Oleh Hendry Kurniawan
Good Will Hunting
(1993), salah satu film favorit di antara semua film yang pernah saya tonton.
Film besutan sutradara Gus van Sant (Milk; Paris, Je T'Aime) ini
selalu sukses membuat saya tertegun saat menontonnya. Adegan yang paling suka
dari film ini adalah setiap sesi konsultasi antara Sean Maguire (Robin
Williams) dan Will Hunting (Matt Damon), sebab percakapan kedua tokoh ini
sangat menyentuh dan membuat saya selalu berpikir ulang tentang arti dan tujuan
hidup, ketidaksempurnaan setiap manusia, kasih sayang, dan kesetiaan.
Sebagai seorang yatim piatu yang diangkat oleh
ayah ringan tangan, Will tumbuh menjadi pria yang tidak bisa dekat dengan orang
lain, termasuk dalam urusan wanita. Absennya kasih sayang dalam kehidupan Will
membentuknya menjadi pribadi tertutup, tidak percaya pada rasa cinta dan kasih
sayang yang diberikan orang lain, dan tempramental. Namun, di luar semua itu,
Will adalah pemuda yang jenius dalam bidang sains. Itulah yang menyebabkan
Prof. Gerald Lambeau (Stellan Skarsgård) terobsesi dengan Will dan ingin
memaksakan kehendaknya agar Will bekerja di bidang matematika dan menyebarkan
ilmu yang dimilikinya, meski Will sendiri tidak tahu apa tujuan hidup yang
ingin dicapainya dan seperti apa ia ingin menjalankan hidupnya. Keadaan Will
ini mengingatkan saya bahwa seberapapun pintar, kaya, atau berkuasanya
seseorang, bila tidak memiliki tujuan dan memahami eksistensi kehidupannya,
maka semua itu akan sia-sia. Kecerdasan, limpahan materi, atau daya kuasa yang
besar tanpa tahu apa yang akan dicapai hanya membuat diri terombang-ambing,
mudah dipengaruhi orang lain.
Bersyukurlah tokoh Will ini karena ia dipertemukan
oleh Sean Maguire, psikolog yang kesepian sejak kematian istrinya. Will selalu
mendapat pencerahan di hampir setiap sesi konsultasinya dengan Sean. Tujuan
hidup, cinta, kasih sayang, dan self respect adalah beberapa hal yang
dipelajari Will dari Sean dan sebaliknya, Sean pun selalu berintrospeksi diri
setelah mendengarkan pernyataan atau pertanyaan Will. Salah satu bagian yang
paling saya suka adalah ketika Sean mengatakan jangan pernah mencintai
seseorang karena kesempurnaannya, sebab kita hanya akan kecewa bila ternyata
kita tidak menemukan kesempurnaan yang kita harapkan pada orang yang kita
cintai. Cintailah seseorang karena rasa saling melengkapi di antara
ketidaksempurnaan yang dimiliki. Itulah yang membuat seseorang berarti bagi
orang lain. Sean pun juga belajar dari Will bahwa apapun yang terjadi dalam
hidup ini, perjuangan harus diteruskan dan tidak boleh putus asa. Life goes
on!
Film yang mendapat 2 anguerah Academy Awards untuk
Robin Williams sebagai peran pembantu terbaik dan skenario asli terbaik untuk
Matt Damon dan Ben Affleck ini juga menyajikan kisah kasih sayang dan kesetiaan
dalam persahabatan. Chuckie Sullivan (Ben Affleck), teman terdekat Will, ingin
melihat sahabatnya ini sukses dan tidak mengikuti jejaknya yang hanya menjadi
pekerja kasar tanpa masa depan cerah karena tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Will adalah orang yang spesial, sangat jenius, sehingga ia tidak boleh
menyia-nyiakan hidup dan berkat yang dimiliknya. Chuckie sangat yakin dan
percaya bahwa masa depan cemerlang menanti Will.
Setelah mendeksonstruksi film ini, saya mendapatkan
satu scene yang mengungkapkan siapa sebenarnya tokoh Will. Secene tersebut
adalah pada saat sesi konsultasi antara Sean dan Will, di mana Sean mengucapkan
kalimat "It's not your fault" (saya menghitung, tokoh Sean
mengucapkan sepuluh kali kalimat tersebut). Adegan tersebut merupakan momen
kunci di mana dinding yang selama ini memisahkan kehidupan Will dari
kebahagiaan, dinding yang membekukan hati Will, dinding yang menjadi tempat
berlindung Will ketika ia lari dari kehidupan, dan kini dengan satu kalimat
"it's not your fault", dinding itu runtuh, membebaskan Will
dari sisi gelap hidupnya.
Secara keseluruhan, Robin Williams seperti dalam
kebanyakan filmnya tampil memukau dan menyentuh. Menurut saya, Williams adalah
satu di antara sedikit aktor yang dapat menempatkan dirinya dalam berbagai
peran yang jauh berbeda. Dengan jam terbang yang tinggi, performa Williams
sangat "cair", dalam arti ia hampir tidak pernah terlihat mereplikasi
peran yang pernah ia bawakan di film terdahulu ke film-film selanjutnya. He's
considerably versatile (bandingkan dengan Johnny Depp yang bagi saya
setelah membawakan Jack Sparrow, pergerakan, gaya bicara, dan mimik mukanya
tetap terlihat serupa pada tokoh-tokoh yang ia perankan selanjutnya seperti
Willy Wonka, Mad Hatter, bahkan Frank Tupelo). Karakter Sean dalam film ini
merupakan pencapaian Williams lainnya selain beberapa karakter yang paling
diingat yang pernah Williams perankan seperti John Keating (Dead Poets Society), Jack Powell (Jack),
dan Seymour Parrish (One Hour Photo).
Dalam Good Will Hunting, scene
yang paling berhasil menangkap penampilan brilian Williams adalah adegan antara
Sean dan Will di taman. Adegan itu sangat berbeda dari sesi-sesi konsultasi
Will dengan Sean yang selalu berlatar di ruang kerja Sean. Dalam secene
tersebut, Sean menyatakan bahwa Will tak ubahnya seorang anak kecil. Ia pernah
membaca berbagai hal dari mulai yang kecil hingga yang rumit sekalipun. Tetapi
Will tidak pernah benar-benar merasaka apa yang pernah dibaca, yang pernah
diketahui, yang tersimpan dalam otak jeniusnya. Ia bahkan tak pernah pergi
keluar Boston. Semua itu sangat berbeda dengan Sean yang telah merasakan asam
garam kehidupan. Dalam adegan itu, William bermonolog sebagai Sean
yangmengungkapkan pandangannya terhadap Will. Dialog yang diucapkan Sean penuh
dengan kata-kata yang mengecilkan Will. Sean bisa saja mengungkapkan kata-kata
tersebut dengan berapi-api, penuh luapan kemenangan. Tetapi karakter Sean
sebagai seorang psikolog sekaligus teman bagi Will mencegahnya melakukan hal
demikian, sehingga Sean mengungkapkan pendapatnya dengan perlahan, tetapi
dengan nada menyedihkan yang dapat membuat siapapun yang mendengarnya menjadi
termenung dan berpikir bahwa dirinya tidak sehebat yang selama ini dianggap
orang. Ditaburi dengan berbagai macam isu mulai dari tokoh seni termahsyur
seperti Michelangelo dan Shakespeare hingga pengalaman sentimentil atas
kepergian orang-orang terkasih, monolog itu berhasil memberikan informasi
lengkap mengenai siapa sebenarnya Sean dan Will.
Adegan monolog berdurasi sekitar empat menit.
Empat menit memang bukan bagian besar untuk durasi keseluruhan sebuah film,
tetapi empat menit untuk adegan monoton merupakan durasi yang cukup panjang
yang membuat penonton fokus pada satu tokoh. Adegan ini didukung dengan
pengambilan gambar yang dengan cerdas fokus ke wajah Williams selama ia
bermonolog, membuat penonton dapat meresapi setiap kata yang ducapkan dan menangkap
semua ekspresi di wajah itu, dengan sesekali memperlihatkan Will yang
mendengarkan apa yang diungkapkan secara verbal oleh tokoh Sean. Bahkan di saat
kamera mengambil gambar Damon, penonton tetap akan fokus mendengar suara
Williams yang bernada rendah namun sangat dalam. Sepanjang monolog itu, Will
hanya mengangguk dan memberikan jawaban singkat seperti "yes" dan
"nope", membuat penonton ikut terbawa dalam aliran kata-kata Sean.
Setelah Sean selesai mengungkapkan pendapat (dan perasaannya), kamera beralih
sepenuhnya mengambil gambar Will. Will tampak seperti baru saja ditelanjangi
dengan fakta kehidupan dirinya, ia terkesima, ia menyadari, dan yang paling
penting: ia menyetujui semua perkataan Sean, meninggalkan keheningan dan
kehancuran dalam hati Will. Ia pun duduk termenung seorang diri di sebuah taman
indah. Sangat brilian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar