Sebagaimana kita tahu
(jika kita meneliti tarikh Islam), dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni
ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya
ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari
penguasa.
Dalam masa formal ideologi
Sunni tersebut, misalnya, telah terjadi polemik intelektual antara al Syafi’i
dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu’tazilah, dan perebutan mencari pengaruh
politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.
Dalam
hal ini, diperlukan waktu hampir beberapa abad untuk sampai pada proses
terbentuknya pemikiran politik Sunni tersebut, terhitung sejak mulai
diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi’in sampai pada
pengukuhannya dalam Risalah al Qadiriyyah.
Istilah ini (Ahl al Sunnah
wa al Jama’ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy’ariyah dan Maturidiah
yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu’tazilah yang pertama kali
disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H (718 M) dan mencapai puncaknya
pada masa khalifah ‘Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim
(833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M).
Pengaruh ini semakin kuat
ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai mazhab resmi yang dianut negara pada
masa al-Ma’mun. Sementara itu, pada masa khalifah Mutawakkil negara berakidah
ahlul hadits. Paham ini didukung negara sehingga hadits-hadits Sunni menjadi
mudah di-intervensi dengan penambahan-penambahan yang dilakukan para ulama
pelayan keainginan selera penguasa kerajaan.
Ironisnya, ahlul hadits
hanya memakai hadis tanpa rasio, padahal hadits-hadits yang ada tidak ada
jaminan 100% akurat dari Nabi SAW.
Namun, karena fanatisme
mazhab, orang-orang pada masa tersebut mengarang-ngarang hadits agar mazhab-nya
tetap tegak. Di sinilah muncul pertanyaan lanjutan: “Kenapa Syi’ah (12 Imam)
hanya mau menerima sebagian hadits-hadits Sunni? Jawabnya tak lain karena:
Pertama, hadits Sunni terkadang satu sama lain saling
bertentangan, padahal masih dalam satu kitab hadits yang sama.
Kedua, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan makna, bukan
dengan lafaz.
Ketiga, hadits-hadits Sunni diriwayatkan dengan daya ingat
perawi, jadi kata perkata-nya belum tentu 100% asli dari Nabi SAW.
Keempat, tidak ada jaminan hadits-hadits Sunni tidak
mengalami perubahan dan pemalsuan, kitab-kitab selain Al-Qur’an pasti ada benar
dan ada salahnya tanpa kecuali, namun ironisnya Shahih Bukhari-Muslim diklaim
benar semua oleh Sunni (meski banyak hadits yang palsu di dalam kedua kitab
tersebut), sedangkan Syi’ah lebih selektif dan rasional dalam memandang
Bukhari-Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar