“Hidup
bersosial sudah terpatri dalam jati diri manusia. Untuk itu, guna menangani
seluruh kebutuhan hidup, ia harus hadir aktif di tengah masyarakat. Tapi, dari
sisi lain, ia adalah sebuah makhluk yang ingin menang sendiri”
Oleh Hujjatul Islam Malekirad
Keharusan
hidup bersosial dan keinginan untuk menang sendiri mendorong manusia untuk
saling bertikai dan bertengkar. Untuk menyudahi pertikaian-pertikaian tak
berguna ini, diperlukan sebuah undang-undang dan badan yang menjalankan
undang-undang ini.
Di sepanjang
sejarah, dengan memahami kebutuhan tersebut di atas, umat manusia berusaha
menetapkan undang-undang yang sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang mereka
hadapi. Di samping itu, mereka juga menetapkan berlandaskan pada akal komunal
yang dimiliki sebuah lembaga yang dapat menjalankan undang-undang tersebut
dengan benar. Lembaga ini, bergantung kepada kondisi ruang dan waktu, beraneka
ragam. Mulai dari kepala kampung hingga kepala kabilah. Dan akhirnya,
terbentuklah sebuah lembaga yang lebih besar dan lebih komunal bernama negara.
Faktor terpenting
yang mendorong pembentukan negara adalah menjalankan undang-undang guna
mewujudkan ketertiban di tengah masyarakat manusia. Yakni seandainya
undang-undang yang ditetapkan pun sangat maju dan bahkan bersumber dari
kitab-kitab langit sekalipun tetapi tidak memiliki badan mumpuni untuk
menjalankannya, maka undang-undang ini pun tidak akan berguna untuk menciptakan
ketertiban di tengah masyarakat.
Dengan demikian,
kebutuhan terhadap negara dalam sebuah tatanan masyarakat manusia termasuk
kebutuhan yang sangat fundamental, karena ketiadaan lembaga ini akan
menyebabkan kekacauan di tangan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, hidup
ini bagi semua anggota masyarakat akan menjadi negara.
Dari penjelasan di
atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut ini:
Pertama, keberadaan sebuah undang-undang untuk kehidupan
manusia sangat urgen diperlukan.
Kedua, untuk menjalankan undang-undang tersebut diperlukan
sebuah lembaga dan badan resmi bernama negara.
Untuk itu, di
sepanjang sejarah manusia, seluruh aliran dan agama, baik yang bersumber dari
Tuhan maupun tidak, memiliki satu pesan penting; yakni menciptakan
undang-undang. Untuk melaksanakan undang-undang ini, mereka juga mengusulkan
sistem pemerintahan kepada masyarakat.
Agama Islam sebagai
agama Allah yang terakhir memiliki sistem pengetahuan, nilai, dan undang-undang
tinggi yang terjelma dalam al-Quran dan Sunah para manusia maksum as. Tentu
saja, guna menjalankan undang-undang ini diperlukan para eksekutor yang adil
dan komitmen serta berhubungan dengan sebuah sistem negara yang berkomitmen
untuk menjalankan undang-undang tersebut. Hal inilah yang mendorong Rasulullah
saw, ketika telah berhasil menancapkan fondasi dakwah di Madinah, untuk
membangun fondasi negara di kota suci ini dan membentuk sebuah sistem eksekutif
yang sesuai dengan kondisi yang dominan kala itu.
Setelah Rasulullah
saw meninggal dunia, Para Imam Maksum as pun aktif dalam roda pemerintahan
masing-masing sesuai dengan kondisi ruang dan waktu yang berlaku kala itu.
Contoh paling nyata untuk hal ini adalah pemerintahan Imam Ali as selama lima
tahun. Sekalipun harus menghadapi banyak pasang surut, beliau telah berhasil
menunjukkan sebuah model pemerintahan Ilahi di muka bumi dan meninggalkan
banyak pelajaran berharga bagi umat manusia.
Sirah Imam Ali bin
Abi Thalib as dalam memanajemen negara bisa dijadikan model oleh para pecinta
beliau dalam menjalankan negara.
Dalam perspektif
maktab Alawi, undang-undang yang ditetapkan oleh Allah adalah lebih sempurna
dan lebih konprehensif dibandingkan dengan undang-undang yang ditetapkan oleh
manusia sendiri.
Ketika memaparkan
filsafat negara Islam, Imam Ali as menegaskan, “Ya Allah! Engkau sendiri tahu
bahwa perang kami ini bukanlah untuk memperebutkan kekuasaan dan menumpuk harta
dunia. Tetapi kami hanya ingin mengembalikan tanda-tanda agama-Nya ke tempatnya
yang sebenarnya dan ingin melakukan perbaikan di muka bumi-Mu sehingga para
hamba-Mu yang terzalimi bisa hidup dengan aman dan seluruh undang-undang-Mu
yang telah terlupakan bisa dihidupkan kembali.”
Untuk itu, Imam Ali
as menjelaskan seluruh tujuan negara Islam dalam surat kepada Malik Asytar
dalam empat barometer:
[a] Mengurusi urusan finansial dan ekonomi.
[b] Menangani urusan militer guna membangun kesiapan
untuk melawan musuh.
[c] Mempersiapkan lahan sosial dan stabilitas sosial
supaya seluruh kemampuan masyarakat dan nilai-nilai Ilahi-insani bisa
berkembang di tengah masyarakat.
[d] Melaksanakan pembangunan dan kemakmuran di segala
bidang.
Melihat
tujuan-tujuan mulia yang telah dicanangkan di atas, Imam Ali as telah
mencincingkan lengan baju pada lima tahun kekuasaan untuk memperkokoh sistem
negara Islami. Akhirnya, beliau pun gugur syahid di jalan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar