Oleh Sulaiman Djaya, esais dan penyair (Sumber: Radar Banten,
23 Januari 2015)
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya” (al Qur’an Surah Adz-Dzaariyat, 51: 47). “Jika relativitas umum
benar, model apa pun yang masuk akal tentang jagat raya harus dimulai dengan
singularitas –jagat raya mempunyai awal” (Stephen
Hawking dan Roger
Penrose). “Jagat raya memuai” (Edwin
Hubble).
Barangkali pernah terbersit dalam pikiran kita
tentang bagaimana alam semesta diciptakan? Atau katakanlah bagaimana mula jagat
raya? Adakah ia ada dengan sendirinya atau “dicipta” oleh Sang Pencipta? Dan
kita tahu juga, belakangan ini, banyak spekulasi dan teori atas pertanyaan ini.
Namun, terlepas dari semua jawaban yang akan keluar, mungkin tak ada salahnya
bila sekarang kita akan melakukan perjalanan sejenak ke masa lampau dengan
mesin waktu fiktif kita, karena dengan kita sedikit berpikir tersebut, tentu
akan pula menambah cara pandang kita kepada dunia.
Dan memang banyak sekali ilmuwan dan filsuf
yang ingin menjelaskan bagaimana alam semesta itu berasal –dari dulu, dari
sejak era Yunani, jaman keemasan Islam, hingga saat ini, pun masih terus
berlanjut. Dalam hal ini, seorang filsuf Jerman, Immanuel Kant, menjelaskan
bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap kemungkinan apapun, meskipun
mustahil, harus dianggap mungkin. Sebenarnya ini bukanlah pandangan baru.
Pemikiran ini pernah dicetuskan oleh Democritus dan memang diterima luas pada
waktu itu. Kant pernah berkata: “Ada alasan yang sama sahihnya untuk percaya
bahwa jagat raya mempunyai awal dan untuk percaya bahwa jagat raya tidak
mempunyai awal”.
Akan tetapi, puluhan tahun silam, tepatnya
pada tahun 1922, seorang fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dalam
perhitungannya menghasilkan sebuah temuan mengejutkan. Dia menyimpulkan bahwa
alam semesta tidaklah statis –yang artinya sebuah impuls kecil sudah mampu
untuk membuat alam semesta ini mengerut ataupun mengembang.
Persis, berdasarkan hasil penghitungan
Friedman tersebut, George Lemaitre seorang ahli astronomi Belgia menyangkal apa
yang dikatakan Immanuel Kant yang menyatakan alam semesta ini statis. Lemaitre,
dengan berani menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan bahwa ia
mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga
menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan sebagai
ukuran akibat (aftermath) dari “sesuatu” itu.
Sementara itu, alias selanjutnya, di tahun
1929, seorang ilmuwan bernama Edwin Hubble di Observatorium Mount Wilson
California membuat penemuan astronomi yang menjadi bukti dari pernyataan
Friedman dan Lemaitre di atas. Ia menemukan dalam pengamatannya bahwa bintang –
bintang cenderung ke arah spektrum merah. Dalam Fisika kita tahu bahwa spektrum
berkas cahaya yang menjauhi bumi cenderung ke arah merah. Ini menimbulkan
kesimpulan bahwa bintang – bintang ini menjauhi bumi. Bukan hanya itu saja,
karena Hubble juga menemukan bahwa bintang – bintang itu ternyata saling
menjauh satu dengan lainnya. Jadi kesimpulan dari penemuan yang diperoleh
Hubble adalah bahwa alam semesta ini tidaklah statis tapi mengembang seiring
dengan waktu.
Singkatnya, dalam hal demikian, Albert
Einstein, Roger Penrose dan yang sejalan dengan temuan-temuan ilmiah mereka,
merupakan para ilmuwan yang dapat dikatakan memiliki “pandangan” bahwa jagat
raya memiliki awal alias diciptakan –dari tiada menjadi ada, meski kita tidak
tahu “kapan” mulanya. Dan soal ini masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Hanya saja, dalam tulisan singkat ini,
pertanyaannya adalah: apa hubungan mengembangnya alam semesta dengan awal jagad
raya? Jawabannya tak lain adalah jika alam semesta semakin besar sejalan dengan
waktu, maka bila kita mundurkan waktu kita akan mendapati alam semesta akan
mengerut, terus mengerut sampai suatu titik tertentu. Titik ini berkerapatan
tak hingga dan volume nol. Titik ini memiliki gaya gravitasi yang tak hingga
besarnya. Titik nol ini sama dengan “tidak ada” karena sains memang tidak
mengenal materi yang bervolume nol. Dan inilah teka-tekinya.
Untuk sementara ini, kesimpulannya adalah
bahwa alam semesta kita muncul dari hasil ledakan massa dan gaya gravitasi yang
tak hingga yang mempunyai volume nol ini. Ledakan ini bernama “Big Bang” atau
Ledakan Besar alias Dentuman Akbar. Sedangkan sebuah fakta lain yang kita
temukan di sini adalah bahwa ternyata alam semesta ini memiliki awal dan
mengembang seiring dengan waktu. Dulu, Einstein memang pernah melakukan
kesalahan besar dalam hidupnya dengan mempertahankan teori keadaan tetap,
sebelum ia merevisi pandangannya setelah berkenalan dengan al Qur’an dan Islam.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana dengan waktu? Tentu waktu itu tidak ada bila materi tidak ada.
Menurut teori relativitas, ruang-waktu adalah dinamis, dan bergantung pada
distribusi materi dan energi, di mana dalam hal ini ruang-waktu adalah
relasional, bukan absolut. Artinya, secara singkat, jika semua materi
dihilangkan, tidak ada yang tersisa – tidak ada ruang-waktu jika tidak ada
materi. Ruang-waktu tidaklah eksis dengan sendirinya, tapi ruang-waktu adalah
network (jaringan) dari hubungan dan perubahan.
Sedangkan soal keluasan semesta itu sendiri,
saya teringat pernyataan Stephen Hawking: “Jagat raya tidak mempunyai tapal
batas”. Nah, tepat dari sinilah kita bisa merenung tentang kebenaran bahwa alam
semesta ini memang diciptakan. Siapakah yang menciptakan alam semesta ini? Saya
pribadi, sebagai muslim, mempercayai apa yang dinyatakan dalam al-Qur’an dalam
soal siapa penciptanya ini. Salam dan terimakasih karena telah membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar