Oleh Efrizal Malalak, MA
Gelombang kemarahan Rakyat Arab terhadap
penguasanya terus bergulir. Satu persatu penguasa diktator di tanah Arab
bertumbangan. Dimulai dari Tunisia, Libya, Mesir dan merambat ke Yaman dan
Suriah. Saat ini penguasa Arab yang bergelar Amir pun deg-degan,
jangan-jangan gelombang tsunami perubahan itu menjangkiti rakyatnya. Bisa-bisa
kekuasaan copot atau lebih ngeri lagi nyawa sendiri yang melayang, seperti yang
dialami Muammar Khadafi.
Siapa sangka Arab yang dahulunya adem
ayem karena kemakmuran yang melimpah, kini membara. Tentu jadi pertanyaan bagi
kita, apa sebenarnya yang diinginkan rakyat Arab tersebut? Terutama dalam hal
ini di Suriah. Kalau melihat sejarah negara Suriah, merupakan negara terkuat di Timur Tengah dari segi militer. Negara ini juga salah satu, di samping Iran,
yang mendukung kemerdekaan Palestina. Suriah juga negara yang berani menentang
hegemoni Amerika di dunia. Suriah juga lah yang berani berperang dengan Israel.
Di samping itu Suriah pula yang mensubsidi kelompok perlawanan Hizbullah yang
sangat anti dengan Israel.
Suriah sebagai negara terkuat Militernya
di kawasan Timur Tengah tidak terlepas bantuan dari Rusia. Suriah juga menjalin
hubungan yang baik dengan Iran. Kekuatan militer Suriah jelas ditakuti oleh
musuh-musuhnya, terutama Israel. Tidak dipungkiri Israel telah lama dianggap
musuh bersama oleh Arab akibat penjajahannya di Palestina. Dengan dukungan
Rusia di belakang Suriah, jelas bahwa Suriah adalah ancaman serius bagi
Israel. Kondisi ini disadari betul oleh Israel. Bagaimana tidak kekuatan
militer Suriah dan Iran yang secara nyata mengungkapkan permusuhannya dengan
Israel, jelas menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan negara Israel.
Dengan memanfaatkan momentum tsunami
reformasi dari Tunisia, Libiya dan Mesir, Israel mencoba menggoyang kekuasaan
Presiden Suriah Bashar al Assad. Kita tahu bagaimana canggihnya agen rahasia
Israel, Mossad bekerja. Suriah yang dulu negeri aman, bahkan pengakuan
presidennya sendiri, kalau pergi ke pasar beliau tidak pernah dikawal. Artinya
dia aman berada di tengah rakyatnya sendiri. Namun, dalam sekejab kondisi
ini berubah. Rakyatnya sebagian berusaha menggulingkannya. Seruan berdialog
dari presiden Bashar tidak diindahkan para pemberontak tersebut. Aneh..! Tawaran
perdamaian ditolak. Agen intelijen Israel telah bermain. Isu-isu negatif
tentang keluarga presiden dihembuskan. Lobi-lobi Israel di Barat berhasil
menggalang dukungan untuk mengumpulkan senjata bagi pemberontak Suriah.
Inggris dan Prancis serta Amerika dengan suka rela memberikan senjata cuma-cuma
kepada pemberontak. Ini serupa dengan tindakan Amerika membagikan senjata
kepada PRRI tahun 1958-1960 saat memberontak kepada presiden Soekarno. Sekali
lagi Barat mengobarkan pertumpahan darah di tanah Arab.
Para pemberontak Suriah tidak menyadari
kalau mereka telah dijadikan pioner untuk masuknya kepentingan Barat. Berbagai
senjata yang diterima oleh pemberontak Suriah, sebenarnya tidak gratis. Sebab
tujuan Barat jelas, bahwa ada agenda ekonomi dan politik dalam pemberian
senjata tersebut. Barat memiliki “Hiden Agenda” di Suriah. Hanya
orang yang berpikir jernihlah yang bisa menangkap itu. Pikiran picik sebagian
warga Suriah telah membutakan mereka akan tujuan Barat tersebut.
Pesiden Bashar al Assad sampai saat ini
masih bertahan. Dia berupaya menggalang dukungan dari Rusia dan Iran. Kedua
negara ini sudah menyiapkan dukungannya. Di tingkat PBB Rusia berupaya
menggagalkan upaya Barat menjatuhkan sanksi kepada Suriah dan Iran juga siap
mengirimkan tentaranya ke Suriah. Ini benar-benar sebuah percaturan politik
internasional. Presiden Bashar al Assad tidak ingin negaranya terkoyak-koyak
dan hancur. Untuk itu dia berupaya secepat mungkin memadamkan pemberontakan
tersebut. Barat pun seolah-olah berpacu dengan waktu tidak ketinggalan
menyuplai senjata dan dana kepada pemberonak.
Di sinilah letak peran Israel. Kekuatan
intelijennya benar-benar bekerja. Israel sekarang menunggu jatuhnya rezim
Basahr al Assad. Israel yang memantik api, namun Baratlah yang mengobarkan api.
Barat pula lah yang menyuplai bantuan yang dibutuhkan pemberontak. Kepentingan
Barat jelas sumber minyak di Suriah. Kepentingan Israel adalah meminimalisir
musuh-musuhnya di Timur Tengah.
Suriah sebagai salah satu negara Arab
perlu ditolong oleh negara yang serumpun dengannya. Perlu mereka sadari
bersama, bahwa Arab harus bersatu melawan kehendak Barat, yang bertindak seperti
lakon Koboy di Irak, Libya dan Suriah. Barat melihat Arab tidak lebih dari
minyak yang sangat berlimpah. Hasrat itulah yang membuat mereka untuk menguasai
Arab.
Arab tidak bisa memainkan kunci minyak
yang berada di tangan mereka tersebut. Tapi justru merekalah yang didikte oleh
bangsa yang membutuhkan minyak mereka. Kegagalan Arab untuk memainkan senjata
ampuh mereka tiada lain disebabkan oleh ketidak-kompakkan negara-negara Arab
dalam menghadapi hegemoni Eropa dan Amerika atas mereka. Politik pecah belah
menjadikan mereka sulit menyamakan persepsi sesamanya. Sehingga mereka begitu
mudahnya takluk secara diplomasi dan militer bila berhadapan dengan Israel dan
Amerika. Bukan musuh mereka yang kuat, tetapi mereka (Arab) yang tidak bersatu
untuk membulatkan perjuangan mereka. Bila persatuan yang tidak ada, maka akan
susah untuk mencapai cita-cita. Bangsa Indonesia juga sudah merasakan,
bagaimana persatuan sangat diperlukan merebut keinginan untuk merdeka dari
penindasan asing. Tanpa itu kita tidak pernah merasakan kemerdekaan pada hari
ini.
nah bangsa kita gimana.,??
BalasHapuskan sama aja ama mereka jadi pioner juga,,,
cuma bedanya pemimpin mereka menetang asing.,,..,
sedang kan negara kita pro asing :D