oleh Sulaiman Djaya (penyair
dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Banten)
“Jangan berkata kepadaku tentang
bulan purnama, tapi perlihatkanlah padaku kilatan cahaya pada pecahan kaca
jendela” (Anton Chekhov, pujangga Rusia)
Salah satu tugas “penulis” –entah penyair, novelis, cerpenis (atau
kapasitas ketiganya yang menyatu dalam satu orang) adalah untuk mengungkap
kemungkinan–kemungkinan baru dari sebuah pemahaman. Seorang penulis harus menjangkau
bentuk-bentuk baru dari pemahaman dengan karya-karya dan tulisan-tulisannya,
semacam memberikan wacana dan diskursus alternatif yang sebelumnya tidak
dilihat dan tidak dipikirkan mereka yang bukan penulis.
Dalam hal ini, menulis adalah masalah mengeksplorasi makna, horizon baru
yang selama ini tidak dipikirkan mereka yang bukan penulis. Karena itulah,
acapkali karya-karya sastra mampu melahirkan wawasan baru dan
pandangan-pandangan alternatif yang tidak disentuh dan dipikirkan para ilmuwan,
misalnya, oleh para pengamat politik dan yang sejenisnya, dan karena itulah,
bersama filsafat, para filsuf menyebut sastra sebagai ‘ibunya’ sains dan ilmu
pengetahuan.
Dan hal lainnya adalah sudut pandang, yang mana sudut pandang akan
menentukan suatu ‘identitas’ dari ‘yang memandangnya’. Suatu subjek dapat
dipandang secara berbeda tergantung kepentingan dan perspektifnya. Sebagai
contoh: seekor kuda bagi seorang ahli biologi adalah binatang mamalia yang
memiliki surai yang berbeda dengan sapi, kerbau, dan binatang lainnya.
Tetapi bagi seorang penulis, seekor kuda akan dilihat dalam konteks yang
beragam dan dalam kadar eksistensial. Kuda yang dibayangkan sebagai makhluk
hidup yang konkrit, yang menarik pedati, yang
menjadi sahabat seorang ksatria, yang mengalami kelelahan dalam perjalanan
menuju medan perang, dan lain sebagainya.
Demikianlah, seorang seniman legendaris, Vincent Van Gogh, melukis
sepasang sepatu petani, tetapi sepatu yang dilukisnya itu tidak ia pahami
sebagai benda mati, melainkan sepatu yang telah menjalani hari-hari melelahkan
bersama seorang petani yang memakainya, sepatu yang mengisahkan riwayat hidup
petani itu sendiri.
Seorang penulis, entah ia seorang penyair,
novelis, cerpenis (atau kapasitas ketiganya dalam satu orang) mestilah mahir
dalam mengisahkan, menarasikan, mewacanakan, memainkan, dan mendadarkan sebuah
sudut pandang yang sebelumnya tidak dipikirkan oleh mereka yang bukan penulis
atau oleh penulis sebelumnya.
Sudut pandang inilah yang akan turut menentukan apakah Anda seorang
penulis yang berhasil atau sebaliknya. Sudah banyak penulis hebat yang
melahirkan karya-karya hebat sebelum Anda, dan karena itu, Anda dapat
menawarkan materi yang sesuai jaman atau mengeksplorasi bentuk dan
eksperimentasi narasi itu sendiri, atau yang juga disebut strategi literer.
Pelajaran pertama seorang penulis adalah menuliskan dan menarasikan apa
yang akrab dengan dirinya. Dengan pengalaman, perasaan, dan kehidupannya
sendiri. Sebagai contoh, para penulis hebat dikenal sebagai para narator ulung
yang mengisahkan dirinya sendiri, yang acapkali sebenarnya bersifat personal
dan eksistensial......
kehidupannya sendiri, kesekitarannya sendiri, segala yang akrab dengan
dirinya sendiri. Itulah yang disebut sebagai kejujuran. Tuliskan apa yang Anda
rasakan, Anda pikirkan, Anda alami dalam hidup Anda. Terminal pemberangkatan
pertama menulis adalah kehidupan dan kesekitaran Anda sendiri.