Isu Palestina dan Israel, tak dapat
diingkari, memang pelik dan tak kunjung usai. Tak lain karena isu ini
seringkali menyulut konflik dan kebencian, singkatnya: perang dan pertumpahan
darah, selain juga turut melibatkan tenaga dan pikiran Negara-negara lain di
dunia ini. Juga, haruslah diakui, Negara Israel saat ini adalah buah dari
perjuangan ideologi yang disebut sebagai "Zionisme". Sukses Zionisme
adalah buah persekutuan, lebih tepat disebut sebagai perselingkuhan, antara
kaum Zionisme Yahudi dengan imperialisme Barat. Namun di sini perlu ditekankan
bahwa Zionisme sesungguhnya adalah ideologi sekular, meski seringkali menggunakan
klaim religius, yang secara kebetulan memang sangat dramatis dan sukses
mencapai tujuannya pada abad ke-20.
Teks: Sulaiman Djaya (Penyair
dan Peminat Studi Perbandingan Agama)
Dan, seperti sama-sama kita tahu, ideologi
zionisme ini disusun dengan sasaran jelas, sebagaimana diakui oleh
penggagasnya, Theodore Herzl: “membentuk
sebuah negara Yahudi”. Hasilnya, dalam jarak rentang waktu 50 tahun sejak
Kongres Zionis pertama di Basel, Swiss, tahun 1897, negara Yahudi, yang diberi
nama Israel, itu berdiri pada 14 Mei 1948, dengan restu Ingris dan Abdul Aziz
dari klan Saud Saudi Arabia yang saat ini keturunannya menjadi penguasa Saudi
Arabia. Dalam pandangan kelompok Yahudi (yang sesungguhnya kelompok sekuler itu),
istilah Zionisme dinisbahkan kepada sebuah bukit bernama Zion di Jerusalem. Inilah
klaim religius yang sengaja mereka gunakan demi mendapatkan legitimasi dari
mayoritas penganut Yahudi di dunia, meski seperti yang akan kita lihat, tidak
semua orang Yahudi setuju dengan Zionisme. Istilah zionisme itu sendiri kemudian
identik dengan Jerusalem.
Penggunaan klaim religius tersebut
setidak-tidaknya memang menuai untung dan berguna sebagai retorika politik. Sebab
bagi para penganut dan ras Yahudi,
istilah Zion memang mengandung makna religius, dan memiliki akar sejarah yang
panjang, juga tentu saja memiliki landasan tekstual dalam kitab suci dan dalam
mitos serta catatan-catatan sejarah mereka. Tepat, dalam konteks inilah, seperti
terbukti, telah menginformasikan kepada kita betapa lihainya kaum Zionis yang
sebenarnya sekular tersebut menggunakan istilah "Zionisme" yang
mengandung makna sakral untuk menamai gerakan mereka, sehingga mampu menarik
banyak dukungan orang Yahudi di seluruh dunia, utamanya dari orang-orang Yahudi
di Eropa dan Amerika, lebih khusus lagi yang memiliki pengalaman buruk dengan
dunia modern Eropa di era Perang Dunia Kedua, semisal di Jerman era Hitler.
Akan tetapi, penting untuk diketahui,
bahwa respon keagamaan di kalangan Yahudi sendiri terhadap Zionisme dan negara
Israel memiliki banyak varian:
Pertama, kelompok
penentang keras Zionisme, seperti The Haredim Movement dan Naturei Karta.
Kelompok Haredim ini memandang bahwa tanah Israel memang dijanjikan Tuhan untuk
mereka, di mana tanah tersebut kemudian dicabut oleh Tuhan dari mereka karena
ketidakpercayaan atau pengingkaran orang-orang Yahudi sendiri terhadap
perjanjian dengan Tuhan. Di sini, dikatakan misalnya, jika Yahudi menaati
Taurat, maka Tuhan akan mengembalikan tanah itu kepada Yahudi. Sedangkan orang-orang
Yahudi Naturei Karta memandang bahwa negara Israel adalah produk dari Zionisme
tak bertuhan (Godless Zionism) alias orang-orang ateis yang mengklaim
diri sebagai penganut dan keturunan Yahudi. Orang-orang Yahudi Naturei Karta adalah
kelompok anti-Zionis, orang-orang Yahudi ultra-ortodoks, yang tidak mengakui
negara Israel dan secara konsisten menentang negara Yahudi ini. Kelompok ini
mendukung perjuangan Palestina dan menyerukan internasionalisasi Kota
Jerusalem.
Kedua, kutub dan
kelompok keagamaan Yahudi yang berlawanan dengan kelompok Haredim dan Naturei
Karta, seperti Gush Emunim. Berbeda dengan Naturei Karta dan Haredim, kelompok
ini memberikan biaya kepada para pemukim Yahudi di Tepi Barat, setelah
kemenangan Israel dalam perang tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Arab-Israel
itu. Mereka juga menyatakan bahwa mereka kembali ke area tertentu untuk
mempromosikan kehidupan Yahudi. Nah, menurut mereka, cara ini akan mempercepat
kedatangan Sang Messiah, atau yang dalam bahasa Arab disebut sebagai al Masih.
Dan Ketiga,
adalah orang-orang Yahudi yang dapat dikatakan sebagai kelompok di antara kedua
kutub tersebut, yaitu kelompok-kelompok Yahudi yang memberikan dukungan kepada
negara Israel, tetapi tidak melihatnya dari sudut keagamaan. Pendirian negara
Israel, menurut mereka, bukanlah tanda-tanda akan datangnya Sang Messiah.
Namun, mereka mendukung pemukiman Yahudi dan menentang pengembalian wilayah itu
kepada Palestina.
Selanjutnya, di antara orang-orang
Yahudi kelompok tengah ini adalah orang-orang Yahudi yang disebut sebagai "Mainstream Religious Zionists",
yang salah satu tokohnya adalah Rabbi Meimon (1875-1962) yang pernah menyatakan
bahwa "Negara Ibrani harus didirikan
dan dijalankan sesuai prinsip agama Ibrani, yakni Torah Israel. Keyakinan kita
sudah jelas: sejauh yang kita, para penduduk, memahaminya, agama dan negara
saling membutuhkan satu sama lain" (Lihat Pilkington, Judaism,
halaman 249-250).
Kutub kelompok Yahudi lain yang
terbilang sangat keras dalam klaim keagamaan, misalnya, diwakili oleh kelompok
Kach, bentukan Rabbi Meir Kahane. Inilah kelompok Yahudi garis keras yang sangat
terkenal ketika salah seorang aktivisnya, Yigal Amir, membunuh Yitzak Rabin,
pada 4 November 1995. Yigal Amir sendiri adalah mahasiswa Universitas Bar Ilan
dan aktivis kelompok sayap kanan Eyal, sebuah kelompok garis keras yang
mengikuti ajaran Meir Kahane. "Saya
bertindak sendiri atas perintah Tuhan, dan saya tidak menyesal,"
tandas Yigal Amir, setelah menembak Yitzhak Rabin kala itu. Amir mewakili
ekstremis Yahudi, yang menentang penyerahan wilayah Tepi Barat ke Palestina. Sebab,
sesuai ajaran Rabbi Meir Kahane, Tepi Barat merupakan inti dari Eretz Israel
yang sudah dijanjikan oleh Tuhan dan khusus diperuntukkan bagi bangsa Yahudi. Benarkah
demikian? Ternyata tidak semua orang Yahudi sepakat dengan klaim Rabbi Meir
Kahane itu.
Kita juga tidak buta ketika pada kenyataannya
istilah "Jewish State"
memang menunjukkan negara Israel merupakan negara yang rasialis. Karena itulah,
di antara cendekiawan Yahudi kemudian banyak yang menentang negara Israel, misalnya
saja Dr. Israel Shahak, tak lain karena sifat-sifat agressif dan
diskriminatifnya Negara Israel. Dr. Israel Shahak mencatat: "Dalam pandangan saya, Israel sebagai
negara Yahudi membawa bahaya tidak saja bagi dirinya sendiri dan bagi warganya,
tetapi juga bagi semua bangsa dan negara lain, baik di Timur Tengah maupun di
luarnya."
Dr. Israel Shahak menyebut contoh,
bagaimana sampai tahun 1993 Partai Likud menyetujui usul Ariel Sharon agar
Israel menentukan perbatasannya berdasarkan Bible. Padahal, bagi Zionis
maksimalis, wilayah Israel Raya (Eretz Yizrael) itu meliputi: Palestina, Sinai,
Jordan, Syria, Lebanon, dan sebagian Turki. Shahak juga menguraikan berbagai
sikap diskriminatif Israel terhadap warga non-Yahudi (Lihat Israel Shahak, Jewish
History, Jewish Religion 1999:2, London, Pluto Press, 1994, halaman. 2,
10).
Tak hanya Dr. Israel Shahak, Roger
Friedland dan Richard Hect, dalam bukunya, To Rule Jerusalem,
menyebutkan bahwa sejak awalnya Yahudi memang tidak pernah sepakat terhadap
Zionisme. Para penentang Zionisme ini beralasan bahwa Judaisme adalah agama,
dan bukan satu bangsa. Sebagian besar Yahudi religius yang mengunjungi
Jerusalem sebelum para Zionis juga memandang bahwa suatu negara sekular dan
demokratis bagi Yahudi adalah satu 'anathema' atau barang haram. Dengan demikian,
motif dan ideologi zionisme memang murni sekular, dengan membajak klaim religius
demi mendapatkan legitimasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar