Oleh Linda Christanty (penulis prosa, esais dan jurnalis)
Teman-teman yang tercinta,
fitnah kembali dilancarkan media Jerman terhadap sejumlah penulis kita. Setelah
perbuatan DW seksi Bahasa Indonesia yang mengutip DPA beberapa waktu lalu, kali
ini perbuatan serupa dilakukan oleh www.deutschlandradiokultur.de
pada 1 Juli 2015 dengan memuat artikel yang ditulis Von Holger Heimann. Dalam
artikelnya, Heimann menulis dengan menyimpulkan pendapat Ayu Utami bahwa 50
tahun lalu Indonesia menjadi kuburan massal.
Artinya, kita semua
tinggal di atas kuburan massal. Ini tidak benar. Kuburan massal memang ada,
tapi Indonesia tidak pernah menjadi kuburan massal!
Lebih jauh lagi, artikel
ini menyebutkan Ayu adalah perempuan penulis yang telah berani membuka
peristiwa masa lalu tersebut dan kemudian keberaniannya ditiru dua perempuan
penulis lain, yakni Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak.
Itu juga tidak benar.
Mereka yang membuka
sejarah masa lalu sama sekali bukan tiga penulis ini, tapi inidividu, para
aktivis, organisasi, komunitas, dan bahkan anak-anak muda yang bekerja untuk
mengungkap kebenaran yang terkait peristiwa 1965 dari masa Suharto hingga
sekarang, dengan segala risikonya dan tanpa kenal lelah. Upaya-upaya mereka
yang saya sebutkan terakhir ini tidak dipicu oleh karya fiksi atau film fiksi
apa pun, melainkan karena keingintahuan mereka untuk menemukan kebenaran dalam
sejarah kita. Mereka melakukannya tidak hanya untuk peristiwa 1965, tetapi juga
untuk berbagai peristiwa politik yang terjadi di masa Suharto dan di masa
sesudahnya demi mengupayakan keadilan.
Di dunia penulisan fiksi
di Indonesia, tiga perempuan penulis yang disebutkan media Jerman itu juga
bukan penulis yang pertama kali mengungkap peristiwa 1965. Umar Khayam
menerbitkan “Sri Sumarah” dan “Bawuk” pada 1975. Cerita-ceritanya mengisahkan
dengan baik seputar peristiwa itu dan perpecahan dalam keluarga akibat pilihan
ideologi yang berbeda. Ajip Rosidi menulis novel “Anak Tanah Air” (1985), yang
berhasil menghidupkan kembali situasi perseteruan politik antara seniman Lekra
dan Manikebu di daerah. Noorca M. Massardi menulis novel “September”, dengan
perspektifnya yang kritis dan menggugat militer. Ahmad Tohari menulis dua novel
tentang 1965 dengan tentara sebagai pahlawannya. Mira W menulis novel berlatar
peristiwa ini dalam karyanya yang dikategorikan ‘novel pop’. Ngarto Februana
menulis novel “Tapol” pada 2002. Tinuk Yampolsky menerbitkan novel “Candik Ala
1965” pada 2011. Di tahun yang sama, Bre Redana menerbitkan dua novel tentang
1965, yakni “Blues Merbabu” dan “65”. Belum lagi buku-buku fiksi yang
diterbitkan secara independen oleh penyintas atau keluarga penyintas.
Dari tataran non-fiksi,
Pramoedya Ananta Toer meluncurkan memoar “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” pada 1995,
yang langsung dilarang Kejaksaan Agung tahun itu juga. Saya ikut menghadiri
acara peluncuran buku Pram tersebut di rumahnya di Jakarta. Memoar Pram ini
sangat bagus dan menjadi buku pertama yang membuat kami dari generasi Orde Baru
pertama kali mengetahui detail dari sisi korban atau dari sisi bukan pemenang
tentang bagaimana perlakuan rezim Orde Baru terhadap kaum intelektual dan para
seniman yang dibuang ke Pulau Buru.
Dengan perspektif yang
beragam, banyak penulis Indonesia sudah mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya
mereka, baik sebagai pembahasan utama ataupun latar. Tepatnya, penulis
Indonesia, laki-laki maupun perempuan, mengetengahkan peristiwa ini dalam
karya-karya mereka sejak masa Suharto berkuasa sampai sekarang.
Dalam konteks Salihara dan
jaringannya, kebanyakan yang menggarap novel bertema 1965 memang
perempuan-perempuan penulis. Tapi dalam konteks dunia sastra Indonesia,
kebanyakan penulis yang mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya-karya mereka
justru para laki-laki penulis. Ini jika kita berbicara tentang jenis kelamin.
Saya pikir, media Jerman
ini membuat kesimpulan yang keliru, karena menganggap Salihara adalah
Indonesia.
Artikel yang ditulis Von
Holger Heimann juga menyebutkan bahwa kebanyakan penulis penting (Indonesia)
adalah perempuan. Ini juga kesimpulan yang tidak benar.
Teman-teman, sudah saatnya
kita bersolidaritas terhadap para perempuan penulis yang telah difitnah media
Jerman ini. Saya berharap Komite Media dan Hubungan Luar meluruskan fitnah yang
disiarkan oleh media Jerman di Jerman. Terima kasih. Salam solidaritas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar