Edward Said — seorang
kritikus kebudayaan yang menghabiskan waktunya di bidang analisis literatur dan
dekonstruksi teks-teks kunci tradisi orientalis — pada mulanya tertarik untuk
menganalisa cara “Barat” menciptakan dan menggambarkan istilah “Orient” terhadap “Timur”. Ia
memiliki background pendidikan Amerika dan
pemikiran-pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Gramsci, Foucault, dan Franz Fanon.
Kontribusi penting yang telah ia berikan bagi dunia, adalah bagaimana studi
literatur memiliki hubungan yang kuat dengan keadaan real dunia. Karya-karya besar yang
telah ia buat, antara lain: Orientalism, Culture and Imperialism, Covering Islam. Orientalism merupakan salah satu
karya Said yang dipandang sebagai tonggak awal Kajian Poskolonial yang berisi
deskripsi-analisis bagaimana “Barat” membentuk dan memelihara fantasi akan
“Timur”.
Dengan Orientalism, Said mengembangkan
Kajian Poskolonial di institusi “Barat”. Orientalism
merupakan karya representasi yang mampu masuk ke dalam dunia filsafat, politik,
agama, dan literatur. Permasalahan utama yang ingin diangkat oleh Orientalism adalah bagaimana
kolonialisme Eropa menghasilkan sebuah pengetahuan, sebuah “kebenaran”, dan
kepercayaan mengenai identitas sang penjajah (colonizer)
dan yang dijajah (colonized).
Digambarkan oleh Said
(2001), orang Amerika tidak akan mempunyai perasaan yang sama dalam melihat
dunia “Timur” dibandingkan orang “Timur” sendiri. Orang-orang Prancis dan
Inggris misalnya, telah mempunyai tradisi lama bagaimana melihat “Timur” yang
Said sebut sebagai orientalisme — suatu cara memahami Dunia Timur berdasarkan
tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Eropa. Bagi Eropa, “Timur”
merupakan tempat koloni-koloni Eropa yang terkaya dan tertua. “Timur” telah
membantu Eropa mendefinisikan “Barat” sebagai imaji, idea, kepribadian dan
pengalaman yang berlawanan dengan “Timur”.[1]
Terdapat tiga unsur yang
membangun istilah orientalisme, yakni: orient, oriental, dan orientalism. Orient cenderung menunjuk pada
sebuah sistem frame representasi oleh kekuatan
politis yang membawa “Timur” ke dalam pembelajaran dan kesadaran “Barat” (Occident). Orient diciptakan untuk kepentingan
“Barat”, dan dibentuk oleh dan dalam hubungannya dengan “Barat”. Orient sering dimaknai sebagai yang
inferior dan asing atau liyan (Other) bagi “Barat”.
Oriental adalah orang yang di-orient-kan,
yang termasuk dan tergabung di dalam sistem orient tersebut.
Ia direpresentasikan sebagai individu yang lemah, dan apabila kuat ia dianggap
berbahaya bagi “Barat”. Bagi oriental berjenis
kelamin perempuan digambarkan sebagai individu yang mudah didominasi dan
berpawakan exotic, telanjang dada, dan “sumber
eksploitasi”. Oriental merupakan satu citra yang
kemudian digeneralisasikan atau distereotipekan terhadap setiap individu orient di dalam suatu batas kawasan
dan budaya tertentu. Sedangkan istilah orientalism
dimaksudkan sebagai sebuah bentuk tulisan, cara pandang, pendidikan yang telah
diorientalisasikan, dan sebuah bentuk dominasi bias kepentingan, ideologi, dan
perspektif. Orientalism yang laten mengambil
bentuk ketidaksadaran mengenai yang orient.
Di dalam buku Orientalism, “Barat” memiliki
stereotipe yang cenderung menghina oriental. Oriental — Said memberikan contoh
orang-orang Arab dan dalam konteks yang lebih luas bangsa-bangsa “Timur” —
ditunjukkan sebagai bangsa yang naif, tidak mempunyai energi dan inisiatif, dan
menyukai konflik. Oriental tidak
dapat bejalan di atas jalan karena kebodohan mereka untuk mengerti kepintaran
Eropa. Oriental disebutkan sebagai kaum
pembohong, malas dan tidak dapat dipercaya, dan dalam setiap hal selalu
menentang petunjuk dan keningratan ras Anglo-Saxon. [2]
Buku Orientalism disusun oleh Said dalam
rangka mengkritik oyektivitas “Barat” dalam melihat “Timur”. Kritik Said
tersebut ia tekankan pada karya-karya sastra “Barat” yang cenderung ditulis
untuk memojokkan “Timur” dengan stereotype-nya yang bernada merendahkan.
Subyektivitas cakrawala berpikir para penulis “Barat” inilah yang kemudian
membentuk cara melihat bangsa “Barat” terhadap “Timur”. Hal inilah yang
kemudian ingin Said runtuhkan. Selain itu, cara melihat “Barat” terhadap
“Timur” yang cenderung memojokkan tersebut Said lihat mempunyai bahaya lain,
yaitu: pembenaran-pembenaran diri bagi orang-orang “Barat” untuk memperadabkan
“Timur”.
Penolakan Said terhadap
orientalisme menunjukkan penolakannya terhadap generalisasi biologis manusia,
konstruksi budaya, dan chauvinisme rasial dan agama. Bagi Said, hal ini adalah
sebuah bentuk penolakan kepada keserakahan sebagai faktor utama motivasi
pencapaian intelektual. Tujuan utama Said adalah untuk menghapus garis pemisah
antara “Barat” dan yang liyan atau “Timur”, dan hal ini pulalah yang menjadi
semangat terbentunya Kajian Poskolonial.
Kajian Poskolonial dan Kritik
Sastra
Bentuk yang digunakan
sebagai alternatif dari Commonwealth Literature
adalah Post-Colonial Literature. Hal ini
terjadi sepanjang tahun 1970-an sampai dengan tahun 1980-an. Literatur
Poskolonial ini menekankan pada pentingnya perubahan suasana dan kondisi
setelah terjadinya kolonialisme Inggris. Literatur ini juga menghindari
masalah-masalah yang diakibatkan oleh dampak Commonwealth
yang selama ini telah dikritik sebagai pembunuh kebudayaan negara-negara
persemakmuran Inggris tersebut. [3]
Tren studi literatur
sebelum munculnya kritik Kajian Poskolonial cenderung memakai teks-teks kanon
Eropa. Namun kemudian hal tersebut dikritik oleh Kajian Poskolonial sebagai
bentuk penjajahan baru kepada budaya masyarakat terjajah yang sebelumnya telah
mengalami penjajahan secara fisik, sebagai contoh: Baghavad Gita. Baghavad Gita
adalah salah satu karya literatur bernilai tinggi di India, namun oleh penjajah
Inggris trend pendidikan literatur India dibelokkan orientasinya kepada karya
literatur kanon Inggris, seperti karya-karya Shakespeare dan lain sebagainya.
Hal inilah yang kemudian menjadi isu penting dalam Kajian Poskolonial, dimana
India mengalami penjajahan kebudayaan dan penjajahan tersebut telah menciptakan
jiwa-jiwa laten kaum terjajah, konkritnya: muncul cara pandang warga India
bahwa mereka belum beradab apabila mereka masih mempelajari karya-karya klasik
lokal India –dan ini contoh motif sangat politis Barat dan menyebarkan wacana
mereka.
Karya sastra klasik yang
telah dikanonkan oleh Eropa, menurut pendapat Mathew Arnold, merupakan bentuk high culture Eropa dibanding dengan
karya sastra bangsa lain. Karya tersebut disebarkan dan diajarkan kepada
bangsa-bangsa jajahan Eropa untuk membantu bangsa-bangsa terjajah tersebut agar
dapat terbebas dari ketidakberadaban. Menurutnya, sastra adalah sarana untuk
mendapatkan kesempurnaan dan keberadaban, sehingga wajib untuk dipelajari.
Thomas Macauley memberikan karakteristik karya sastra sebagai berikut:
bahasanya indah dengan isi yang berguna, dan karya satra memiliki selera dan
corak bangsa Inggris dan pula berbahasa Inggris — oleh karena itu bangsa-bangsa
jajahan diwajibkan diberikan pendidikan bahasa Inggris. Bagi Kajian
Poskolonial, hal ini merupakan bentuk nyata imperialisme kultural.
Kajian Poskolonial dengan
ini tidak dengan mudah dianggap sebagai studi kritik sastra. Apa yang Kajian
tersebut usahakan bukan sekedar mengkritik dominasi sastra Inggris terhadap
sastra lokal, namun Kajian Poskolonial juga merupakan bentuk perlawanan terhadapnya.
Perlawanan Kajian Poskolonial tersebut berupa: pembuatan wacana sastra
tandingan dan mengembangkan teknik menulis sehingga keterpakuan pada karya
sastra Inggris dapat dihilangkan. Hal yang paling dihindari dan ditolak Kajian
Poskolonial adalah pengkastaan kanon sastra oleh Inggris. Bahkan bangsa Inggris
sendiri telah menaruh karya sastranya lebih tinggi dibanding karya sastra
bangsa Eropa lainnya, apalagi Australia, Singapura, dan bangsa negara-negara
Asia. Oleh karena itu, apa yang diperjuangkan Kajian Poskolonial adalah
membongkar sentralisasi sastra dan memberikan otonomi atau emansipasi terhadap
sastra yang terdipinggirkan.
Catatan
[1] Said, Edward W. 2001
(1984). Orientalisme. Terj. Asep Hikmat.
Bandung: Pustaka, hlm. 1-2.
[2] Ibid, hlm. 49.
[3] Ashcroft, Bill, dkk.
1998. Key Concepts in Post-colonial Studies.
New York: Routledge, hlm. 163-164.
Daftar Pustaka
Aijaz Ahmad. 1992. In Theory: Classes, Nations, Literatures,
London: Verso.
Ashcroft, Bill, dkk. 1998.
Key Concepts in Post-colonial Studies.
New York: Routledge.
Said, Edward W. 2001
(1984). Orientalisme. Terj. Asep Hikmat.
Bandung: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar