Label

Sabtu, 04 Juli 2015

Fitnah Media Jerman Terhadap Perempuan Penulis Indonesia


Oleh Linda Christanty (penulis prosa, esais dan jurnalis)

Teman-teman yang tercinta, fitnah kembali dilancarkan media Jerman terhadap sejumlah penulis kita. Setelah perbuatan DW seksi Bahasa Indonesia yang mengutip DPA beberapa waktu lalu, kali ini perbuatan serupa dilakukan oleh www.deutschlandradiokultur.de pada 1 Juli 2015 dengan memuat artikel yang ditulis Von Holger Heimann. Dalam artikelnya, Heimann menulis dengan menyimpulkan pendapat Ayu Utami bahwa 50 tahun lalu Indonesia menjadi kuburan massal.

Artinya, kita semua tinggal di atas kuburan massal. Ini tidak benar. Kuburan massal memang ada, tapi Indonesia tidak pernah menjadi kuburan massal!

Lebih jauh lagi, artikel ini menyebutkan Ayu adalah perempuan penulis yang telah berani membuka peristiwa masa lalu tersebut dan kemudian keberaniannya ditiru dua perempuan penulis lain, yakni Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak.

Itu juga tidak benar.

Mereka yang membuka sejarah masa lalu sama sekali bukan tiga penulis ini, tapi inidividu, para aktivis, organisasi, komunitas, dan bahkan anak-anak muda yang bekerja untuk mengungkap kebenaran yang terkait peristiwa 1965 dari masa Suharto hingga sekarang, dengan segala risikonya dan tanpa kenal lelah. Upaya-upaya mereka yang saya sebutkan terakhir ini tidak dipicu oleh karya fiksi atau film fiksi apa pun, melainkan karena keingintahuan mereka untuk menemukan kebenaran dalam sejarah kita. Mereka melakukannya tidak hanya untuk peristiwa 1965, tetapi juga untuk berbagai peristiwa politik yang terjadi di masa Suharto dan di masa sesudahnya demi mengupayakan keadilan.

Di dunia penulisan fiksi di Indonesia, tiga perempuan penulis yang disebutkan media Jerman itu juga bukan penulis yang pertama kali mengungkap peristiwa 1965. Umar Khayam menerbitkan “Sri Sumarah” dan “Bawuk” pada 1975. Cerita-ceritanya mengisahkan dengan baik seputar peristiwa itu dan perpecahan dalam keluarga akibat pilihan ideologi yang berbeda. Ajip Rosidi menulis novel “Anak Tanah Air” (1985), yang berhasil menghidupkan kembali situasi perseteruan politik antara seniman Lekra dan Manikebu di daerah. Noorca M. Massardi menulis novel “September”, dengan perspektifnya yang kritis dan menggugat militer. Ahmad Tohari menulis dua novel tentang 1965 dengan tentara sebagai pahlawannya. Mira W menulis novel berlatar peristiwa ini dalam karyanya yang dikategorikan ‘novel pop’. Ngarto Februana menulis novel “Tapol” pada 2002. Tinuk Yampolsky menerbitkan novel “Candik Ala 1965” pada 2011. Di tahun yang sama, Bre Redana menerbitkan dua novel tentang 1965, yakni “Blues Merbabu” dan “65”. Belum lagi buku-buku fiksi yang diterbitkan secara independen oleh penyintas atau keluarga penyintas.

Dari tataran non-fiksi, Pramoedya Ananta Toer meluncurkan memoar “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” pada 1995, yang langsung dilarang Kejaksaan Agung tahun itu juga. Saya ikut menghadiri acara peluncuran buku Pram tersebut di rumahnya di Jakarta. Memoar Pram ini sangat bagus dan menjadi buku pertama yang membuat kami dari generasi Orde Baru pertama kali mengetahui detail dari sisi korban atau dari sisi bukan pemenang tentang bagaimana perlakuan rezim Orde Baru terhadap kaum intelektual dan para seniman yang dibuang ke Pulau Buru.

Dengan perspektif yang beragam, banyak penulis Indonesia sudah mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya mereka, baik sebagai pembahasan utama ataupun latar. Tepatnya, penulis Indonesia, laki-laki maupun perempuan, mengetengahkan peristiwa ini dalam karya-karya mereka sejak masa Suharto berkuasa sampai sekarang.

Dalam konteks Salihara dan jaringannya, kebanyakan yang menggarap novel bertema 1965 memang perempuan-perempuan penulis. Tapi dalam konteks dunia sastra Indonesia, kebanyakan penulis yang mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya-karya mereka justru para laki-laki penulis. Ini jika kita berbicara tentang jenis kelamin.

Saya pikir, media Jerman ini membuat kesimpulan yang keliru, karena menganggap Salihara adalah Indonesia.

Artikel yang ditulis Von Holger Heimann juga menyebutkan bahwa kebanyakan penulis penting (Indonesia) adalah perempuan. Ini juga kesimpulan yang tidak benar.

Teman-teman, sudah saatnya kita bersolidaritas terhadap para perempuan penulis yang telah difitnah media Jerman ini. Saya berharap Komite Media dan Hubungan Luar meluruskan fitnah yang disiarkan oleh media Jerman di Jerman. Terima kasih. Salam solidaritas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar