Oleh
Syaikh
Muhammad Jawad Mughniyah
Imam
Shadiq berkata, “Allah mewajibkan wudu dengan air yang bersih.” Beliau ditanya
tentang seorang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya) ketika berwudu, lalu
tetasan darahnya jatuh ke dalam bejananya. Apakah boleh berwudu dari air bejana
tersebut? Beliau menjawab, “Tidak.”
Di
depan telah disebutkan bahwa Imam menyuruh membuang seluruh air yang terdapat
pada kedua bejana dimana salah satu diantaranya kejatuhan najis tapi tidak diketahui
yang mana, dan wajib tayamum.
Air
yang digunakan untuk berwudu harus merupakan air muthlaq dan suci.
Jika Anda berwudu dengan air yang hanya memenuhi salah satu dari kedua unsur
tersebut karena tidak tau atau lupa, wudu Anda batal.
Air
itu juga harus halal, bukan hasil ghashab,* karena mempergunakan hasil
ghashab dilarang dalam agama, dan larangan dalam ibadah menunjukkan
ketidaksahihan. Tapi, jika seseorang berwudu dengan air ghashab karena
tidak tahu atau lupa, maka wudunya sah. Yang membedakan antara ghashab
di satu pihak dan ke-muthlaq-an serta najis di pihak lain adalah
ijmak.
Anggota-anggota
wudu juga harus suci, supaya air tidak menjadi najis karena terkena najis yang
ada pada anggota tersebut.
Juga
disyaratkan bahwa air tersebut tidak berada di dalam bajana yang terbuat dari
emas atau perak, bukan yang bekas dipakai untuk mengangkat khubts, dan
bukan yang dilarang penggunaannya oleh agama, karena membahayakan atau karena
wajib digunakan untuk kepentingan yang lebih utama, yang akan dibicarakan
secara terperinci nanti pada bab Tayamum.
Untuk
sahnya wudu, disyaratkan juga adanya waktu yang cukup untuk wudu dan salat,
dalam arti bahwa setelah berwudu, yang bersangkutan masih mungkin menunaikan
salat yang dimaksud pada waktunya yang telah ditentukan. Sedangkan jika
waktunya sempit, dimana jika ia berwudu maka keseluruhan salatnya atau
sebagiannya akan berada diluar waktu yang telah ditentukan, sementara jika ia
tayamum maka keseluruhan salatnya dapat ia lakukan didalam waktu yang telah
ditentukan, maka dalam hal ini ia wajib tayamum. Dan jika ia berwudu juga,
batallah wudunya.
Syarat
lain ialah bahwa orang yang berwudu harus melaksanakan sendiri wudunya dan
tidak boleh minta tolong pada orang lain, kecuali dalam keadaan tak mampu dan
darurat. Karena, ayat-ayat dan hadis-hadis tentang wudu memerintahkan mencuci
muka dan tangan serta menyapu kepala dan kaki. Suatu perintah menunjukkan
kewajiban melaksanakannya secara langsung dan tanpa perantara.
Diwajibkan
juga adanya urutan diantara anggota-anggota wudu; pertama-tama dimulai dengan
cuci muka, kemudkan tangan kanan, tangan kiri, menyapu kepala, dan kedua kaki.
Jika ia mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang pertama karena
ketidaktahuan atau lupa, ia harus mengulangi wudu dari awal sesuai dengan ketetapan
syariat.
Wajib
juga bersifat segera, yaitu segera setelah mengerjakan anggota berikutnya
sesudah suatu anggota selesai, tanpa ada tenggah waktu. Kesegeraan ini, di
kalangan para ahli fiqih, dikenal dengan sebutan muwalat. Mereka
mengatakan bahwa dalam muwalat disyaratkan tiap-tiap anggota wudu tak
boleh kering sebelum semuanya selesai. Maka, jika muka telah kering sebelum
membasuh tangan kanan, atau tangan kanan telah kering sebelum membasuh kepala,
atau kepala yang diusap telah kering sebelum mengusap kedua kaki, wudu tersebut
batal.
Perlu
disebutkan disini bahwa kering yang membatalkan wudu adalah kering yang
ditimbulkan oleh selang waktu yang panjang antara satu anggota dengan anggota
lainnya. Jika kering itu disebabkan oleh panas di badan atau oleh udara dan
sebagainya, maka tidak apa-apa. Syarat-syarat yang kami sebutkan di atas
didasarkan pada riwayat-riwayat dari Ahlulbait yang diperkuat dengan ijmak
fukaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar