kalinya, ia
mempunyai pengurus rumah tangga; untuk pertama kalinya hubungan antara massa
rakyat dan khalifah dibatasi oleh seorang perantara; untuk pertama kalinya
baitul mal, perbendaharaan umum ditempatkan di bawah kekuasaan khalifah,
sehingga si pemegang kunci itu pergi ke masjid dan mengumumkan kepada rakyat,
para pemilik perbendaharaan umum itu, bahwa, “Karena Khalifah (dianggap tidak
boleh) campur tangan, maka saya akan memberikan kunci-kunci itu kembali kepada
kamu. Saya berhenti. Lakukan apa yang kamu kehendaki”; untuk pertama kalinya,
seorang Muslim dimata-matai karena menyerang metoda khalifah atau para agennya;
untuk pertama kalinya, muncul pembuangan politik; untuk pertama kalinya, rakyat
dianiaya oleh sang pemimpin (Abdullah ibn Mas’ud); untuk pertama kalinya,
Al-Qur’an dipergunakan sebagai alat politik untuk mengelabui rakyat; untuk
pertama kalinya, para penguasa dapat berbuat sekehendaknya atas nasib rakyat
dan lepas tangan dari tanggung jawab hukum dan tanggung jawab Islami; untuk
pertama kalinya, ikatan-ikatan kesukuan dan famili menjadi tangga untuk
peningkatan politik dan sosial; untuk pertama kalinya, jabatan-jabatan tinggi
menjadi monopoli dan eksklusif bagi para anggota kelompok politik yang
terafiliasi pada khalifah dan, untuk mencpai kedudukan itu, kriteria Islam dan
ketakwaan ditundukkan kepada ikatan kekeluargaan dan politik; untuk pertama
kalinya, eksploitasi golongan, kontradiksi, diskriminasi, kapitalisme
(penimbunan kekayaan), aristokrasi, nilai-nilai jahiliah, semangat kesukuan,
usia tua, kekayaan, ras, keturunan, pemujaan pribadi dan tendensi-tendensi
kesukuan, mengalahkan persaudaraan Islam serta nilai-nilai rohani dan persamaan
sosial.
Hak-hak istimewa dalam
bidang ekonomi menggantikan ketakwaan, latar belakang jihad, kedekatan kepada
Nabi, pengetahuan Al-Qur’an dan kebajikan individu; semangat kekuasaan mengalahkan
kepemimpinan ― imamah[17] ― sistem konservatif mengalahkan gerakan
revolusioner; pencarian kedudukan eksklusif dalam keagamaan mengalahkan
kemanusiaan, perekonomian dan politik mengalahkan usaha mencari kesamaan Islami
yang memihak massa rakyat dan kemerdekaan ― di tengah-tengahnya berada seorang
tak dikenal, yang bahkan mempunyai tanggung jawab yang sama dalam nasib politik
umat dan mempunyai hak yang sama untuk campur tangan sebagai orangnya khalifah,
pada tingkatan yang sama seperti para Sahabat besar ― tetapi, pada umumnya,
permainan kompromi mengalahkan kerinduan kepada kebenaran; politik mengalahkan
perjuangan; slogan mengalahkan kebenaran Islam; para sahabat senior mendaulat
para mukminin; golongan mengalahkan umat; rumah khalifah mengatasi masjid;
aristokrasi kesukuan mengatasi martabat manusia; kejahilan lama mengatasi
revolusi baru; bid’ah mengatasi sunnah, dan akhirnya, keluarga Abu Sufyan
mengatasi keluarga Muhammad Saw.
Sebagai akibatnya, Ali dilucuti! Dan Abu Dzar ―
yang menanggung penderitaan pedih dalam menerima kekalahan Ali dalam pemilihan
Abu Bakar dan penunjukkan Umar, telah datang lagi ― ia tidak dapat tinggal
berdiam diri, ketika segala-galanya telah berubah: despotisme, emas dan penipuan,
ketiga trinitas [18] dalam jubah putih khalifah Rasul, di balik
samaran tauhid yang indah menjadi jaya, mengalahkah rakyat ― yang merupakan
korban-korban yang menerus bagi trinitas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar