Oleh Budi Rahardjo
Teknologi sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Kita ambil contoh teknologi telekomunikasi dan informasi[1]. Radio, televisi, VCD, DVD, komputer – sebagai produk dari teknologi – ada dimana-mana. Paling tidak di kota besar kita lihat banyak orang menggunakan telepon seluler (handphone). Orang yang tadinya tidak gemar menulis surat, sekarang menulis e-mail melalui Internet atau mengirim SMS melalui handphonenya setiap hari. Ini contoh teknologi yang ubiquitous, yaitu teknologi yang sudah merasuk dan “tidak nampak” (tidak terlihat sebagai sebuah benda yang aneh).
Teknologi sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Kita ambil contoh teknologi telekomunikasi dan informasi[1]. Radio, televisi, VCD, DVD, komputer – sebagai produk dari teknologi – ada dimana-mana. Paling tidak di kota besar kita lihat banyak orang menggunakan telepon seluler (handphone). Orang yang tadinya tidak gemar menulis surat, sekarang menulis e-mail melalui Internet atau mengirim SMS melalui handphonenya setiap hari. Ini contoh teknologi yang ubiquitous, yaitu teknologi yang sudah merasuk dan “tidak nampak” (tidak terlihat sebagai sebuah benda yang aneh).
Namun
sayangnya, kebanyakan dari semua ini adalah kita hanya sebagai pengguna atau
konsumer dari teknologi itu sendiri. Kita bukan lagi sebagai produser, pembuat,
atau inovator dalam teknologi dan aplikasinya. Padahal, dahulu kita dianggap
sebagai salah satu pionir dalam telekomunikasi dengan digunakannya satelit
Palapa. Indonesia sebagai negara ketiga yang memiliki satelit telekomunikasi.
Saat ini dengan semakin banyaknya jumlah pengguna telepon seluler (dan akan
terus bertambah), seharusnya kita tetap menjadi pelopor. Kenyataannya kita
hanya sebagai konsumer belaka dengan mengimpor teknologi telekomunikasi dari
luar negeri[2]. Ini
tantangan bagi generasi muda Indonesia. Dapatkah kita mengubah kondisi ini
menjadi kesempatan (opportunity)?
“Kekayaan”
sekarang tidak lagi hanya diukur dari kepemilikan hal-hal yang tangible – seperti uang, tanah, mobil, dan
hal-hal lain yang langsung terlihat secara fisik – akan tetapi sudah
mengikutsertakan hal-hal yang intangible.
Kalau dahulu kekayaan sebuah perusahaan dihitung dari jumlah tanah atau
kendaraan yang dimilikinya, saat ini yang ditanyakan adalah jumlah sumber daya
manusianya beserta kualifikasinya (berapa jumlah S1 nya? S2? S3?) serta
kepemilikan hak intelektual lainnya (berapa paten, hak cipta, merek dagang, dan
rahasia dagang yang dimiliki?). Namun sayangnya, lagi-lagi, Indonesia
tertinggal di bidang ini.
Penguasaan
sains dan teknologi diharapkan dapat menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas
hidup kita, yaitu dengan menjadikannya sebagai “engines of prosperity”[3].
Penguasaan ini dijabarkan dalam bentuk kepemilikan “knowledge” atau pengetahuan. Itulah sebabnya saat ini muncul
istilah-istilah seperti knowledge
management, dan knowledge-based
economy (ekonomi yang berbasis pengetahuan). Pertempuran
antar negara – baik dalam bidang perdagangan maupun bidang militer – sudah
sarat dengan teknologi. Tanpa menguasai sains dan teknologi, kita akan
ketinggalan lagi.
Chong-Moon Lee[4], salah
seorang pengamat teknologi dan ekonomi mengatakan bahwa ada tiga (3) cara untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi:
Meningkatkan
dan memperkuat faktor input dari tenaga kerja (labor) dan capital; melalui
perdagangan dan keuntungan komparatif (misalnya melalui spesialisasi); melalui
inovasi dan entrepreneurship.
Mari kita
fokuskan kepada faktor yang terakhir, yaitu bagaimana kita mengembangkan
inovasi dan entrepreneurship. Untuk
sementara ini lupakan dahulu entrepreneurship karena itu merupakan pokok
bahasan tersendiri. Inovasi muncul dari riset[5].
Inilah mengapa masa depan Indonesia ditentukan oleh sains dan teknologi.
Institut
Teknologi Bandung (ITB) sebagai salah satu institusi pendidikan dan penelitian
di Indonesia diharapkan menjadi motor (flag
carrier) dalam penguasaan sains dan penghasil teknologi. Siapkah ITB?
Permasalahan
Riset
Pengelolaan
riset memiliki berbagai permasalahan yang tidak saja dialami oleh Indonesia
tetapi juga oleh negara-negara yang sudah maju. Berikut ini ada beberapa contoh
permasalahan tersebut.
Keterbatasan
pendanaan (funding) merupakan salah
satu masalah terbesar. Dana yang terbatas memaksa adanya prioritas atau fokus
terhadap satu atau beberapa bidang penelitian saja. Industri di negara maju pun
mulai kesulitan dalam mengalokasikan dana untuk penelitian. Akibatnya prioritas
penelitian juga mulai diarahkan kepada penelitian yang aplikatif, yang dapat
menghasilkan keuntungan finansial dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama[6].
Kondisi sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian yang ada lebih bernuansa
teoritis (dan bahkan hanya untuk mengejar kenaikan pangkat saja). Ini tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan sebuah fenomena global.
Dalam sebuah tulisan di IEEE Spectrum
ditunjukkan bahwa artikel-artikel di IEEE
Transactions (yaitu jurnal utama organisasi IEEE[7])
saat ini hanya 15% yang berasal dari industri. Padahal di tahun 1970-an, 70%
makalah berasal dari industri (contohnya adalah IBM, Bell Labs).
Arah penelitian bisa mengikuti beberapa
pola:
Mengikuti
tuntutan pasar. Pendekatan yang market driven ini memiliki keuntungan bahwa penelitian tidak akan
sia-sia karena ada calon pengguna (pembeli). Pendekatan ini menuntut
perencanaan (road mapping) jangka
pendek dan jangka panjang. Buruknya pendekatan ini adalah belum tentu kita yang
mendapat keuntungan finansial karena bisa saja kita terlambat (atau juga
terlalu cepat) masuk ke pasar sehingga pasar sudah dikuasai oleh pihak lain.
Memprediksi pasar juga bukan pekerjaan yang mudah sehingga bisa saja salah
sasaran. Selain itu SDM yang dibutuhkan dan dana pada tahap awal belum tentu
tersedia.
Mengikuti
ketersediaan sumber daya manusia. Pendekatan yang
melihat ke dalam adalah pendekatan ini yang paling sering dilakukan karena kemampuan
SDM – dan mungkin juga fasilitas penelitian – sudah tersedia. Namun pendekatan
ini memiliki kelemahan bahwa dia berorientasi ke dalam dengan topik penelitian
yang belum tentu memiliki nilai komersial atau strategis. Seringkali topik
penelitian dipilih sesuai dengan selera peneliti itu sendiri, dan juga sering
berubah-ubah.
Mengikuti
penyedia dana. Pendekatan ini
“mengikuti arus” ketersediaan dana. Jika ada dana untuk topik penelitian xyz, maka ramai-ramai peneliti
mengajukan proposal sesuai dengan syarat yang diajukan oleh pemberi dana.
Kompetensi dan track record dari
peneliti diabaikan. Pendekatan ini terlalu short
term dan hanya cocok untuk kondisi survival
atau untuk melakukan bootstrap saja. Namun
seringkali para peneliti ini lupa dan terus menerus mengambil pendekatan ini,
yaitu pendekatan proyek. Akibatnya topik penelitian menjadi
meloncat-loncat dan tidak memiliki dasar (foundation)
yang kokoh.
Mengikuti
kepentingan negara atau kebutuhan masyarakat. Ini
pendekatan ideal dimana memang hasil penelitian tersebut sangat dinantikan oleh
masyarakat. Pendekatan ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan
membutuhkan road map jangka panjang. Hasil-hasil sementara yang dapat langsung dimanfaatkan merupakan milestones dari rencana jangka panjang
tersebut. Masalah utama dalam pendekatan ini adalah biasanya kurang ada nilai
bisnisnya sehingga industri tidak mau melakukan investasi. Sementara
itu pemerintah tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak memiliki
komitmen sehingga arah penelitian hanya sekedar ”manis di bibir” (lip service). Di sisi perguruan tinggi
atau institusi penelitian sendiri belum tentu ada sumber daya manusia dan
fasilitas yang mendukung.
Tentu saja pola yang diambil oleh sebuah institusi bisa merupakan gabungan
atau kombinasi dari pola-pola di atas.
Visi dari penelitian – dari pemerintahan, perguruan tinggi, dan lembaga
penelitian – seringkali tidak jelas atau bahkan tidak ada. Ini membutuhkan
kepemimpinan (leadersip). Ketika John
F. Kennedy mengatakan di Rice University bahwa Amerika akan pergi ke bulan
dunia berguncang. Banyak orang yang mengatakan bahwa itu hanya mimpi. Sampai
saat ini pun masih ada orang yang meragukan kesuksesan misi Apollo dan
mengatakan bahwa itu hanya tipuan (hoax)
belaka. Namun perkataan Kennedy tersebut mengusik jiwa beberapa orang peneliti
sehingga memiliki obsesi dan komitmen untuk mewujudkan impian ini. Hasilnya
dapat kita lihat sendiri. Mereka maju dengan pesat. Negara lain pun melakukan
pendekatan yang sama. Bagaimana dengan Indonesia?
Paragraf di atas menyinggung tentang peneliti yang terobsesi dan memiliki
komitmen untuk meneliti terus yang jarang ditemukan di Indonesia. Karakter ini
yang nampaknya kurang tumbuh di Indonesia. Apakah ini bawaan sifat orang
Indonesia? Tidak! Orang Indonesia sendiri sebetulnya memiliki kemampuan
meneliti yang cukup baik. Buktinya mahasiswa Indonesia yang sedang belajar atau
berkarya di perguruan tinggi di luar negeri dapat menjadi peneliti-peneliti
yang baik. Jadi bukan manusianya, melainkan lingkungan (environment) Indonesia yang kurang mendukung penelitian. Ini yang
harus kita ubah. Kita budayakan sifat meneliti.
Di ITB penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu penelitian yang bersifat
teoritis dan penelitian yang lebih bersifat aplikatif. Penelitian yang bersifat teoritis
dimotori oleh Fakultas, Departemen, dan lab-lab yang berada di dalamnya.
Sementara itu, penelitian yang bersifat aplikatif dimotori oleh LPPM (Lembaga
Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) beserta Kelompok Penelitian dan
Pengembangan (KPP) yang berada di dalamnya. Diharapkan sinergi dari dua motor
ini dapat menghasilkan penelitian dan pengembangan yang bermanfaat bagi
Indonesia.
Tantangan Ke
Depan
Banyak
bidang “baru” yang diperkirakan akan menjadi primadona dalam menghasilkan prosperity, yaitu antara lain
Bioteknologi, dan Nanoteknologi. Nah, siapkah kita menjadi salah satu pionir di
bidang itu dengan inovasi-inovasi yang dapat menyelamatkan Indonesia? Akan
adakah peneliti-peneliti tangguh dari Indonesia?
[1]
Bidang telekomunikasi dan informasi bukan satu-satunya bidang yang memiliki
teknologi. Pilihan bidang ini saya ambil contoh karena itu yang saya kenal.
Selain itu saat ini sedang ramai-ramainya orang melirik bidang teknologi
informasi.
[2]
Saat ini sedang ada penelitian dan pengembangan Telepon Rakyat yang merupakan salah
satu hasil dari Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Teknologi Informasi
dan Mikroelektronika yang didanai oleh Kementrian Riset dan Teknologi. Informasi mengenai ini dapat
diperoleh dari http://rusnas.paume.itb.ac.id.
[3]
Istilah “engines of prosperity” ini
saya ambil dari judul buku Gerardo R. Ungson & John D. Trudel, “Engines of
Prosperity: Templates for the Information Age,” Imperial College Press, 1998.
[4]
Chong-Moon Lee (eds.), "The Silicon Valley Edge: a habitat for innovation and
entrepreneurship," Stanford University Press, 2000
[5]
Jika kita ingin menterjemahkan “riset” sebagai seorang purist, maka riset seharusnya difokuskan kepada hal yang sifatnya
teoritis atau penelitian murni atau sains. Namun seringkali kita menggunakan
kata riset untuk hal-hal yang lebih umum, termasuk di dalamnya adalah istilah applied research. Sebetulnya selain research ada development (pengembangan) dan engineering
(enjiniring?). Sains terkait dengan riset, sementara teknologi lebih ke arah
pengembangan. Di dalam tulisan ini saya akan menggunakan kata riset sebagai
gabungan dari research, development, and
engineering.
[6]
Dari materi presentasi Budi Rahardjo, “Perubahan Orientasi Penelitian Perguruan
Tinggi,” workshop Penulisan Proposal Penelitian, Artikel Ilmiah, dan Dokumen
Paten yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Program
Diploma, Politeknik Ciwaruga Bandung, 15 September 2003.
[7]
Situs web IEEE adalah http://www.ieee.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar