Menjelang
tahun 2000 silam, ideologi liberalisme sempat mendapatkan angin segar lewat
sejumlah karya sastra, utamanya prosa yang ditulis para penulis perempuan
liberal, dan sempat memuncaki perbincangan dalam polemik sastra Indonesia.
Masa
itu adalah suatu masa ketika prosa yang ditulis para penulis perempuan tak
segan-segan menarasikan seksualitas secara verbal dan blak-blakkan, yang memang
tak jauh berbeda dengan pornografi, bila pengertian pornografi adalah upaya
sadar untuk mengeksplorasi dan menggambarkan tubuh dan seksualitas ke dalam
media tulisan, utamanya media sastra, sebagaimana hal demikian pernah dilakukan
Marquis de Sade.
Dengan
upaya-upaya seperti itu, barangkali, seks malah akan kehilangan unsur erotiknya
yang enigmatik dan sekedar menjadi reifikasi tubuh dan seksualitas itu sendiri,
ketika seksualitas secara sengaja dipisahkan dari unsur sakralnya. Dalam hal
ini, misalnya, pornografi dikatakan ketika seksualitas itu sendiri telah
dikomodifikasikan, persis yang dilakukan para penulis perempuan liberal.
Barangkali,
sastra (yang dalam hal ini sejumlah prosa yang ditulis para penulis perempuan
liberal Indonesia), yang menarasikan dan menggambarkan seksualitas secara
verbal tak ubahnya etalase yang memajang tubuh-tubuh dan diri para perempuan
pekerja seks komersil di kawasan khusus yang disediakan untuk menjual komoditas
seks itu sendiri bagi mereka yang ingin membelinya.
Di
sana, seks memang telah menjadi komoditas yang diperdagangkan alias
diperjual-belikan kepada mereka yang ingin membelinya.
Dengan
kata lain, ada hukum pasar kapitalisme dan ideologi liberal yang menggerakkan
dan memungkinkan prosa-prosa yang menarasikan dan mengeksploitasi seksualitas
secara vulgar tersebut ditulis dan dirayakan, yang kebetulan pula para penulisnya
adalah para penulis perempuan yang menjadikan ideologi dan khazanah intelektual
liberal sebagai pandangan hidup, basis teoritik, dan fondasi etik mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar