Oleh Zetira Kenang Kania
Selama ini Hubungan
Internasional hanya membahas tentang isu-isu stabilitas keamanan dan perdamaian
dari segi perang antar negara atau militer. Namun, sebenarnya Hubungan
Internasional tidak hanya dlihat dari konflik antar negara, keamanan, dan
perdamian saja. Satu aspek yang sangat berpengaruh di kehidupan kita namun
seringkali kita lupakan, yaitu : lingkungan.
Tanpa kita sadari, isu
lingkungan di dunia ini memiliki pengaruh yang besar terhadap konsep-konsep dan
diskursus utama dalam Hubungan Internasional dan politik global, serta merombak
pemahaman tradisional mengenai keamanan, perkembangan, dan keadilan
internasional dengan diskursus-diskursus keamanan ekologi, perkembangan dunia berkelanjutan,
dan keadilan bagi lingkungan (Eckersley 2007, p.2). Manusia yang menjadi aktor
utama dalam degradasi lingkungan yang selama ini terjadi tidak dapat lagi
disanggah. Aktivitas-aktivitas manusia terbukti telah menyebabkan krisis
ekologi yang ditandai dengan peningkatan ruang lingkup, skala, dan tingkat
keseriusan masalah-masalah lingkungan di dunia dan mulai menjadi isu yang
santer dibicarakan pada pertengahan abad ke-20.
Pertumbuhan ekonomi yang
meningkat dengan sangat cepat, perkembangan teknologi-teknologi yang lebih
mutakhir, serta populasi yang meningkat di periode ini menyebabkan meningkatnya
konsumsi energi dan sumber daya alam, meningkatnya polusi dan limbah, serta
pengikisian biodiversitas yang ada di bumi. Masalah-masalah lingkungan yang terjadi
ini jauh lebih kompleks daripada masalah-masalah militer karena mencakup skala
waktu yang lebih lama, jangkauan aktor-aktor yang lebih luas, serta memerlukan
proses negosiasi dan kerjasama di antara jangkauan para pengambil keputusan
yang lebih luas (Eckersley 2007, p.3).
Para teoris green politic
mengkritik abad pencerahan Barat serta era industrialisasi sebagai permulaan
dari ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan serta titik pncak dari
keegoisan manusia tanpa mempedulikan nilai-nilai ekologi, sosial, serta
psikologi. Selain itu mereka juga berasumsi bahwa manusia memang merupakan akor
utama evolusi, pusat dari nilai dan makna yang terkandung di dunia, dan
satu-satunya yang memiliki moral. Sehingga nasib lingkungan ini bergantung pada
kesadaran manusia untuk beraksi menyelamatkan lingkungan dunia ini.
Perspektif ekosentris juga
berpendapat bahwa pemerintahan yang mengatur lingkungan harus melindungi semua
aspek yang ada di lingkungan dunia, tidak hanya melindungi kesehatan dan
kebaikan eksistensi komunitas manusia dan generasi muda semata, tapi juga
mengatur jaringan-jaringan lebih luas yang ada dalam kehidupan serta mendirikan
komunitas ekologi pada setiap level. Mungkin bagi kita para manusia, lingkungan
hanyalah masalah sederhana atau pelengkap dalam kehidupan kita. Namun,
sebenarnya masalah lingkungan ini lebih kompleks dari yang kita tahu. Bahkan
lebih kompleks daripada yang seharusnya kita tahu (Eckersley 2007, p.4).
Kemunculan green politic
terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama menyoroti irasionalitas ekologi
terhadap institusi-institusi sosial, seperti : pasar dan negara. Dalam
gelombang pertama ini, para teoris green politic telah memberikan penjelasan
dan bayangan-bayangan tentang demokrasi yang mengakar serta komunitas
berkelanjutan secara ekologi sebagai jalan alternatif. Kemudian, dalam
gelombang green politic yang kedua, para teoris mulai merombak kembali beberapa
pemikiran bahkan mulai mentransnasionaliskan ruang lingkup beberapa konsep
politik dan institusi-institusi dengan isu lingkungan sebagai inti utama.
Hasil-hasil dari gelombang
green politic kedua ini antara lain: Environmental justice, environmental
rights, environmental democracy, environmental activism, environmental
citizenship, dan green states. Nilai-nilai gelombang kedua green politic ini
juga meningkatkan pendekatan nilai-nilai antara green politic dengan studi
Hubungan Internasional. Terutama pada bagian hak asasi manusia, demokrasi
kosmopolitan, masyarakat sipil transnasional, dan public transnasional.
Pada akhirnya, nilai-nilai
tersebut memberikan sumbangsih dalam membantu pembentukan cabang normatif
Hubungan Internasional mengenai green politic yang berkonsentrasi pada keadilan
lingkungan global. Keadilan lingkungan global ini makin disorot setelah
banyaknya ketidakadilan yang timbul yang melanda negara-negara dunia ketiga
ketika lingkungan mereka rusak dan mereka harus berusaha untuk memulihkan
lingkungan mereka, padahal posisi mereka bukanlah sebagai aktor utama dibalik
kerusakan lingkungan tersebut, namun negara-negara maju lah yang berperan besar
dalam kerusakan tersebut tetapi mereka cenderung tidak mau tahu dan tidak
betanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi pada negara-negara
berkembang tersebut (Eckersley, 2007).
Tujuan dari adanya isu
keadilan lingkungan global ini antara lain : untuk mengurangi resiko ekologi
dan untuk mencegah eksternalisasi dan penempatan yang tidak adil, melalui ruang
dan waktu, terhadap negara-negara yang sedang berkembang. Negara-negara
berkembang yang seringkali dirugikan akibat ulah-ulah negara maju yang
mengeksploitasi sumber daya alam mereka sudah saatnya diberi perlindungan dan
perlakuan yang adil. Hal ini juga sangat memerlukan kesadaran dari
negara-negara maju bahwa lingkungan dunia ini merupakan lingkungan kita bersama
dimana tiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dan sesuai proporsinya
dalam menangani masalah lingkungan ini (Eckersley, 2007).
Selama ini, neorealist dan
neoliberalist serta perspektif-perspektif mainstream lainnya dalam Hubungan
Internasional hanya menonjolkan satu sisi dalam Hubungan Internasional saja,
namun disini teori hijau menawarkan berbagai solusi. Para ahli politik hijau
ini berkonsentrasi pada bagaimana seharusnya struktur sosial berperan dalam
mengembangkan inisiatif-inisiatif terhadap lingkungan dengan lebih efektif.
Selain itu, green politic
mengkritik pendekatan rasionalis yang dipelopori oleh para toris kritis dan
konstruktivis yang mengekspos pembatasan dalam kerangka analisis dan penjelasan
mengenai kekuatan kaum positivis di Hubungan Internasional. Green theory ini
juga selalu menonjolkan peran dari aktor-aktor non-state yang telah berperan
banyak dalam hal membangun sebuah pemerintahan deteritorialisasi sehingga
membantu menyadarkan dunia tentang pentingnya lingkungan (Eckersley, 2007).
Namun, layaknya teori-teori lain yang eksis dalam Hubungan Internasional,
selalu ada kritik-kritik yang meliputi perjalanan teori tersebut. Salah satunya
adalah kritik dari kaum skeptic green theory. Yaitu jika isu lingkungan
dijadikan sebagai isu utama dalam hubungan internasional, maka kemungkinan
besar kasus-kasus “High Politic” akan terabaikan. Menurut mereka, isu-isu
keamanan dan militer meiliki dimensi berbeda yang tidak bisa disatukan dengan
isu-su lingkungan (Eckersley, 2007).
Sumber:
Eckersley, Robyn, 2007. Green Theory, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve
Smith (eds.) International Relations Theories, Oxford University Press, pp.
247-265.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar