Oleh
Siti Nur Wakhidah (UIN Sunan
Kalijaga)
“Fitrah”
adalah kata yang sering diucapkan, yang sering dimaknai dengan suci, murni, bahkan kodrati atau alami. Terdapat juga hadis-hadis Nabi yang memuat
tentang “fitrah”. Kata tersebut sering mengundang perdebatan dalam upaya
mencari makna dan memahaminya secara tepat. Karena kata tersebut berasal dari
al-Qur’an maka pemaknaanya juga harus dikembalikan kepada al-Qur’an. Untuk
mengetahui lebih dalam mengenai kata “fitrah” ini, peneliti memfokuskan diri
pada kajian penafsiran “fitrah” yang terdapat dalam Tafsir Marah Labid karya
Nawawi al-Bantani.
Dengan
mengkaji pemikiran Nawawi Al-Bantani tersebut, diharapkan dapat memberikan
pemahaman mengenai makna “fitrah” secara lebih tepat, serta untuk mengetahui
bagaimana implikasi penafsiran Nawawi Al-Bantani tentang “fitrah” khususnya
jika dikaitkan dengan konteks kekinian.
Dalam
penelitian ini penyusun menggunakan metode kualitatif yaitu dilakukan dengan mendiskripsikan
data yang telah diperoleh kemudian dianalisis sehingga dapat ditarik sebuah
kesimpulan. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kata Fitrah akar katanya
ialah fa-ta-ra yang dalam Al-Qur’an diungkapkan sebanyak 20 ayat pada 17 surat dengan
segala bentuk kata urutannya.
Fitrah
merupakan keadaan dasar (kholqiyah) yang sudah dicelup oleh Allah dalam diri
manusia untuk beragam Tauhid (haq) yang proses aktualisasi dan pengembangannya
sangat ditentukan oleh pemberdayaan potensi-potensi munazzalah (potensi yang
mendukungnya) yang sangat dipengaruhi oleh dinas luar.
Dalam
perkembangannya, fitrah manusia yang mengarah pada tauhid ini bisa berubah
ataupun pecah, bisa menjadi baik ataupun buruk, benar atau salah, lurus dan
sesat. Oleh karena itu, dalam kenyataan kehidupan banyak dijumpai adanya
penyimpangan-penyimpangan fitrah, perilaku-perilaku yang asusila, dan sebagainya.
Hal
ini terjadi karena fitrah tersebut dapat dipalingkan oleh dorongan yang ada di
luar naluri fitrah, sehingga diperlukan hidayah (petunjuk). Maka untuk itu,
menurut Nawawi al-Bantani perlu dipahami adanya uluhiyah dan 'ubudiyah dalam
proses aktualisasi dan pengembangannya, fitrah sangat ditentukan faktor-faktor
dari luar, terutama faktor keluarga, dan lingkungan sekitarnya, maupun
faktor-faktor Munazzalah yang ada dalam diri manusia itu sendiri seperti akal,
qalb, ruh, dan nafs.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Nawawi al-Bantani, menafsikan fitrah
dengan cipta, tauhid, ibtida' dan pecah. Dalam hal ini, penulis mengkategorikan,
menjadi dua bagian, yaitu fitrah dalam konteks pecah dan fitrah dalam konteks
penciptaan. Yang dimaksud ibtida' adalah keawalmulaan sesuatu dan tidak adanya sesuatu
jenis yang mendahuluinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar