Label

Jumat, 03 Juli 2015

Hadits dan Politik



Sebagaimana kita tahu (jika kita meneliti tarikh Islam), dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa.

Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya, telah terjadi polemik intelektual antara al Syafi’i dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.

Dalam hal ini, diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Sunni tersebut, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al Qadiriyyah.

Istilah ini (Ahl al Sunnah wa al Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H (718 M) dan mencapai puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M).

Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada masa al-Ma’mun. Sementara itu, pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah ahlul hadits. Paham ini didukung negara sehingga hadits-hadits Sunni menjadi mudah di-intervensi dengan penambahan-penambahan yang dilakukan para ulama pelayan keainginan selera penguasa kerajaan.

Ironisnya, ahlul hadits hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadits-hadits yang ada tidak ada jaminan 100% akurat dari Nabi SAW.

Namun, karena fanatisme mazhab, orang-orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadits agar mazhab-nya tetap tegak. Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan: “Kenapa Syi’ah (12 Imam) hanya mau menerima sebagian hadits-hadits Sunni? Jawabnya tak lain karena:

Pertama, hadits Sunni terkadang satu sama lain saling bertentangan, padahal masih dalam satu kitab hadits yang sama.

Kedua, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan makna, bukan dengan lafaz.

Ketiga, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan daya ingat perawi, jadi kata perkata-nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW.

Keempat, tidak ada jaminan hadits-hadits Sunni tidak mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab-kitab selain Al-Qur’an pasti ada benar dan ada salahnya tanpa kecuali, namun ironisnya Shahih Bukhari-Muslim diklaim benar semua oleh Sunni (meski banyak hadits yang palsu di dalam kedua kitab tersebut), sedangkan Syi’ah lebih selektif dan rasional dalam memandang Bukhari-Muslim. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar