Oleh Budi
Sabarudin
Sejak tahun
2000-an, setidak-tidaknya iklim kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa
lebih bergairah dibanding era sebelumnya, terutama dalam dunia kepenyairan.
Saat ini sudah muncul nama-nama penyair muda yang telah menyumbangkan warna dan
suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten.
Sulaiman Djaya,
penyair dan budayawan di Banten mengatakan penyair-penyair muda itu di
antaranya Irwan Sofwan, Halimah Tusya Diah, Wulan Widari Endah, Wahyu Arya
Wiyata, Rozi Kembara dan Sumala Djaya. “Nama-nama yang telah saya sebutkan itu
sudah mempublikasikan karya-karyanya di media-media yang ada di Banten,
Jakarta, Bandung dan beberapa daerah lainnya. Mereka telah menyumbangkan warna
dan suara tersendiri dalam dunia kepenulisan dan kepenyairan di Banten,”
ungkapnya.
Salah satunya
Rozi kembara dan Wahyu Arya Wiyata yang telah mempublikasikan puisi-puisi
mereka di Majalah Sastra Horison, sedangkan Irwan Sofwan telah menyiarkan puisi-puisinya
di Harian Pikiran Rakyat. Sementara itu Sumala Djaya mempublikasi beberapa
cerita pendeknya di Majalah Hai, selain tentu saja nama-nama yang telah saya
sebutkan itu juga mempublikasi karya-karya mereka di Harian yang terbit di
Banten semisal Kabar Banten (dulu Fajar Banten) dan Radar Banten, dua Harian di
Banten yang setahu saya masih mempertahankan rubrik sastra dan budayanya.
Diakuinya,
secara tradisi, gairah dan geliat kepenulisan dan kesusastraan tak bisa
dilepaskan dari keberadaan komunitas-komunitas yang menjaga dan memelihara
semangat dan kerja-kerja kepenulisan dan kesusastraan di Banten. Sebutlah Kubah
Budaya, Rumah Dunia, dan belakangan juga teman-teman yang menerbitkan berkala
Tabloid CIKAL yang menampung karya-karya kreativitas anak sekolah, mulai dari
Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Juga, gairah dan geliat tersebut tak
lepas dari peran-peran individu yang memiliki komitmen pada dunia kepenulisan
dan kesusastraan di Banten. Di sini kita bisa menyebut nama-nama semisal Moh. Wan
Anwar (Alm.), Toto ST. Radik, Arip Senjaya, Gol A Gong dan sederet nama lain.
Kesalingterkaitan
antara tradisi yang ingin diciptakan komunitas dan kreativitas individual tak
bisa dinafikan. Bahwa benar kreativitas individual kadangkala tak meniscayakan
keberadaan komunitas secara mutlak, tetapi bagaimana pun sebuah institusi akan
lebih menambah point tersendiri sebagai keberlangsungan kerja-kerja kepenulisan
dan kesusastraan. Begitu pula, kerja-kerja dan kreativitas kepenulisan dan
kesusastraan yang disokong dan diimbangi dengan spirit intelektualisme dan
spirit membaca akan menyumbang pada kekuatan dan kualitas kerja-kerja
kepenulisan. Kita tak bisa menafikan bahwa kemajuan dan perkembangan sebuah
kebudayaan akan sangat terkait dengan diskusi dan kekayaan wawasan.
“Untuk kasus
Banten, geliat dan gairah kepenulisandan kesusastraan yang telah saya maksudkan
itu meluas juga hingga ke kampus-kampus yang ada di Banten, semisal Universital
Sultan Ageng Tirtayasa dan Institut Agama Islam Negeri Banten, sekedar
mencontohkan dua nama saja,” katanya.
Meski demiian
lanjut dia, tentulah masih terlampau dini bagi kita untuk bergembira. Terlebih
di beberapa segi, gairah kepenulisan dan kesusastraan di Banten terasa masih
bersifat artifisial semata, untuk tidak menyebut belum matang dan dewasa. Hal
ini tentu saja berbeda dengan iklim yang hidup di Jakarta, Bandung, Jogjakarta,
dan mungkin daerah lain yang lebih aktif dan beragam. Bahkan kita mungkin mesti
berendah hati dan mengakui bahwa kehidupan kebudayaan dan kesenian di Banten
dalam beberapa hal memang masih awam. Begitu pula, belum saatnya para penulis
atau para penyair yang datang dari generasi lebih muda mestilah masih harus
membuktikan dedikasi dan kekuatan karya-karya mereka di tahun-tahun mendatang,
bukan malah langsung berpuas diri.
Ketika ditanya
tentang kritik seni, Sulaiman Djaya mengatakan aktivitas kehidupan dunia
kepenulisan dan kesusastraan meniscayakan juga keberlangsungan kritik dan
diskusi, yang dengan itu sebuah kehidupan kepenulisan dan kebudayaan senantiasa
mau mengoreksi diri secara simultan dalam rangka membangun dan memajukan gairah
dan kerja-kerja kebudayaan itu sendiri.” Tanpa kritik dan diskusi, seringkali
kita malah lupa diri, tak mampu melihat kekurangan dan kelemahan kita sebagai insan-insan
kesenian. Selain itu, gairah untuk membaca dan menggali wawasan sebanyak
mungkin tentu akan memperpanjang dan menambah usia serta kekuatan nyawa
kreativitas dalam dunia kepenulisan.”
Dia menegaskan,
keberlangsungan gairah dan kerja-kerja dalam dunia kepenulisan dan kesusastraan
hanya bisa diukur dan tercermin lewat dan dari produktivitas dan kualitas
karya-karya yang lahir dari rahim keresahan dan kegelisahannya. Demikian pula,
keberadaan forum-forum selebrasi mestilah lebih dipahami sebagai wadah
apresiasi, dimana yang akan menjadi pembaca sebenarnya adalah mereka yang
membeli karya-karya kita, hingga mampu menghadirkan dan mengkomunikasikannya
secara representatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik pembaca.*** (Sumber: Kabar
Banten 03 Januari 2011)
Budi Sabarudin,
Penulis dan jurnalis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar