Rumah Savitri
Rabu, 21 Februari 2018
Minggu, 18 Februari 2018
Minggu, 03 September 2017
Diari Kecil untuk Ibuku
Puisi-Puisi Sulaiman
Djaya
Sumber: Harian Banten
Raya (Jawa Pos Group) Edisi 20 Juli 2013 dan 3 Agustus 2013
KUPU-KUPU
Bertengger di bawah
musim
yang dijahit matahari,
ia pahami senja
yang sebentar lagi
akan padam.
“Tetapi semalam,
aku bayangkan semesta
matamu
seperti isya yang
sabar
menanti lembab subuh
di bawah putih lampu
yang agak rabun.”
Angin yang berdesir,
yang hampir berakhir,
seperti maut
yang tak pernah malu
untuk tidak pamit.
Sesekali, seperti
puisi,
ia diam sejenak
sebelum pergi,
persis ketika cahaya
sorehari
hanya ingin berkebun
di gugusan rambutmu
yang hitam itu.
Seperti kau dan aku,
bisa saja ia lupa
pada kanak-kanak cuaca
yang begitu cepat jadi
api.
Rindu, barangkali,
duh adikku yang manis
semisal bunyi terakhir
sebuah komposisi sajak
yang membuatku
senantiasa
jadi tamu asing bagi
diri.
(2013)
CIBUTAK
Ada sebuah bukit,
dengan ricik air,
yang mengingatkanku
pada sesal Dayang
Sumbi
karena cinta seorang
lelaki.
Angin dari arah gunung
bermain-main dengan
Citarum
yang rindu –rindu yang
limbung
seperti cintaku pada
segala
yang sekarib langit
marun
tak berujung.
Ada sepi yang
membubung
dari arah gunung.
Seperti bulu-bulu kuas
seniman yang lelah.
Seakan dulu,
Sangkuriang,
tak sengaja
menghasrati perempuan
yang melahirkannya.
Barangkali sepi
hanya milik batu-batu
kali.
Ada sebuah bukit,
dengan ricik air,
ketika kaki maut pun
terantuk
sore yang luntur
di pelupuk matamu.
Barangkali
hidup, juga senja yang
sendu,
seperti usia yang
ingin tertidur.
(2013)
DIARI KECIL UNTUK
IBUKU
Dulu, ketika sore
seperti sosokmu yang tertidur,
di saat itu, gerimis
yang terlambat
hanya ingin pulang.
Kau dan aku sebenarnya
diam-diam belajar membaca
bagaimana nama Tuhan
diteriakkan menuju ketiadaan
seperti sebuah
harapan.
Januari mengibaskan
tangannya
seperti sebimbang kuas
mencari
sudut kanvas.
Tetapi kau dan aku
tahu, ibu, apa yang ingin kugambar
sebagai sebuah
kenangan:
langkah-langkah kecil
masa kanak
dan hembus angin di
pematang.
Ketika dengan malas
atau pun bergegas,
hujan menyapu halaman,
dan kelip nyala
lampu-lampu minyak di
dalam rumah
jadi begitu nyata
seperti figur-figur kesedihan
yang lupa untuk
kaucatat
di lembar lusuh sebuah
sajak.
(2011)
Langganan:
Postingan (Atom)