Label

Jumat, 06 Februari 2015

Menonton Kembali Good Will Hunting


Oleh Hendry Kurniawan

Good Will Hunting (1993), salah satu film favorit di antara semua film yang pernah saya tonton. Film besutan sutradara Gus van Sant (Milk; Paris, Je T'Aime) ini selalu sukses membuat saya tertegun saat menontonnya. Adegan yang paling suka dari film ini adalah setiap sesi konsultasi antara Sean Maguire (Robin Williams) dan Will Hunting (Matt Damon), sebab percakapan kedua tokoh ini sangat menyentuh dan membuat saya selalu berpikir ulang tentang arti dan tujuan hidup, ketidaksempurnaan setiap manusia, kasih sayang, dan kesetiaan.

Sebagai seorang yatim piatu yang diangkat oleh ayah ringan tangan, Will tumbuh menjadi pria yang tidak bisa dekat dengan orang lain, termasuk dalam urusan wanita. Absennya kasih sayang dalam kehidupan Will membentuknya menjadi pribadi tertutup, tidak percaya pada rasa cinta dan kasih sayang yang diberikan orang lain, dan tempramental. Namun, di luar semua itu, Will adalah pemuda yang jenius dalam bidang sains. Itulah yang menyebabkan Prof. Gerald Lambeau (Stellan Skarsgård) terobsesi dengan Will dan ingin memaksakan kehendaknya agar Will bekerja di bidang matematika dan menyebarkan ilmu yang dimilikinya, meski Will sendiri tidak tahu apa tujuan hidup yang ingin dicapainya dan seperti apa ia ingin menjalankan hidupnya. Keadaan Will ini mengingatkan saya bahwa seberapapun pintar, kaya, atau berkuasanya seseorang, bila tidak memiliki tujuan dan memahami eksistensi kehidupannya, maka semua itu akan sia-sia. Kecerdasan, limpahan materi, atau daya kuasa yang besar tanpa tahu apa yang akan dicapai hanya membuat diri terombang-ambing, mudah dipengaruhi orang lain.

Bersyukurlah tokoh Will ini karena ia dipertemukan oleh Sean Maguire, psikolog yang kesepian sejak kematian istrinya. Will selalu mendapat pencerahan di hampir setiap sesi konsultasinya dengan Sean. Tujuan hidup, cinta, kasih sayang, dan self respect adalah beberapa hal yang dipelajari Will dari Sean dan sebaliknya, Sean pun selalu berintrospeksi diri setelah mendengarkan pernyataan atau pertanyaan Will. Salah satu bagian yang paling saya suka adalah ketika Sean mengatakan jangan pernah mencintai seseorang karena kesempurnaannya, sebab kita hanya akan kecewa bila ternyata kita tidak menemukan kesempurnaan yang kita harapkan pada orang yang kita cintai. Cintailah seseorang karena rasa saling melengkapi di antara ketidaksempurnaan yang dimiliki. Itulah yang membuat seseorang berarti bagi orang lain. Sean pun juga belajar dari Will bahwa apapun yang terjadi dalam hidup ini, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh putus asa. Life goes on!

Film yang mendapat 2 anguerah Academy Awards untuk Robin Williams sebagai peran pembantu terbaik dan skenario asli terbaik untuk Matt Damon dan Ben Affleck ini juga menyajikan kisah kasih sayang dan kesetiaan dalam persahabatan. Chuckie Sullivan (Ben Affleck), teman terdekat Will, ingin melihat sahabatnya ini sukses dan tidak mengikuti jejaknya yang hanya menjadi pekerja kasar tanpa masa depan cerah karena tidak memiliki kemampuan apa-apa. Will adalah orang yang spesial, sangat jenius, sehingga ia tidak boleh menyia-nyiakan hidup dan berkat yang dimiliknya. Chuckie sangat yakin dan percaya bahwa masa depan cemerlang menanti Will.

Setelah mendeksonstruksi film ini, saya mendapatkan satu scene yang mengungkapkan siapa sebenarnya tokoh Will. Secene tersebut adalah pada saat sesi konsultasi antara Sean dan Will, di mana Sean mengucapkan kalimat "It's not your fault" (saya menghitung, tokoh Sean mengucapkan sepuluh kali kalimat tersebut). Adegan tersebut merupakan momen kunci di mana dinding yang selama ini memisahkan kehidupan Will dari kebahagiaan, dinding yang membekukan hati Will, dinding yang menjadi tempat berlindung Will ketika ia lari dari kehidupan, dan kini dengan satu kalimat "it's not your fault", dinding itu runtuh, membebaskan Will dari sisi gelap hidupnya.

Secara keseluruhan, Robin Williams seperti dalam kebanyakan filmnya tampil memukau dan menyentuh. Menurut saya, Williams adalah satu di antara sedikit aktor yang dapat menempatkan dirinya dalam berbagai peran yang jauh berbeda. Dengan jam terbang yang tinggi, performa Williams sangat "cair", dalam arti ia hampir tidak pernah terlihat mereplikasi peran yang pernah ia bawakan di film terdahulu ke film-film selanjutnya. He's considerably versatile (bandingkan dengan Johnny Depp yang bagi saya setelah membawakan Jack Sparrow, pergerakan, gaya bicara, dan mimik mukanya tetap terlihat serupa pada tokoh-tokoh yang ia perankan selanjutnya seperti Willy Wonka, Mad Hatter, bahkan Frank Tupelo). Karakter Sean dalam film ini merupakan pencapaian Williams lainnya selain beberapa karakter yang paling diingat yang pernah Williams perankan seperti John Keating (Dead Poets Society), Jack Powell (Jack), dan Seymour Parrish (One Hour Photo).

Dalam Good Will Hunting, scene yang paling berhasil menangkap penampilan brilian Williams adalah adegan antara Sean dan Will di taman. Adegan itu sangat berbeda dari sesi-sesi konsultasi Will dengan Sean yang selalu berlatar di ruang kerja Sean. Dalam secene tersebut, Sean menyatakan bahwa Will tak ubahnya seorang anak kecil. Ia pernah membaca berbagai hal dari mulai yang kecil hingga yang rumit sekalipun. Tetapi Will tidak pernah benar-benar merasaka apa yang pernah dibaca, yang pernah diketahui, yang tersimpan dalam otak jeniusnya. Ia bahkan tak pernah pergi keluar Boston. Semua itu sangat berbeda dengan Sean yang telah merasakan asam garam kehidupan. Dalam adegan itu, William bermonolog sebagai Sean yangmengungkapkan pandangannya terhadap Will. Dialog yang diucapkan Sean penuh dengan kata-kata yang mengecilkan Will. Sean bisa saja mengungkapkan kata-kata tersebut dengan berapi-api, penuh luapan kemenangan. Tetapi karakter Sean sebagai seorang psikolog sekaligus teman bagi Will mencegahnya melakukan hal demikian, sehingga Sean mengungkapkan pendapatnya dengan perlahan, tetapi dengan nada menyedihkan yang dapat membuat siapapun yang mendengarnya menjadi termenung dan berpikir bahwa dirinya tidak sehebat yang selama ini dianggap orang. Ditaburi dengan berbagai macam isu mulai dari tokoh seni termahsyur seperti Michelangelo dan Shakespeare hingga pengalaman sentimentil atas kepergian orang-orang terkasih, monolog itu berhasil memberikan informasi lengkap mengenai siapa sebenarnya Sean dan Will.

Adegan monolog berdurasi sekitar empat menit. Empat menit memang bukan bagian besar untuk durasi keseluruhan sebuah film, tetapi empat menit untuk adegan monoton merupakan durasi yang cukup panjang yang membuat penonton fokus pada satu tokoh. Adegan ini didukung dengan pengambilan gambar yang dengan cerdas fokus ke wajah Williams selama ia bermonolog, membuat penonton dapat meresapi setiap kata yang ducapkan dan menangkap semua ekspresi di wajah itu, dengan sesekali memperlihatkan Will yang mendengarkan apa yang diungkapkan secara verbal oleh tokoh Sean. Bahkan di saat kamera mengambil gambar Damon, penonton tetap akan fokus mendengar suara Williams yang bernada rendah namun sangat dalam. Sepanjang monolog itu, Will hanya mengangguk dan memberikan jawaban singkat seperti "yes" dan "nope", membuat penonton ikut terbawa dalam aliran kata-kata Sean. Setelah Sean selesai mengungkapkan pendapat (dan perasaannya), kamera beralih sepenuhnya mengambil gambar Will. Will tampak seperti baru saja ditelanjangi dengan fakta kehidupan dirinya, ia terkesima, ia menyadari, dan yang paling penting: ia menyetujui semua perkataan Sean, meninggalkan keheningan dan kehancuran dalam hati Will. Ia pun duduk termenung seorang diri di sebuah taman indah. Sangat brilian!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar