Senin, 20 Oktober 2014
Sabtu, 18 Oktober 2014
ZPE (Zero Point Energy) –Energi Tanpa Polusi?
Beberapa dekade terakhir
ini para ilmuwan memimpikan sumber energi baru yang murah, aman, bebas polusi
dan melimpah. Mungkinkah energi ini dapat terwujud justru dari ruang hampa?
Pada sekitar abad ke-17 orang berpendapat untuk membuat sebuah ruang hampa adalah
cukup dengan menghisap keluar semua materi yang mengisi ruang tersebut yang
dalam hal ini adalah molekul-molekul udara. Kemudian pada abad ke-19 orang
menyadari dalam ruang hampa yang dibuat dengan cara demikian, akan masih
tersisa radiasi thermal, yaitu radiasi disebabkan oleh perbedaan temperatur. Untuk menghilangkan radiasi thermal, cukup dengan mendinginkan
ruang tersebut pada temperatur nol absolut. Secara teori, pada temperatur ini
tidak ada radiasi thermal dan semua partikel akan diam serta ruangan pun akan
kosong dari partikel yang berseliweran.
Namun hasil penelitian mutakhir menunjukkan hal yang baru. Pada kondisi hampa seperti di atas masih terdapat radiasi yang tetap ada walau temperatur telah diturunkan hingga nol absolut. Radiasi ini disebut dengan "zero point radiation", dinamakan demikian karena sesuai dengan sifatnya yang tetap muncul pada temperatur nol absolut, dan energi pembangkitnya disebut dengan "zero point energy" (ZPE).
Namun hasil penelitian mutakhir menunjukkan hal yang baru. Pada kondisi hampa seperti di atas masih terdapat radiasi yang tetap ada walau temperatur telah diturunkan hingga nol absolut. Radiasi ini disebut dengan "zero point radiation", dinamakan demikian karena sesuai dengan sifatnya yang tetap muncul pada temperatur nol absolut, dan energi pembangkitnya disebut dengan "zero point energy" (ZPE).
Keberadaan ZPE sesungguhnya
telah diperkirakan secara teoritis dalam teori mekanika Quantum. Paul Dirac,
salah seorang pentolan pendiri teori mekanika quantum, pernah mengemukakan
bahwa sebuah ruang hampa sesungguhnya di dalamnya berisi partikel berenergi
negatif. Hal ini menumbuhkan konsep baru bahwa "hampa secara fisik"
tidaklah sama sekali hampa.
Mekanika quantum
meramalkan bahwa partikel-partikel tak terlihat ini bisa berubah wujud menjadi
materi nyata dalam waktu yang singkat dan menghasilkan gaya yang dapat terukur.
Pernyataan Dirac di atas adalah salah satu implikasi dari prinsip ketidak
pastian yang dinyatakan oleh seorang ilmuwan dari Jerman bernama Werner
Heisenberg pada tahun 1927. Prinsip ini pada intinya mengatakan bahwa mustahil
kita mengetahui secara eksak semua properti yang dimiliki oleh suatu partikel
secara sekaligus melainkan akan selalu terdapat ketidak-pastian pada kuantitas
tertentu. Misalnya, kita tidak dapat mengetahui kedudukan dan kecepatan
partikel kedua-duanya secara eksak. Semakin teliti kita mengukur kecepatan
sebuah partikel, kedudukannya makin tidak teliti, dan begitu juga sebaliknya.
Ketidak pastian ini berlaku secara umum, tidak bergantung dari metode dan
instrument yang digunakan, dan tidak dapat dihindari.
Dasar dari prinsip ketidak pastian dan mekanika quantum adalah bahwa terdapat fenomena fundamental yang tidak dapat diprediksikan oleh hukum-hukum fisika klasik. Sebagai contoh: menurut hukum fisika klasik, sebuah bandul yang berayun perlahan-lahan akan melambat berayun karena gaya gesek dan akhirnya diam di titik kesetimbangan. Dalam teori mekanika kuantum, bandul tersebut tidak akan pernah benar-benar diam di titik kesetimbangan. Bandul tersebut akan selalu berayun secara acak di sekitar titik kesetimbangannya. Gerakan acak ini disebabkan oleh suatu fenomena yang dikenal dengan fluktuasi quantum. Namun secara praktis sangat sulit mengamati fluktuasi quantum pada benda relatif besar semisal sebuah bandul jam. Fluktuasi quantum lebih teramati pada materi sebesar atom atau elektron.
ZPE adalah hasil dari fluktuasi quantum yang timbul secara acak dari energi ruang hampa sebagaimana diramalkan oleh prinsip ketidak pastian Heisenberg. Pada kasus bandul di atas, energi yang menyebabkan bandul terus bergerak di sekitar titik diamnya adalah ZPE. Walaupun ZPE dalam kasus di atas sangat kecil. Namun terdapat sangat banyak kemungkinan modus propagasi yang penjumlahannya akan menghasilkan ZPE yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, fluktuasi yang terjadi harus cukup besar untuk menciptakan partikel secara spontan dari kehampaan, walau akhirnya akan lenyap kembali sebelum melanggar prinsip ketidak-pastian.
Dari semua fenomena fluktuasi zero point, fluktuasi dari energi elektoromagnetik yang paling mudah dideteksi dan diukur. Salah satu eksperimen yang pernah dilakukan adalah dikenal dengan efek Casimir (di ambil dari nama ilmuwan yang pertama kali menemukannya, Hendrik B.G Casimir), di mana efek ini menunjukkan jika terdapat dua plat metal saling didekatkan dalam jarak yang sangat-sangat dekat (pada kisaran sekitar satu per sejuta meter) akan timbul gaya saling tarik menarik antara kedua plat tersebut. Gaya ini tetap muncul walaupun dalam kondisi hampa udara dan pada suhu nol absolut, yang menjadi bukti adanya ZPE.
ZPE di duga berperan penting dalam berbagai fenomena lain. Mengapa gas helium tidak dapat dibekukan (helium adalah satu-satunya unsur yang tidak dapat mencapai fase zat padat walau temperaturnya dibuat nol absolut) –diduga ZPE-lah penyebabnya. Beberapa penelitian lain menemukan anomali fisika yang diduga akibat dari konversi energi dari ZPE. Akhir-akhir ini fisikawan juga mencoba menghubungkan gaya gravitasi dan elektromagnetik sebagai implikasi dari ZPE.
Lalu pertanyaannya adalah: Seberapa besar potensi ZPE? Dua orang ilmuwan, Richard Feynman dan John Wheeler, menghitung bahwa energi dari ruang vakum seukuran bola lampu biasa, dapat memiliki kandungan energi yang lebih dari cukup untuk menguapkan semua air di lautan! Sungguh merupakan potensi yang sangat besar. Yang menantang adalah bagaimana menyadap energi sebesar itu untuk dimanfaatkan. Bila manusia mampu menciptakan teknologi ZPE, masalah krisis energi akan terpecahkan dan perusakan lingkungan akibat polusi dari penggunaan bakar minyak atau limbah nuklir dapat dihilangkan. Bahkan bukan tidak mungkin bagi manusia dapat pergi menjelajah ruang angkasa dengan mesin ZPE.
Dasar dari prinsip ketidak pastian dan mekanika quantum adalah bahwa terdapat fenomena fundamental yang tidak dapat diprediksikan oleh hukum-hukum fisika klasik. Sebagai contoh: menurut hukum fisika klasik, sebuah bandul yang berayun perlahan-lahan akan melambat berayun karena gaya gesek dan akhirnya diam di titik kesetimbangan. Dalam teori mekanika kuantum, bandul tersebut tidak akan pernah benar-benar diam di titik kesetimbangan. Bandul tersebut akan selalu berayun secara acak di sekitar titik kesetimbangannya. Gerakan acak ini disebabkan oleh suatu fenomena yang dikenal dengan fluktuasi quantum. Namun secara praktis sangat sulit mengamati fluktuasi quantum pada benda relatif besar semisal sebuah bandul jam. Fluktuasi quantum lebih teramati pada materi sebesar atom atau elektron.
ZPE adalah hasil dari fluktuasi quantum yang timbul secara acak dari energi ruang hampa sebagaimana diramalkan oleh prinsip ketidak pastian Heisenberg. Pada kasus bandul di atas, energi yang menyebabkan bandul terus bergerak di sekitar titik diamnya adalah ZPE. Walaupun ZPE dalam kasus di atas sangat kecil. Namun terdapat sangat banyak kemungkinan modus propagasi yang penjumlahannya akan menghasilkan ZPE yang sangat besar. Dalam beberapa kasus, fluktuasi yang terjadi harus cukup besar untuk menciptakan partikel secara spontan dari kehampaan, walau akhirnya akan lenyap kembali sebelum melanggar prinsip ketidak-pastian.
Dari semua fenomena fluktuasi zero point, fluktuasi dari energi elektoromagnetik yang paling mudah dideteksi dan diukur. Salah satu eksperimen yang pernah dilakukan adalah dikenal dengan efek Casimir (di ambil dari nama ilmuwan yang pertama kali menemukannya, Hendrik B.G Casimir), di mana efek ini menunjukkan jika terdapat dua plat metal saling didekatkan dalam jarak yang sangat-sangat dekat (pada kisaran sekitar satu per sejuta meter) akan timbul gaya saling tarik menarik antara kedua plat tersebut. Gaya ini tetap muncul walaupun dalam kondisi hampa udara dan pada suhu nol absolut, yang menjadi bukti adanya ZPE.
ZPE di duga berperan penting dalam berbagai fenomena lain. Mengapa gas helium tidak dapat dibekukan (helium adalah satu-satunya unsur yang tidak dapat mencapai fase zat padat walau temperaturnya dibuat nol absolut) –diduga ZPE-lah penyebabnya. Beberapa penelitian lain menemukan anomali fisika yang diduga akibat dari konversi energi dari ZPE. Akhir-akhir ini fisikawan juga mencoba menghubungkan gaya gravitasi dan elektromagnetik sebagai implikasi dari ZPE.
Lalu pertanyaannya adalah: Seberapa besar potensi ZPE? Dua orang ilmuwan, Richard Feynman dan John Wheeler, menghitung bahwa energi dari ruang vakum seukuran bola lampu biasa, dapat memiliki kandungan energi yang lebih dari cukup untuk menguapkan semua air di lautan! Sungguh merupakan potensi yang sangat besar. Yang menantang adalah bagaimana menyadap energi sebesar itu untuk dimanfaatkan. Bila manusia mampu menciptakan teknologi ZPE, masalah krisis energi akan terpecahkan dan perusakan lingkungan akibat polusi dari penggunaan bakar minyak atau limbah nuklir dapat dihilangkan. Bahkan bukan tidak mungkin bagi manusia dapat pergi menjelajah ruang angkasa dengan mesin ZPE.
Sumber: Astronomi.us - Blog Astronomi Indonesia
Jumat, 17 Oktober 2014
Mengenali Azerbaijan
AZERBAIJAN KUNA
Para ilmuan mendefinisikan
Azerbaijan sebagai suatu wilayah yang kini dihuni oleh bangsa Azerbaijan-Turk;
yaitu orang-orang yang mendiami sebuah kawasan yang membentang dari lereng
bagian Utara pegunungan Kaukasus di sepanjang Laut Kaspia hingga dataran tinggi
Iran. Pada penghujung millennium ke-4 SM dan awal millennium ke-3 SM mulai
tampak adanya pertumbuhan lapisan atas dalam kelas-kelas sosial yang mempunyai
ciri keunggulan peradaban proto-urban dan telah memiliki embrio struktur
kenegaraan. Pada masa ini aliansi suku-suku bangsa telah membentuk sebuah
Negara Aratta, Negara Lullubum (sejak 2300 SM) dan Negara Gutian (setelah paruh
kedua 3000 SM). Pada tahun 2175 SM rakyat Gutian berhasil menundukkan Sumer dan
Akkad serta menguasainya hingga satu abad lamanya.
Antara abad 9 hingga 7 SM,
kerajaan Mannaean mengguncang daerah sekitar Danau Urmia. Kerajaan
Simmeria-Scythia-Saka tumbuh pesat pada abad ke-7 dan 6 SM di bagian
Selatan–Barat Daya Azerbaijan. Pada pertengahan abad 6 SM kerajaan Mannaean
runtuh. Peran penting dalam sejarah Azerbaijan dimainkan kerajaan Atropaten
yang muncul di bagian Selatan pada thun 520an SM. Kerajaan ini sangat kental
dipengaruhi tradisi Hellenisme. Negara Albania di Kaukasus berdiri di sebelah
Utara Azerbaijan pada penghujung millennium ke-4 dan awal millennium ke-3 SM
dengan sungai Araz sebagai garis perbatasan di sebelah Selatan. Negara ini
berhasil mempertahankan wilayahnya dari serangan-serangan musuhnya hingga pada
akhirnya ditaklukkan Romawi pada tahun 66 SM. Bangsa Albania terdiri dari
berbagai kebangsaan yang pada umumnya berbicara dalam bahasa Turki.
AZERBAIJAN PADA ABAD PERTENGAHAN
Seiring dengan invasi
bangsa Arab, maka sejak awal abad ke-8 M Islam menjadi agama dominan di
Azerbaijan. Beberapa Negara baru didirikan di wilayah Azerbaijan pada abad 9 M.
Negara Shirwan dengan ibukotanya Shemakha, merupakan Negara adikuasa yang
diperintah dinasti Mezyedi. Dinasti inilah yang terutama sekali banyak
memainkan peran penting dalam sejarah Azerbaijan hingga abad 16 M. Disamping
itu beberapa Negara merdeka seperti Sajid, Salarid, Rvvadid (masing-masing
berpusat diibukota Maragha, Ardabil dan Tabriz) serta Shaddadids (dengan
ibukota Ganja) tumbuh di wilayah Azerbaijan pada abad 9 hingga abad 11 M. Azerbaijan
pernah pula dikuasai dinasti Seljuk sejak akhir abad 11 M. Setelah berkuasa
dari tahun 1136-1225, pemerintahan Atabek Eldegiz di Azerbaijan runtuh.
Keragaman populasi yang
terdiri dari penduduk asli yang berbahasa Turki dan keturunan bangsa Turki
serta kesamaan keyakinan yang dianut (Islam) telah memungkinkan berlangsungnya
proses konsolidasi bangsa Azerbaijan yang mencapai puncaknya pada abad 11 dan
12 M. Pada periode ini pula tampak perkembangan budaya Azerbaijan yang
mengagumkan yang telah menjadi warisan dunia berupa para filosof terkemuka,
arsitek, puisikus dan ilmuan-ilmuan terkenal. Kejayaan pemikiran social dan
budaya Azerbaijan pada era ini dapat dilihat dalam bentuk karya Nizami Ganjavi
(1141-1209), puisikus sekaligus filosof yang hingga kini dipandang sebagai
salah satu permata warisan khazanah peradaban dunia.
Sejak pertengahan abad 13
M, Negara-negara di Azerbaijan jatuh dalam kekuasaan dinasti Mongol, Khulagu
(1258-1356). Pada pertengahan abad 14 M, seiring dengan bangkintya kesadaran
para penduduk pribumi untuk mengusir para penjajah, tokoh feudal setempat yang
bernama Jalairid memimpin pergerakan perjuangan dan mengambil alih kekuasaan di
Azerbaijan. Dengan dukungan para bangsawan Azerbaijan lainnya, ia berhasil
membentuk Negara Jalairid (1359-1410). Sejak akhir abad 14 M, Azerbaijan
kembali diduduki Tamerlan dan menjadi panggung teater dalam epoh peperangannya
melawan Horde Emas.
Dinasti-dinastiAzerbaijan
“Qara-Qoyunlu” dan “Aq-Qoyunlu” memerintah Azerbaijan pada tahun 1410-1468 dan
1468-1501. Di bawah pemerintahan kedua dinasti tersebut kekuatan Azerbaijan
telah tumbuh secara signifikan. Pada tahun 1501 negara Safawid didirikan di
Azerbaijan, yang kemudian disebut pula dengan dinasti Azerbaijan yang
beribukota di Tabriz. Di bawah dinasti ini, seluruh wilayah Azerbaijan berhasil
dipersatukan untuk pertama kalinya dalam sejarah yakni menjadi satu Negara
Azerbaijan. Wilayah dinasti Safawid membentang dari Sungai Amu Darya hingga
sungai Euphratdan dari Derben hingga pesisir pantai Teluk Persia. Entitas
politik ini terbentuk dan terus berkembang menjadi Negara Azerbaijan secara
essensial di mana seluruh kekuatan politik berada dalam kendali kaum bangsawan
Azerbaijan. Pegawai-pegawai senior di pengadilan, para jenderal militer dan
para gubernur diangkat dari kalangan bangsawan Azerbaijan. Tentara juga
dibentuk dari kelompok milisi yang berasal dari suku terkuat dan berkuasa di
Azerbaijan. Bahasa Azerbaijan dijadikan bahasa resmi Negara Safawid. Pada akhir
abad 16 M, ibukota negara Safawid dipindahkan dari Isfahan dan shah mendapatkan
dukungan penuh dari kalangan bangsawan Persia. Di bawah pemerintahan dinasti
Azerbaijan, negara ini berkembang dengan corak ke-Persia-an.
KEMERDEKAAN NEGARA-NEGARA KHANAT
AZERBAIJAN.
AZERBAIJANTERBAGI ANTARA
RUSIA DAN IRAN
Pada pertengahan abad 18
M, seiring dengan melemahnya kekuatan Shah Persia atas wilayah Azerbaijan,
negara mengalami perpecahan hingga menjadi duapuluh khanat yaitu: Ardabil,
Ganja, Derbent, Erivan, Javad, Karabakh, Karadakh, Khoi, Maku, Maragin,
Nakhchivan, Quba, Baku, Sarab, Shirvan, Sheki, Tabriz, Talysh dan Urumi. Selain
itu negara juga terpecah belah ke dalam beberapa kesultanan yaitu
Kazah-Samshadil, Ilisu, Arash, Gutgashen dan Nagorno-Karabakh, yang banyak
dihuni oleh umat Islam Azerbaijan dan sebagian umat Kristen Albania, membentuk
suatu bagian integral dalam khanat Karabakh yang meliputi wilayah yang
membentang antara sungai Kura dan Araxes. Bangsawan lokal (atau “melikdoms”)
dari Dizak, Varanda, Kachen dan Gulistan, yang seluruhnya terletak di antara
wilayah pegunungan Karabakh, juga merupakan bagian dari khanat tersebut, dimana
penduduknya bersumpah setia kepadanya sebagai daerah bawahan.
Pada penghujung abad 18
dan pada sepertiga awal abad 19 Azerbaijan menjadi kawasan yang diperebutkan
Persia, Rusia dan Turki Usmani. Masing-masing kekuatan berupaya menancapkan
hegemoninya di Negara yang memiliki situasi dan letak strategis serta
menentukan secara geopolitik. Terjadi penambahan jumlah persenjataan khanat
guna mempertahankan kedaulatannya. Sementara itu kelompok yang lainpun
dipersenjatai sebagai upaya mempertahankan berbagai kepentingannya
masing-masing, dan atau untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memposisikan
lawan menjadi berstatus taklukan. Karenanya pada tanggal 14 Mei 1805 sebuah
piagam kesepakatan ditandatangani di tepian sungai Kura antara Khan Ibrahim
Khalil dari Azerbaijan yang menyatakan bahwa kemerdekaan khanat Karabakh di
Azerbaijan tunduk kepada pemerintahan Rusia. Piagam ini seringkali diangkat ke
permukaan akhir-akhir ini untuk membuktikan bahwa secara historis Karabakh
merupakan bagian dari Azerbaijan.
Perang pertama
Rusia-Persia pada tahun 1804-1813 pecah untuk memperebutkan dominasi atas khanat
Azerbaijan dan berakhir dengan pembagian wilayah Azerbaijan bagi Rusia dan
Persia. Piagam perdamaian Gulistan yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober
1813 oleh Rusia dan Persia telah memberikan legalitas yang mengakui aneksasi
yang dilakukan Rusia terhadap beberapa khanat di bagian Utara Azerbaijan dengan
pengecualian daerah Nakhchivan dan Erivan. Perang kedua Rusia-Persia pecah pada
tahun 1826-1828 diakhiri dengan penandatanganan piagam perdamaian Turkmanchai
pada tanggal 10 Pebruari 1828 yang memuat pernyataan resmi klaim Persia atas
wilayah Utara Azerbaijan serta pengakuan terhadap aneksasi yang dilakukan Rusia
terhadap Nakhchivan dan Erivan.
Penting pula dicatat bahwa
sejumlah khanat di atas, tak terkecuali Karabakh yang dianeksasi Rusia, adalah
sejatinya milik Azerbaijan. Kesemuanya adalah bangsa Azerbaijan yang
sesungguhnya, wilayah yang dikuasai oleh rakyat Azerbaijan, serta komposisi
etnis kelompok elite-feodal yang dominan (baik meliputi para khan itu sendiri,
maupun para pemilik tanah serta para pemuka agama dan lainnya). Berdasarkan
maklumat Tsar Rusia, Nicholas I, pada tanggal 21 Maret 1828 Khan Nakhchivan dan
Erivan dibubarkan serta dialihkan pemerintahannya menjadi sebuah administrasi
baru yang disebut “Armenian Oblast” dibawah kendali Rusia. Pada tahun 1849
“Armenian Oblast” berganti nama menjadi provinsi Erivan.
Antara tahun 1828-1920,
dalam rangka mengikuti kebijakan yang bertujuan merubah keseluruhan demografi
Azerbaijan, bangsa Armenia bermaksud mengusir sejumlah besar penduduk
Azerbaijan. Lebih dari dua juta jiwa penduduk Azerbaijan terusir dari kampung
halamannya dan sejumlah lainnya tewas terbunuh. Dalam dua peristiwa pada tahun
1828 dan 1854, Rusia menduduki bagian Timur Anatolia dan dalam kesempatan ini
pula mereka telah membawa serta seratus ribu orang Armenia pindah ke Kaukasus
untuk merebut posisi orang-orang Turki (dan juga Azerbaijan) yang terpaksa
beremigrasi atau meninggal dunia.
Pada perang 1877-1878,
Rusia merampas wilayah Kars-Ardahan dengan mengusir populasi muslim dan
menempatkan tujuh puluh ribu orang Armenia sebagai gantinya. Sekitar enam puluh
ribu orang Armenia kembali ditempatkan oleh Rusia di Kaukasus dalam perang
1895-1896. Akhirnya migrasi pada perang dunia I terjadi secara besar-besaran dimana
sekitar empat ratus ribu orang Armenia dari Timur Anatolia dipindahkan untuk
ditukar dengan empat ratus ribu orang muslim Kaukasus. Menurut informasi
McCarthy, antara tahun 1828-1920 sekitar lima ratus enam puluh ribu orang
Armenia kembali ditempatkan di Azerbaijan. Dengan kata lain, bahwa secara
aktual pasca pendudukan wilayah Selatan Kaukasus oleh Rusia jumlah orang
Armenia di bumi Azerbaijan, khususnya di bagian Utara sungai Araxes, telah
bertambah secara dramatis.
Ketika kita menengok ke
Karabakh, segera kita jumpai catatan-catatan resmi bertahun 1810 (sebelum
aneksasi Rusia) bahwa khanat Karabakh memiliki dua belas ribu rumah tangga yang
dihuni oleh sembilan ribu lima ratus jiwa orang Azerbaijan dan hanya kurang
dari dua ribu lima ratus jiwa orang Armenia. Menurut data tahun 1823, terdapat
sebuah kota di wilayah khanat Karabakh yaitu kota Susha dan enam ratus desa
yang empat ratus lima puluh diantaranya dihuni oleh orang Azerbaijan dan hanya
sekitar seratus lima puluh orang Armenia, dengan total populasi sembilan puluh
ribu jiwa. Angka-angka relative tentang rumahtangga Azerbaijan dan Armenia
di kota Susha mencatat seribu empat puluh delapan dan empat ratus tujuh puluh
empat, dan diperkirakan di daerah perkotaan lain dua belas ribu sembilan ratus
dua dan empat ribu tiga ratus tiga puluh satu.
Sejak pertengahan abad 19
M, industri minyak tumbuh pesat di bagian Utara Azerbaijan. Untuk pertama
kalinya industri minyak berhasil diperoleh pada tahun 1848. Pada akhir abad 19
M dan awal abad 20 M, daerah ini menyuplai 95% produksi minyak Rusia dan
sekitar 50% minyak dunia. Penghargaan-penghargaan dan Rathschilds banyak diraih karena daya tarik minyak
tersebut dan telah menjelma menjadi pendapatan yang sangat diperhitungkan.
Begitu banyak keuntungan yang diraup berkat hasil industri minyak Azerbaijan.
REPUBLIK PERTAMA: REPUBLIK AZERBAIJAN
(1918-1920)
Setelah revolusi 1917 di
Rusia, proses keruntuhan dan disintegrasi Imperium tersebut menjadi semakin
nyata. Situasi dan kondisi ini banyak dimanfaatkan berbagai etnis di
daerah-daerah bekas imperium Rusia untuk membentuk Negara-negara yang merdeka.
Maka pada tanggal 28 Mei 1918 Republik Demokrasi Azerbaijan diproklamasikan di
daerah bagian Timur kawasan Selatan Kaukasus. Inilah demokrasi parlementer yang
pertama di dunia Timur; suatu demokrasi yang memainkan peran historis dalam
arus kebangkitan kembali dan pembentukan kesadaran identitas etnik maupun
identitas kenegaraan bangsa Azerbaijan. Pada saat itu, pemimpin Azerbaijan
adalah Muhammad Amin Rasulzade.
Perkembangan Republik
Demokrasi Azerbaijan baik sebagai bangsa dan Negara didasarkan atas idea
“Azerbaijanisme” yang memadukan prinsip-prinsip modernisme, Islamisme dan
Turkisme, sekaligus menyimbolkan aspirasi rakyat Azerbaijan untuk maju berdasarkan
kesadaran dan keyakinan bersama terhadap peradaban Islam dan identitas
ke-Turki-an.
Selama tak lebih dari dua
tahun eksistensi gemilang parlemen Azerbaijan yang multi-partai dan koalisi
pemerintahan memimpin negeri untuk mengambil langkah-langkah penting dalam
proses pembentukan bangsa dan pembangunan negara yang meliputi bidang
pendidikan, pembentukan angkatan bersenjata, kemandirian secara finansial dan
sistem ekonomi, serta menjaga citra baik dan pengakuan dunia internasional
terhadap Republik muda ini sebagai anggota penuh dalam konteks percaturan antar
bangsa. Pada tanggal 11 Januari 1920 diadakan Konferensi Damai Paris yang
menghasilkan Piagam Versailles yang mengabadikan pengakuan secara de fakto
kemerdekaan Republik Azerbaijan.
Di penghujung tahun 1919
dan awal tahun 1920, situasi politik di Republik Demokrasi Azerbaijan baik
domestic maupun luar negeri mulai memburuk. Azerbaijan terjebak dalam
peperangan antara Entente, Rusia dan Persia, di mana masing-masing pihak
mencoba menanamkan tujuan politiknya terhadap kawasan penting dan strategis
serta kaya minyak ini.
REPUBLIK KEDUA: REPUBLIK SOSIALIS
SOVIET-AZERBAIJAN (1920-1991).
Keputusan politik yang
diambil pemerintah Bolsheviks di Republik Sosialis Federasi Rusia untuk tidak
mengakui Republik Demokrasi Azerbaijan dengan mengirim “tentara merah ke-11” ke
Azerbaijan pada musim semi 1920, agresi yang dilancarkan rezim Dashnak Armenia
ke Azerbaijan di Karabakh dan Zangezur, kelompok-kelompok teroris Armenia dan
Bolshevik menggerogoti kedamaian penduduk Azerbaijan di Azerbaijan dan krisis
social serta ekonomi yang melanda negeri, adalah beberapa factor yang telah
menyebabkan melemahnya Republik Demokrasi Azerbaijan yang berakhir dengan
okupasi “tentara merah ke-11” pada tanggal 27-25 April 1920. Seperti dimuat
dalam telegram dari Staff Umum Front Kaukasus kepada komandan “tentara merah
ke-11” bertanggal 1 Mei 1920, menyebutkan: bahwa tentara Rusia telah
diinstruksikan untuk mengambil alih seluruh wilayah Azerbaijan yang terdapat
dalam wilayah Imperium Rusia, tanpa melanggar perbatasan dengan Persia.
Selama tujuh puluh tahun
berikutnya, sebagai bagian dari Republik Sosialis Uni-Soviet, dapat dianggap
sebagai sebuah tahapan baru dan penting dalam perkembangan Negara Azerbaijan
karena selama itu pula Republik Sosialis Soviet-Azerbaijan telah mengalami
pertumbuhan dan perkembangan secara sosial, ekonomi dan budaya.
Selama era Soviet daerah
bagian Nakhchivan dan wilayah-wilayah lainnya telah dianeksasi teroris
Zangezur, Goycha, dan digabungkan dengan tetangganya, Armenia. Sebagai
akibatnya, wilayah territorial Negara yang pada masa Republik Demokrasi
Azerbaijan seluas 114.000 km2 telah berkurang pada tahun 1920-1921 menjadi
hanya 86.600 km2. Terlebih lagi pada tanggal 7 Juli 1923, atas inisiatif para
pemimpin Moskow-Bolshevik, daerah otonom Nagorno-Karabakh yang secara dominan
telah dihuni populasi Armenia, secara artificial dicerabut dari cakupan wilayah
territorial sejarah Karabakh, yang dulunya dihuni mayoritas orang-orang Azerbaijan.
Kebijakan tersebut merupakan langkah awal kampanye politik untuk menganeksasi
Nagorno-Karabakh dari bekas wilayah Azerbaijan.
REPUBLIK KETIGA: REPUBLIK AZERBAIJAN.
Pada tahun 1988-1990,
gerakan nasional-demokratik di Azerbaijan mengkampanyekan pentingnya melakukan
restorasi kemerdekaan Negara. Pada tanggal 23 September 1989, Azerbaijan
merupakan salah satu Negara pertama yang memutuskan untuk segera mengakhiri
kekuasaan Republik Soviet. Dalam rangka menekan gerakan ini pada tanggal 20
Januari 1990 dengan restu para pemimpin Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail
Gorbachev, beberapa unit tentara Soviet dikirim ke Baku. Tindakan represif
pasukan ini cenderung sangat brutal sehingga mengakibatkan ratusan jiwa rakyat
Azerbaijan yang tak berdosa jatuh menjadi korban. Situasi gawat darurat segera
diumumkan dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1991. Perjuangan yang
tak mengenal lelah terus dilakukan para pejuang patriotik Azerbaijan hingga
akhirnya berbuahkan Deklarasi Dewan Tertinggi Republik Azerbaijan tanggal 31
Agustus 1991 tentang restorasi kemerdekaan Republik Azerbaijan.
Deklarasi tersebut
mengukuhkan kemerdekaan Negara Republik Azerbaijan dan menyempurnakan
perjalanan panjangnya pada tanggal 18 Oktober 1991 dengan tersusunnya fondasi
kenegaraan Azerbaijan yang merdeka, serta terumuskannya prinsip-prinsip politik
dan struktur perekonomian. Dengan deklarasi tersebut Republik Azerbaijan sekali
lagi, setelah tujuh puluh satu tahun lamanya, menjadi negara yang merdeka. Pada
tahun 1991 Azerbaijan menjadi negara anggota OKI, PBB, UNESCO dan pada tahun
1992 menjadi anggota Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (CSCE), yang
kini dikenal dengan Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE). Pada tahun
1996 masuk keanggotaan Dewan Eropa, dan pada tahun 1997 menjadi anggota GUAM
serta lainnya. Dewasa ini Azerbaijan telah menjadi anggota penuh pada sebagian
besar organisasi-organisasi regional maupun internasional.
Kamis, 16 Oktober 2014
Peningkatan Hilangnya Keanekaragaman Hayati Mengancam Kesejahteraan Manusia
Dua puluh tahun setelah
KTT Bumi di Rio de Janeiro, 17 ahli ekologi terkemuka menyerukan upaya
internasional untuk menekan hilangnya keanekaragaman hayati, yang mengorbankan
kemampuan alam untuk menyediakan barang dan jasa yang penting bagi
kesejahteraan manusia. Selama dua dekade terakhir, bukti ilmiah yang kuat telah
menunjukkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati di dunia mengurangi
produktivitas dan keberlanjutan ekosistem alam serta mengurangi kemampuannya
dalam menyediakan barang dan jasa seperti makanan, kayu, pakan ternak, tanah
subur, serta perlindungan dari hama dan penyakit, demikian menurut tim
internasional yang dipimpin ahli ekologi Bradley Cardinale
dari University Michigan.
Tindakan-tindakan manusia
telah memporak-porandakan ekosistem alam di bumi, mengakibatkan kepunahan
spesies dalam tingkat beberapa kali lipat lebih cepat dari yang pernah teramati
dalam catatan fosil. Meskipun demikian, masih ada waktu – jika negara-negara di
dunia membuat prioritas internasional pelestarian keanekaragaman hayati –
untuk menyelamatkan berbagai spesies yang masih hidup dan untuk mengembalikan
sebagian dari apa yang telah hilang, demikian menurut Cardinale dan
rekan-rekannya. Para peneliti mempresentasikan temuan mereka pada jurnal Nature edisi 7 Juni, dalam sebuah
artikel berjudul “Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Dampaknya terhadap
Kemanusiaan.” Makalah ini merupakan pernyataan konsensus ilmiah yang merangkum
bukti-bukti dari 1.000 lebih studi ekologi selama dua dekade terakhir.
“Seperti
halnya pernyataan konsensus dari para dokter dengan peringatan
publiknya tentang bahaya penggunaan tembakau bagi kesehatan, ini adalah
pernyataan konsensus dari para ahli yang sepakat bahwa punahnya spesies
liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa membahayakan
masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi kesehatan
dan kesejahteraan manusia,” kata Cardinale, seorang profesor di Sekolah
Sumber Daya Alam dan Lingkungan serta di Departemen Ekologi dan Biologi
Evolusioner UM. “Kita harus menanggapi hilangnya keanekaragaman hayati
dengan jauh lebih serius – dari individu-individu hingga badan-badan
internasional – dan mengambil tindakan yang lebih besar untuk mencegah
kepunahan spesies lebih lanjut,” kata Cardinale, penulis pertama dalam makalah Nature.
Diperkirakan ada sekitar 9
juta spesies tumbuhan, hewan, protista
dan jamur yang menghuni bumi, berbagi dengan sekitar 7 miliar manusia. Himbauan
untuk bertindak diserukan di saat-saat para pemimpin internasional
mempersiapkan diri untuk berkumpul di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni
untuk menghadiri Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan, yang
dikenal sebagai Konferensi Rio +20. Konferensi mendatang ini menandai 20 Tahun
KTT Bumi 1992 di Rio yang menghasilkan dukungan dari 193 negara terhadap
tujuan-tujuan Konvensi pada Keanekaragaman Hayati berupa konservasi
keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
KTT Bumi 1992 yang
didorong oleh besarnya minat untuk memahami tentang
hilangnya keanekaragaman hayati mungkin berdampak pada dinamika dan
pemfungsian ekosistem, begitu pula pada penyediaan barang dan jasa yang
berharga bagi masyarakat. Dalam makalah Nature, Cardinale
dan para kolega meninjau studi-studi terkait yang sudah dipublikasikan dan
membuat daftar enam pernyataan konsensus, empat kecenderungan yang muncul serta
empat pernyataan “keseimbangan bukti”.
Keseimbangan bukti
menunjukkan, misalnya, bahwa keragaman genetik meningkatkan hasil panen tanaman
komersial, meningkatkan produksi kayu di hutan, meningkatkan produksi pakan
ternak di padang rumput, serta meningkatkan stabilitas hasil panen pada
perikanan. Meningkatnya keanekaragaman tumbuhan juga menghasilkan resistensi
yang lebih besar terhadap invasi, menghambat patogen tanaman seperti infeksi
jamur dan virus, meningkatkan penyerapan karbon di di udara melalui
penyempurnaan biomassa, serta meningkatkan remineralisasi nutrisi dan bahan organik
tanah.
“Tak akan ada yang setuju
dengan apa yang akan terjadi jika ekosistem kehilangan spesies, namun
kebanyakan dari kita setuju bahwa itu tidak akan menjadi baik. Dan kita setuju
bahwa jika ekosistem kehilangan sebagian besar spesiesnya, maka itu akan
menjadi bencana,” kata Shahid Naeem dari Universitas Columbia, salah satu
penulis pendamping dalam makalah Nature. “Dua
puluh tahun dan seribu studi kemudian, apa dipikir benar oleh dunia dalam
pertemuan di Rio pada tahun 1992 akhirnya telah terbukti: Keanekaragaman hayati
mendasari kemampuan kita untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”
Meskipun terdapat dukungan
luas terhadap Konvensi pada Keanekaragaman Hayati, namun hilangnya
keanekaragaman hayati terus berlangsung selama dua dekade terakhir, bahkan
seringkali dengan tingkat yang menanjak. Sebagai responnya, satu set tujuan
baru pelestarian keanekaragaman untuk tahun 2020, yang dikenal sebagai target
Aichi, baru-baru telah dirumuskan. Juga, sebuah badan internasional baru yang
disebut Panel Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa
Ekosistem telah dibentuk pada bulan April 2012 untuk memandu respon global
terhadap pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.
Kesenjangan yang
signifikan dalam ilmu pengetahuan di balik keanekaragaman hayati masih tetap
ada dan harus diatasi apabila target Aichi harus dipenuhi, kata Cardinale dan
para kolega dalam makalah Nature. “Beberapa
pertanyaan kunci yang kami uraikan dapat membantu menunjukkan jalan bagi
penelitian generasi berikutnya tentang bagaimana perubahan keanekaragaman
hayati mempengaruhi kesejahteraan manusia,” kata David Hooper dari Universitas
Western Washington, salah satu penulis pendamping studi. Tanpa adanya pemahaman
tentang proses ekologis mendasar yang menghubungkan keanekaragaman hayati,
fungsi dan jasa ekosistem, maka upaya untuk meramalkan konsekuensi sosial
akibat hilangnya keragaman, dan untuk memenuhi tujuan kebijakan, akan cenderung
gagal, demikian menurut 17 ahli ekologi. “Tapi dengan adanya pemahaman yang
mendasar dalam genggaman, kita mungkin bisa membawa era modern hilangnya
keanekaragaman hayati ke arah jalur yang aman bagi kemanusiaan,” simpul mereka.
Selain Cardinale, Naeem
dan Hooper, penulis pendamping dalam makalah Nature
ini adalah J. Emmett Duffy dari The College of William and Mary, Andrew
Gonzalez dari Universitas McGill, Charles Perrings dan Ann Kinzig dari
Universitas Arizona, Patrick Venail dan Anita Narwani dari Sekolah Sumber Daya
Alam dan Lingkungan UM; Georgina Mace dari Imperial College London, David
Tilman dari Universitas Minnesota, David Wardle dari Universitas Ilmu Pertanian
Swedia; Gretchen Daily dari Universitas Stanford, Michel Loreau dari Pusat
Nasional de la Recherche Scientifique di Moulis, Perancis, James Grace dari US
Geological Survey; Anne Larigauderie dari Museum Nasional d’Histoire Naturelle
di Rue Cuvier, Perancis, serta Diane Srivastava dari Universitas British
Columbia.
Penelitian ini memperoleh
pendanaan dari National Science Foundation dan dari University of
California-Santa Barbara dan negara bagian California. “Kemurnian air, produksi
pangan dan kualitas udara bisa mudah untuk digunakan begitu saja, namun semua
itu sebagian besar disediakan oleh komunitas organisme,” kata George Gilchrist,
direktur program di Divisi Biologi Lingkungan National Science Foundation, yang
mendanai penelitian. “Makalah ini menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah makhluk
hidup, tetapi juga keanekaragaman hayati spesies, genetik dan sifat mereka yang
mempengaruhi ketersediaan berbagai ‘jasa ekosistem’ yang penting.”
Kredit: University
of British Columbia. Jurnal:
Bradley J. Cardinale, J. Emmett Duffy, Andrew Gonzalez, David U. Hooper,
Charles Perrings, Patrick Venail, Anita Narwani, Georgina M. Mace, David
Tilman, David A. Wardle, Ann P. Kinzig, Gretchen C. Daily, Michel Loreau, James
B. Grace, Anne Larigauderie, Diane S. Srivastava, Shahid Naeem. Biodiversity loss and its impact on humanity.
Nature; 486, 59–67 (07 Juni 2012);
DOI: 10.1038/nature11148
Sumber:
Fakta Ilmiah (http://www.faktailmiah.com/2012/06/07/peningkatan-hilangnya-keanekaragaman-hayati-mengancam-kesejahteraan-manusia.html)
Selasa, 14 Oktober 2014
Suap dan Anak yang Tak Diakui Ibunya
Seorang anak datang kepada
khalifah Umar bin Khattab untuk mengadu. Dia berkata: “Ibuku menahan
warisan dari ayahku, dengan alasan bahwa aku bukanlah anaknya, sehingga aku
tidak memperoleh warisan itu.” Kala itu khalifah Umar mendatangkan
ibunya, lalu berkata kepadanya: “Mengapa kamu mengingkari anakmu?” Si
Perempuan berkata: “Dia bohong! Aku mempunyai saksi bahwa aku masih
perawan dan aku belum pernah menikah.” “Mana saksi-saksimu?” tanya
Umar.
Perempuan itu pun
mendatangkan 7 orang, yang semuanya bersaksi bahwa si Perempuan memang belum
menikah. Tapi si anak masih membela diri dan berkata:“Aku punya bukti yang
akan aku jelaskan, mudah-mudahan Anda memahaminya.” Umar berkata:“Katakan
sesukamu!” “Ayahku sudah tua, namanya Sa`ad bin Malik “jelas si
Anak. “Aku dilahirkan pada musim panas. Selama dua tahun aku disusui
dengan susu kambing. Ketika aku dewasa, ayahku pergi bersama suatu rombongan.
Tapi ia tidak kembali. Menurut kabar, ia telah meninggal di perjalanan. Ketika
ibuku mendengar berita ini, ia mengingkariku dan menjauhiku”.
“Sekarang aku terdesak
kebutuhan.” Umar berkata,“Ini
perkara sulit. Mari kita pergi kepada Abal Hasan (Ali Bin Abi Thalib
karramallahu wajhah)!” Di rumah Imam Ali, si Anak menceritakan duduk
perkaranya kepada Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Demikian pula si
Perempuan ditanya, dan Imam Ali mendengarkan pembelaannya. Kepada Imam Ali,
perempuan itu menjelaskan hal yang sama.
“Wahai Amir al
Mukminin”, kata si Perempuan kepada
Imam Ali, “aku seorang perawan. Aku tidak punya anak dan belum tesentuh
oleh laki-laki.” Sayidina Ali berkata lagi kepadanya: “Jangan
bicara terlalu panjang. Aku adalah putra Paman-nya Bulan Purnama (Rasulullah).
Sungguh aku tahu kejadian yang sebenarnya.” Perempuan itu masih
membela diri dan berkata: “Datangkanlah seorang bidan, biar dia
memeriksa saya, apakah saya masih perawan atau tidak.”
Imam Ali berkata bahwa ia
berkenan memenuhi permintaan perempuan tersebut dengan mendatangkan bidan. Kepada
pembantunya Imam Ali berkata: “Qonbar, datangkanlah seorang bidan!”
“Baiklah, ya Amir al Mu’minin!” Jawab Qonbar. Usai pemeriksaan
keperawanan di kamar tertutup, bidan itu keluar dan berkata: “Benar ya
Amir al Mu’minin, dia masih perawan.” Imam Ali berkata: “Bidan
ini berbohong, periksalah dia, dan ambil gelang darinya!”
Kemudian si bidan
diperiksa, dan ditemukan sebuah gelang diselipkan di pundaknya. Itu adalah
gelang sogokan (suap –gratifikasi) dari perempuan tadi. Sebelum diperiksa,
perempuan tadi menyerahkan gelang emas kepada si bidan dan berkata: “Saksikanlah
dan katakanlah kepada Amir al Mu’minin (–Ali) bahwa aku perawan.”
Kini perempuan itu
dihadapkan kembali kepada Imam Ali:“Wahai Perempuan, aku adalah sarang ilmu
kenabian, penghias dan hakim agama. Aku ingin mengawinkan kamu dengan anak muda
ini!”Perempuan tadi tersentak dan sontak berkata: “Tidak! Yaa Amir
al Mu’minin, apakah Anda ingin membatalkan syariat Muhammad? Dia itu anakku!”Imam
Ali berkata: “Datanglah kebenaran, sirnalah kebatilan. Rahasiamu telah
terbuka. Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” Perempuan itu menyesali
dirinya, lalu ia berkata: “Aku takut dengan warisan, yaa Amir al
Mu’minin!” Imam Ali berkata: “Mintalah ampun dari Allah,
bertaubatlah kepadanya!”
Senin, 13 Oktober 2014
Pengantar Syahid Sayid Baqir al Shadr Untuk Bukunya, Falsafatuna
Setelah Dunia Islam jatuh
ke tangan kaum penjajah, arus pemikiran Barat yang bersandar pada budaya
kolonialis telah menyapu bersih prinsip-prinsip dan konsep-konsep budaya Islam
berkenaan dengan alam, kehidupan dan kemasyarakatan. Keadaan tersebut membantu
kolonialisme dalam upayanya melakukan ekspansi ideologis secara terus-menerus
guna memusnahkan eksistensi pemikiran Islam dan warisan luhur Islam.
Pada gilirannya, pertentangan antara pemikiran Barat dengan kehidupan, intelektual dan politik umat Islam pun tak dapat dielakkan. Gelombang dahsyat konsep-konsep Barat yang beraneka-ragam yang merasuki negeri-negeri Islam dan berusaha untuk memusnahkan konsep-konsep kebudayaan Islam mendapatkan perlawanan. Adalah suatu keharusan bagi Islam untuk menyatakan pandangannya dalam kancah pertentangan yang pahit ini. Pandangan itu harus kukuh, dalam, jelas, tegas, lengkap, dan komprehensif – baik yang berhubungan dengan alam semesta, kehidupan, manusia, masyarakat, negara maupun sistem lain – sehingga umat dapat memproklamasikan kalimah Allah dalam pertentangan tersebut dan mengajak dunia untuk tunduk kepadanya, serta bagaimana umat terdahulu telah melakukannya.
Buku ini tak lain adalah bagian dari kalimah Allah yang di dalamnya masalah-masalah alam semesta ditelaah sebagaimana ia harus dipecahkan lewat sorotan Islam. Dalam buku kami yang lain dibahas bagaimana Islam menjelaskan dan memecahkan secara tepat berbagai problem alam semesta dan kehidupan.
Falsafatuna adalah sekumpulan konsep kita yang mendasar tentang dunia dan metode berpikir kita tentang dunia tersebut. Karena itu, buku ini –kecuali bagian pendahuluan – kami bagi dalam dua pembahasan: Pertama, berkaitan dengan teori pengetahuan (epistemologi) dan kedua berkaitan dengan metafisika (konsep filsafat tentang dunia).
Bagian pertama tersebut ingin mengemukakan pembahasan yang dapat dirinci sebagai berikut:
[1] Mengemukakan suatu tesis yang menyatakan bahwa metode rasional dalam berpikir adalah logis dan dapat dipercaya akal, termasuk pengetahuan-pengetahuan yang tidak bergantung pada eksperimen atau pengetahuan a-priori merupakan kriteria pertama yang menentukan kesahihan pemikiran manusia. Tidaklah mungkin ada pemikiran filosofis atau ilmiah tanpa menundukkannya kepada kriteria umum ini. Bahkan eksperimen yang diduga oleh kaum empiris sebagai kriteria pertama, pada hakikatnya hanyalah sarana bagi penerapan kriteria rasional tersebut. Teori empiris tidak dapat tidak tentu membutuhkan logika rasional.
[2] Mempelajari nilai pengetahuan manusia dan menunjukkan bahwa pengetahuan itu dapat dipandang mengandung nilai yang benar berdasarkan pertimbangan logika rasional, bukan logika dialektik yang tidak mampu memberikan nilai yang benar bagi pengetahuan.
Tujuan pokok dari pembahasan bagian pertama tersebut adalah untuk menentukan metode penelaahan di bagian kedua. Karena, peletakan konsep umum dalam metafisika bergantung, pertama-tama, pada penetapan landasan-landasan berpikir, kriteria umum bagi pengetahuan yang benar, dan keluasan nilai pengetahuan yang benar tersebut. Oleh sebab itulah, studi di bagian pertama pada dasarnya adalah pengantar bagi bagian kedua; dan bagian kedua sendiri membahas soal-soal mendasar yang secara khusus layak mendapat perhatian pembaca.
Di bagian kedua, studi kami bagi menjadi lima bagian:
[1] Mengemukakan pertentangan konsep-konsep filosofis dan penjelasan atasnya.
[2]
Mengemukakan konsep dialektika sebagai logika. Konsep ini penting dikemukakan
karena ia dijadikan dasar materialisme modern. Dalam bagian ini akan ditelaah
secara objektif dan rinci mengenai keseluruhan pemikiran pokok yang dirumuskan
oleh dua filosof dialektis, yaitu Hegel dan Marx.
[3] Menelaah
prinsip dan hukum-hukum kausalitas yang mengatur dunia, termasuk juga
penafsiran filosofis secara komprehensif tentang dunia yang diajukan kepada
kita oleh hukum kausalitas. Di bagian ini juga akan dicoba untuk memecahkan
sejumlah keraguan (skeptisisme) filosofis yang muncul dalam semangat
perkembangan ilmu pengetahuan modern.
[4] Menelaah
tentang “materi dan Tuhan”. Di sini penelaahan akan melibatkan perdebatan
antara materialisme dan konsep-konsep teologis, yang dengan cara demikian ini
pada akhirnya konsep-konsep teologis kita tentang dunia akan dapat dirumuskan
atas dasar semangat hukum-hukum filosofis dan ilmu pengetahuan – baik ilmu-ilmu
fisika maupun humaniora.
[5] Kemudian di bagian akhir buku ini, akan ditelaah suatu problem filosofis yang terpenting, yaitu tentang wilayah konflik antara materialisme dan spiritualisme. Pembahasan akan dilakukan secara filosofis dan dalam sorotan berbagai ilmu yang berkaitan dengan objek tersebut, seperti misalnya ilmu-ilmu alam, fisiologi, dan psikologi.
Demikianlah kerangka umum buku ini, yang merupakan hasil kerja keras selama sepuluh bulan. Kami berharap sangat, buku ini dapat menyampaikan pesan suci secara damai dan ikhlas. Kami juga berharap agar para pembaca sudi menelaah buku ini secara objektif dan dengan konsentrasi penuh, untuk kemudian menilainya atas dasar pertimbangan filosofis dan ilmiah dan bukan atas dasar emosional atau keinginan-keinginan subjektif – baik penilaian Anda itu ditujukan untuk penolakan ataupun penerimaan atas pemikiran dalam buku ini.
Kami tidak ingin para
pembaca menelaah buku ini seperti membaca sebuah novel atau roman atau hanya
sekadar dianggap sebagai kesenangan intelektual atau semacam buku sastra. Buku
ini jelas bukan berisi tentang cerita-cerita sastra ataupun cerita-cerita yang
menyenangkan akal. Pada hakikatnya, buku ini ingin mengungkapkan
persoalan-persoalan manusia sebagai makhluk berpikir. Dan tiada taufik bagiku
selain dari Allah. Kepada-Nyalah aku
bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali.
Najf Al-Asyraf, 29 Rabi’ul
Tsaniy 1379 H
Muhammad Baqir Ash-Shadr
Muhammad Baqir Ash-Shadr
Langganan:
Postingan (Atom)