Label

Sabtu, 11 Oktober 2014

Selamatkan Masa Depan Indonesia Dengan Sains dan Teknologi


Oleh Budi Rahardjo

Teknologi sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Kita ambil contoh teknologi telekomunikasi dan informasi[1]. Radio, televisi, VCD, DVD, komputer – sebagai produk dari teknologi – ada dimana-mana. Paling tidak di kota besar kita lihat banyak orang menggunakan telepon seluler (handphone). Orang yang tadinya tidak gemar menulis surat, sekarang menulis e-mail melalui Internet atau mengirim SMS melalui handphonenya setiap hari. Ini contoh teknologi yang ubiquitous, yaitu teknologi yang sudah merasuk dan “tidak nampak” (tidak terlihat sebagai sebuah benda yang aneh).

Namun sayangnya, kebanyakan dari semua ini adalah kita hanya sebagai pengguna atau konsumer dari teknologi itu sendiri. Kita bukan lagi sebagai produser, pembuat, atau inovator dalam teknologi dan aplikasinya. Padahal, dahulu kita dianggap sebagai salah satu pionir dalam telekomunikasi dengan digunakannya satelit Palapa. Indonesia sebagai negara ketiga yang memiliki satelit telekomunikasi. Saat ini dengan semakin banyaknya jumlah pengguna telepon seluler (dan akan terus bertambah), seharusnya kita tetap menjadi pelopor. Kenyataannya kita hanya sebagai konsumer belaka dengan mengimpor teknologi telekomunikasi dari luar negeri[2]. Ini tantangan bagi generasi muda Indonesia. Dapatkah kita mengubah kondisi ini menjadi kesempatan (opportunity)?

“Kekayaan” sekarang tidak lagi hanya diukur dari kepemilikan hal-hal yang tangible – seperti uang, tanah, mobil, dan hal-hal lain yang langsung terlihat secara fisik – akan tetapi sudah mengikutsertakan hal-hal yang intangible. Kalau dahulu kekayaan sebuah perusahaan dihitung dari jumlah tanah atau kendaraan yang dimilikinya, saat ini yang ditanyakan adalah jumlah sumber daya manusianya beserta kualifikasinya (berapa jumlah S1 nya? S2? S3?) serta kepemilikan hak intelektual lainnya (berapa paten, hak cipta, merek dagang, dan rahasia dagang yang dimiliki?). Namun sayangnya, lagi-lagi, Indonesia tertinggal di bidang ini.

Penguasaan sains dan teknologi diharapkan dapat menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas hidup kita, yaitu dengan menjadikannya sebagai “engines of prosperity[3]. Penguasaan ini dijabarkan dalam bentuk kepemilikan “knowledge” atau pengetahuan. Itulah sebabnya saat ini muncul istilah-istilah seperti knowledge management, dan knowledge-based economy (ekonomi yang berbasis pengetahuan). Pertempuran antar negara – baik dalam bidang perdagangan maupun bidang militer – sudah sarat dengan teknologi. Tanpa menguasai sains dan teknologi, kita akan ketinggalan lagi.

Chong-Moon Lee[4], salah seorang pengamat teknologi dan ekonomi mengatakan bahwa ada tiga (3) cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi:

Meningkatkan dan memperkuat faktor input dari tenaga kerja (labor) dan capitalmelalui perdagangan dan keuntungan komparatif (misalnya melalui spesialisasi); melalui inovasi dan entrepreneurship.

Mari kita fokuskan kepada faktor yang terakhir, yaitu bagaimana kita mengembangkan inovasi dan entrepreneurship. Untuk sementara ini lupakan dahulu entrepreneurship karena itu merupakan pokok bahasan tersendiri. Inovasi muncul dari riset[5]. Inilah mengapa masa depan Indonesia ditentukan oleh sains dan teknologi.

Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai salah satu institusi pendidikan dan penelitian di Indonesia diharapkan menjadi motor (flag carrier) dalam penguasaan sains dan penghasil teknologi. Siapkah ITB?

Permasalahan Riset

Pengelolaan riset memiliki berbagai permasalahan yang tidak saja dialami oleh Indonesia tetapi juga oleh negara-negara yang sudah maju. Berikut ini ada beberapa contoh permasalahan tersebut.

Keterbatasan pendanaan (funding) merupakan salah satu masalah terbesar. Dana yang terbatas memaksa adanya prioritas atau fokus terhadap satu atau beberapa bidang penelitian saja. Industri di negara maju pun mulai kesulitan dalam mengalokasikan dana untuk penelitian. Akibatnya prioritas penelitian juga mulai diarahkan kepada penelitian yang aplikatif, yang dapat menghasilkan keuntungan finansial dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama[6]. Kondisi sebelumnya menunjukkan bahwa penelitian yang ada lebih bernuansa teoritis (dan bahkan hanya untuk mengejar kenaikan pangkat saja). Ini tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan sebuah fenomena global. Dalam sebuah tulisan di IEEE Spectrum ditunjukkan bahwa artikel-artikel di IEEE Transactions (yaitu jurnal utama organisasi IEEE[7]) saat ini hanya 15% yang berasal dari industri. Padahal di tahun 1970-an, 70% makalah berasal dari industri (contohnya adalah IBM, Bell Labs).

Arah penelitian bisa mengikuti beberapa pola:

Mengikuti tuntutan pasar. Pendekatan yang market driven ini memiliki keuntungan bahwa penelitian tidak akan sia-sia karena ada calon pengguna (pembeli). Pendekatan ini menuntut perencanaan (road mapping) jangka pendek dan jangka panjang. Buruknya pendekatan ini adalah belum tentu kita yang mendapat keuntungan finansial karena bisa saja kita terlambat (atau juga terlalu cepat) masuk ke pasar sehingga pasar sudah dikuasai oleh pihak lain. Memprediksi pasar juga bukan pekerjaan yang mudah sehingga bisa saja salah sasaran. Selain itu SDM yang dibutuhkan dan dana pada tahap awal belum tentu tersedia.

Mengikuti ketersediaan sumber daya manusia. Pendekatan yang melihat ke dalam adalah pendekatan ini yang paling sering dilakukan karena kemampuan SDM – dan mungkin juga fasilitas penelitian – sudah tersedia. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan bahwa dia berorientasi ke dalam dengan topik penelitian yang belum tentu memiliki nilai komersial atau strategis. Seringkali topik penelitian dipilih sesuai dengan selera peneliti itu sendiri, dan juga sering berubah-ubah.

Mengikuti penyedia dana. Pendekatan ini “mengikuti arus” ketersediaan dana. Jika ada dana untuk topik penelitian xyz, maka ramai-ramai peneliti mengajukan proposal sesuai dengan syarat yang diajukan oleh pemberi dana. Kompetensi dan track record dari peneliti diabaikan. Pendekatan ini terlalu short term dan hanya cocok untuk kondisi survival atau untuk melakukan bootstrap saja. Namun seringkali para peneliti ini lupa dan terus menerus mengambil pendekatan ini, yaitu pendekatan proyek. Akibatnya topik penelitian menjadi meloncat-loncat dan tidak memiliki dasar (foundation) yang kokoh.

Mengikuti kepentingan negara atau kebutuhan masyarakat. Ini pendekatan ideal dimana memang hasil penelitian tersebut sangat dinantikan oleh masyarakat. Pendekatan ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan membutuhkan road map jangka panjang. Hasil-hasil sementara yang dapat langsung dimanfaatkan merupakan milestones dari rencana jangka panjang tersebut. Masalah utama dalam pendekatan ini adalah biasanya kurang ada nilai bisnisnya sehingga industri tidak mau melakukan investasi. Sementara itu pemerintah tidak memiliki dana yang cukup atau bahkan tidak memiliki komitmen sehingga arah penelitian hanya sekedar ”manis di bibir” (lip service). Di sisi perguruan tinggi atau institusi penelitian sendiri belum tentu ada sumber daya manusia dan fasilitas yang mendukung.

Tentu saja pola yang diambil oleh sebuah institusi bisa merupakan gabungan atau kombinasi dari pola-pola di atas.

Visi dari penelitian – dari pemerintahan, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian – seringkali tidak jelas atau bahkan tidak ada. Ini membutuhkan kepemimpinan (leadersip). Ketika John F. Kennedy mengatakan di Rice University bahwa Amerika akan pergi ke bulan dunia berguncang. Banyak orang yang mengatakan bahwa itu hanya mimpi. Sampai saat ini pun masih ada orang yang meragukan kesuksesan misi Apollo dan mengatakan bahwa itu hanya tipuan (hoax) belaka. Namun perkataan Kennedy tersebut mengusik jiwa beberapa orang peneliti sehingga memiliki obsesi dan komitmen untuk mewujudkan impian ini. Hasilnya dapat kita lihat sendiri. Mereka maju dengan pesat. Negara lain pun melakukan pendekatan yang sama. Bagaimana dengan Indonesia?

Paragraf di atas menyinggung tentang peneliti yang terobsesi dan memiliki komitmen untuk meneliti terus yang jarang ditemukan di Indonesia. Karakter ini yang nampaknya kurang tumbuh di Indonesia. Apakah ini bawaan sifat orang Indonesia? Tidak! Orang Indonesia sendiri sebetulnya memiliki kemampuan meneliti yang cukup baik. Buktinya mahasiswa Indonesia yang sedang belajar atau berkarya di perguruan tinggi di luar negeri dapat menjadi peneliti-peneliti yang baik. Jadi bukan manusianya, melainkan lingkungan (environment) Indonesia yang kurang mendukung penelitian. Ini yang harus kita ubah. Kita budayakan sifat meneliti.

Di ITB penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu penelitian yang bersifat teoritis dan penelitian yang lebih bersifat aplikatif. Penelitian yang bersifat teoritis dimotori oleh Fakultas, Departemen, dan lab-lab yang berada di dalamnya. Sementara itu, penelitian yang bersifat aplikatif dimotori oleh LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) beserta Kelompok Penelitian dan Pengembangan (KPP) yang berada di dalamnya. Diharapkan sinergi dari dua motor ini dapat menghasilkan penelitian dan pengembangan yang bermanfaat bagi Indonesia.

Tantangan Ke Depan

Banyak bidang “baru” yang diperkirakan akan menjadi primadona dalam menghasilkan prosperity, yaitu antara lain Bioteknologi, dan Nanoteknologi. Nah, siapkah kita menjadi salah satu pionir di bidang itu dengan inovasi-inovasi yang dapat menyelamatkan Indonesia? Akan adakah peneliti-peneliti tangguh dari Indonesia?




[1] Bidang telekomunikasi dan informasi bukan satu-satunya bidang yang memiliki teknologi. Pilihan bidang ini saya ambil contoh karena itu yang saya kenal. Selain itu saat ini sedang ramai-ramainya orang melirik bidang teknologi informasi.
[2] Saat ini sedang ada penelitian dan pengembangan Telepon Rakyat yang merupakan salah satu hasil dari Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Teknologi Informasi dan Mikroelektronika yang didanai oleh Kementrian Riset dan Teknologi. Informasi mengenai ini dapat diperoleh dari http://rusnas.paume.itb.ac.id.
[3] Istilah “engines of prosperity” ini saya ambil dari judul buku Gerardo R. Ungson & John D. Trudel, “Engines of Prosperity: Templates for the Information Age,” Imperial College Press, 1998.
[4] Chong-Moon Lee (eds.), "The Silicon Valley Edge: a habitat for innovation and entrepreneurship," Stanford University Press, 2000
[5] Jika kita ingin menterjemahkan “riset” sebagai seorang purist, maka riset seharusnya difokuskan kepada hal yang sifatnya teoritis atau penelitian murni atau sains. Namun seringkali kita menggunakan kata riset untuk hal-hal yang lebih umum, termasuk di dalamnya adalah istilah applied research. Sebetulnya selain research ada development (pengembangan) dan engineering (enjiniring?). Sains terkait dengan riset, sementara teknologi lebih ke arah pengembangan. Di dalam tulisan ini saya akan menggunakan kata riset sebagai gabungan dari research, development, and engineering.
[6] Dari materi presentasi Budi Rahardjo, “Perubahan Orientasi Penelitian Perguruan Tinggi,” workshop Penulisan Proposal Penelitian, Artikel Ilmiah, dan Dokumen Paten yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Program Diploma, Politeknik Ciwaruga Bandung, 15 September 2003.
[7] Situs web IEEE adalah http://www.ieee.org



Tidak ada komentar:

Posting Komentar