Kepada Imam Musa al Kazhim
(as), yang kala itu Imam Musa al Kazhim (as) berusia 5 tahun, Abu Hanifah
mengajukan sebuah pertanyaan yang telah membuat Abu Hanifah merasa kebingungan:
“Apakah
seluruh perbuatan manusia terlaksana dari kebebasannya atau berada dalam
kendali Tuhan dan membuatnya melakukan hal itu (terpaksa)?”
Imam Musa al Kazhim (as)
menjawab bahwa ada tiga kemungkinan di balik pertanyaan Abu Hanifah itu: [1] Allah Swt memaksanya untuk
melakukan sebuah perbuatan. [2]
Antara Allah Swt dan manusia bertanggung jawab atas perbuatan itu. [3] Manusia melakukannya sendiri, dalam
rangkuman kebebasannya. Imam Musa al Kazhim as menjelaskan:
Apabila kemungkinan atau
anggapan pertama benar maka manusia tidak seyogyanya diadili pada Hari Hisab
dan dikirim ke surga atau neraka, lantaran ia tidak pantas mendapatkan hal itu.
Manusia tidak bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Anggapan ini
tidaklah demikian adanya. Apabila kemungkinan dan anggapan kedua benar bahwa
antara Allah Swt dan manusia keduanya harus diadili pada Hari Hisab. Anggapan
ini juga tentu saja tidak masuk akal.
Kemudian, tersisa
kemungkinan dan anggapan yang ketiga dan menjadi anggapan satu-satunya yang
tersisa. Anggapan yang benar adalah anggapan yang ketiga, lantaran manusia
telah diberikan kebebasan setelah menerima bimbingan dan tuntunan tentang apa
yang baik dan apa yang buruk.
Abu Hanifah berujar bahwa
alangkah luar biasanya rumah tangga seperti ini. Bahkan bocah kecil sekalipun
dapat menjawab dan memberikan kepuasan atas kumpulan beberapa pertanyaan! Ia
berkata bahwa tidak perlu lagi ia bersua dengan Imam Keenam, Imam Ja’far Sadiq
as, dan ia kembali ke rumahnya setelah mendapatkan jawaban dari Imam Musa al
Kazhim as.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar