Oleh Otty Widasari
Sebuah mesin dari peradaban moderen, berisi manusia-manusia
moderen dari zamannya melintasi jalan berliku membelah perbukitan mencari
lokasi yang sulit dicapai dan tak ada penunjuk arah yang pasti selain
tanda-tanda alam. Lokasi yang dicari itu amat jauh. Perubahan warna matahari
menggambarkannya, di lahan luas berwarna emas. Simpul komunikasi pun
ditunjukkan dalam filem besutan Abbas Kiarostami, The
Wind Will Carry Us.
Syahdan, sebuah perjalanan pencarian spiritual
dilakukan Behzad dan kru yang akan memfilemkan upacara kematian tradisional di
desa suku Kurdi, Shiah Dareh. Perjalanan ini membawa kebudayaan moderen
bersamanya dan hinggap di relung kebudayaan tradisional yang diisi oleh
perempuan, anak-anak dan para lelaki usia senja. Secara fungsional diceritakan
bahwa lelaki Kurdi memiliki karakter sosial perantau dan selalu keluar dari
kampungnya untuk bekerja, sekolah ataupun berjuang untuk kemerdekaan bangsa
Kurdi. Pencarian spiritual ini mengesankan sebuah aksi pencarian harta karun
yang terpendam ribuan tahun karena lokasi yang didatangi adalah merupakan situs
yang tersembunyi dari sejarah peradaban Iran dan merupakan kota purba tempat
asal-usul bangsa Kurdistan yang bahkan disebut sebagai jejak pertama orang Aria
yang dikenal sebagai Iran sekarang ini, dan merupakan perlintasan budaya antara
barat dan timur.
Tersebutlah seorang laki-laki moderen bernama
Behzad Dourani yang membawa seorang perempuan moderen (Forough Farokhzad yang
diwakilkan oleh puisinya), datang ke sebuah tempat untuk menemui seorang
perempuan tradisional berusia lebih dari 100 tahun (sebuah penggambaran usia
yang agung dalam kehidupan manusia karena dia merupakan saksi pergantian sebuah
abad) yang sedang menjelang datangnya ajal. Tersebutlah bahwa upacara kematian
di desa Shiah Dareh memiliki tradisi spesifik dan bagi orang kota bisa dijadikan
objek eksotis untuk difilemkan. Bagaimanapun, penghuni wilayah tradisional
menganggap hal itu suatu kesakralan. Kesakralan itu ada dalam puisi Forough
Farokhzad yang datang ke Shiah Dareh bersama Behzad. Dan si moderen memiliki
kesimpulan yang pragmatis dalam memaknai puisi tentang bayang-bayang kematian
yang dibawanya. Namun jalinan makna dalam puisi tersebut telah membawa si
moderen yang terlebih dahulu membawanya, ke sebuah area yang tidak
diketahuinya.
Persoalan gender merupakan salah satu isu utama
dalam filem ini. Sejak awal Behzad memasuki gerbang desa, dia selalu berpapasan
dengan para perempuan yang selalu menyapanya lebih dahulu. Walaupun digambarkan
dalam wilayah domestiknya, di mana perempuan merupakan penguasa dan bisa
memperjuangkan teritorinya dengan cukup keras, namun melalui adegan di kedai
teh Tadjilod sekaligus juga menggambarkan bahwa peran perempuan sejak dahulu
dan secara turun temurun telah didomestifikasi oleh sistem patriarki.
Harta karun eksotis yang dicari oleh
intelektual dari budaya moderen ini berada di balik jendela berbingkai biru
dengan tirai yang selalu tertutup milik Malek, si nenek sekarat yang dikabarkan
berusia 100 atau 150 tahun (merujuk dari percakapan Behzad dan Farzad, si anak
kecil usia sekolah dasar dan calon intelektual di masa mendatang, yang menjadi
penghubung Behzad dengan desa itu dalam usahanya mencapai tujuan), merupakan
sebuah puisi moderen tentang bayang-bayang kematian.Cerna saja larik puisi
Forough Farokhzad berjudul The Wind Will Carry Us ini: “…Seperti
menanti lahirnya sang hujan, sesaat, setelah itu sunyi…”. Peristiwa
menjelang ajal yang ada di balik jendela biru itulah yang menjadi penantian
panjang dalam filem ini, membuat Behzad jadi berkenalan dan masuk lebih jauh ke
dalam lokasi kebudayaan tradisional dan menyebabkan bergesernya persoalan
keyakinan si orang kota
Terjadinya benturan budaya dalam filem ini
tergambar melalui proses komunikasi dari wilayah moderen yang mengalami
ketersendatan saat dia harus berhadapan dengan proses komunikasi dari wilayah
tradisional. Behzad tidak pernah berhasil melakukan komunikasi dengan baik di
desa itu. Farzad yang seharusnya membantu Behzad selalu melakukan penolakan.
Seperti saat berkali-kali Behzad memintanya membawakan susu, juga mereka
memiliki harapan yang berbeda tentang kondisi kesehatan Malek yang tak lain
adalah nenek Farzad. Behzad harus juga mengalami pantulan komunikasi dalam
melakukan komunikasi tradisional secara langsung. Komunikasi yang dilakukan
Behzad dengan ibu pemilik rumah tempat dia dan kru tinggal dilakukan melalui
pantulan cermin, dan Behzad tidak mengenali wajah induk semangnya itu saat
mereka bertatap muka. Hampir setiap percakapan Behzad dengan orang-orang
tersebut selalu terputus dengan dering selularnya. Behzad pun harus berkali-kali
naik atas bukit (pemakaman) dengan mobilnya demi mendapatkan sinyal untuk dapat
berhubungan dengan atasannya di Teheran. Alat komunikasi moderen itu harus
membuat jalannya sendiri dalam melakukan tindak komunikasinya menuju sebuah
pucuk kematian di desa Shiah Dareh yang bahkan sedang menjelang kedatangan era
globalisasi komunikasi. Dan dalam usahanya membuat alur komunikasi itu si
intelektual moderen harus turun ke dasar piramida komunikasi yang dibuat si
sutradara dalam filem ini, kembali ke mitos-mitos komunikasi yang hidup dalam
tatanan sosial masyarakat tradisional. Alur yang terjadi dalam piramida
komunikasi itu berisi hakikat kemanusiaan yang dilambangkan dengan sepotong
tulang paha manusia dari masa lampau yang diberikan oleh si penggali saluran telekomunikasi
di pemakaman, Yossef, kepada Behzad, dan Behzad meletakkannya di dasbor
mobilnya dan membawanya serta dalam mobilitasnya di desa Shiah Dareh.
Secara perlahan tersirat makna penghancuran
komunikasi tradisional dalam filem ini, di mana ruang-ruang dalam rumah tinggal
Behzad dan kru di desa tersebut telah berubah menjadi ruang-ruang komunikasi
moderen yang semu karena tidak pernah memperlihatkan si komunikan dalam tiap
percakapan. Ini merupakan isu sejarah moderenitas Iran, di mana filem ini dibuat
pada pergantian abad ke-20 menuju abad ke-21 –abad globalisasi teknologi
komunikasi yang bisa jadi memang secara perlahan telah menghancurkan konsep
komunikasi tradisional, dan juga merujuk pada usia Malek, si objek pencarian
behzad yang diperkirakan lahir pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20,
yaitu abad moderenisasi. Katakanlah Malek mungkin lahir pada 1849, di mana
waktu itu Persia sedang menggalakkan Persianisasi ke seluruh wilayah Timur
Tengah, ermasuk Asia Selatan dan Turki. Tersiratlah sebuah makna bahwa sebuah
masyarakat tidak akan terlepas dari pesatnya laju moderenisasi abad demi abad,
menyisakan jejak-jejak tradisi yang masih hidup dalam masyarakat tradisional,
dan kemudian bakal menjadi objek eksotisme bagi budaya moderen.
Sedangkan dari arah sebaliknya, wilayah
komunikasi tradisional menahan dirinya karena ada sejumlah rahasia politik
dalam kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Mitos komunikasi digambarkan
sebagai bayangan komunikasi atau bersifat semu, yang merupakan juga konsep komunikasi
moderen.
Hubungan pertemanan yang unik antara Behzad
dan Yossef, si penggali saluran di pemakaman, mengantar kita pada pengenalan
mitos komunikasi tersebut. Ini disebabkan si intelektual dari wilayah moderen
berkomunikasi dengan Yossef yang berada dan hidup di dalam mitologi itu
sendiri. Mereka saling mengomunikasikan muasal sebuah legenda. Komunikasi itu
dilakukan di pemakaman, sebuah ‘ziarah ke mitologi kuno’. Dan sedikit demi
sedikit terjadi pergeseran keyakinan yang dialami oleh si orang kota moderen
ini, sebuah pengalaman spiritual karena ada bayang-bayang kematian dalam
komunikasi yang dilakukannya bersama penduduk Shiah Dareh.
Saat behzad berjumpa dengan seorang lelaki
seusianya yang ternyata tidak merantau karena dia seorang guru (intelektual) di
desa itu, kita tidak hanya melihat bahwa friksi antara budaya moderen dan
budaya tradisional terjadi di Iran dalam konteksnya sebagai negara, tapi juga
friksi lain itu ada dalam suatu wilayah tradisional di negara itu, yang
dirasakan oleh orang yang mengenyam pendidikan lebih tinggi dan dapat merasakan
bahwa tradisi upacara kematian di desanya merupakan kenyataan yang menyakitkan,
apalagi ada faktor ekonomi yang menunjang hal menyakitkan tersebut. Cara
pandang intelektual lokal ini merupakan dampak moderenitas terhadap budaya
tradisional.
Filem ini juga menampilkan adanya infiltrasi
keyakinan secara halus oleh budaya moderen yang diwakilkan oleh Behzad kepada
budaya tradisional. Sementara lokasi budaya setempat tidak memiliki kemampuan
berdialektika, digambarkan melalui kepolosan Farzad yang tidak bisa menjawab
pertanyaan ujian tentang apa yang terjadi pada hari kiamat. Behzad memberitahu
jawaban pada Farzad setelah sebelumnya bermain-main kata dengan memutarbalikkan
fakta tentang surga dan neraka terlebih dulu. Terjadi percakapan tentang
kematian di kedua budaya yang berbeda dan kita menemukan kontradiksi kultural
yang bisa diartikan sebagai percakapan tentang dua keyakinan dari dua lokasi
kebudayaan yang berbeda.
Kemudian kita diperkenalkan pada beberapa
karya sastra yang berasal dari zaman Iran kuno dan moderen, namun keduanya
diperkenalkan dari dalam tanah, yang kemudian menimbulkan pertanyaan: apakah
kedua karya sastra tersebut juga memiliki sejumlah rahasia politik sehingga
tidak dengan mudah bisa dikenali di permukaan yang terbuka?
Sastra pertama berasal dari Forough Farokhzad
(penyair moderen Iran yang karya-karyanya diterapkan oleh kaum feminis),
sebagaimana filem ini diberi judul, The Wind Will Carry Us. Puisi ini bercerita tentang
bayang-bayang kematian dan dibacakan oleh Behzad kepada Zaenab, kekasih Yossef,
di kandang sapi gelap gulita dan terletak di bawah tanah. Ini merupakan dampak
politik gender di negara dengan hukum Islam. Dan ini diterapkan di ranah budaya
yang bertolak belakang dengan ranah kelahiran puisi tersebut. Menunjukkan
sebuah kritik terhadap budaya tradisional, bahwa di negara yang pernah
melahirkan penyair perempuan moderen masih berlaku ketidaksetaraan gender.
Dengan kata lain kita telah melihat Forough Farokhzad ditarik dari kontemplasinya,
sebab sastranya yang berdiam di moderenitas Teheran harus diimplementasikan di
ranah tradisional. Dalam adegan yang sama juga dibacakan puisi lain dari
Farokhzad berjudul ‘Hadiah’, menceritakan tentang perempuan yang hanya berteman
dengan kegelapan. Terasa ada semangat optimisme bagi perempuan disandingkan
dengan keterpingitannya, di mana ruang gelap bawah tanah itu merupakan kandang
sapi perah yang melambangkan kesuburan dan kehidupan. Juga ada bagian di mana
si perempuan bertanya pada laki-laki yang membacakannya puisi, tentang
pendidikan yang dienyam oleh sang perempuan penyair. Si lelaki moderen
memberinya gambaran jalan menuju intelektualitas bagi perempuan melalui
biografi Forough Farokhzad. Walau jalan menuju intelektualitas itu ditunjukkan
dalam kegelapan sebuah ruang bawah tanah. Namun semangat optimisme itu,
sebagaimana dihantarkan oleh si sutradara secara gamblang, telah diberikan oleh
seorang lelaki. Seandainya pembuat filem ini seorang sutradara perempuan Iran,
akankah dia membiarkan si penyair datang sendiri ke dalam kandang sapi perah
yang gelap itu tanpa diantar oleh seorang lelaki moderen?
Sastra lainnya berasal dari zaman Iran kuno,
yaitu legenda ‘The Love of Shirin’ terlibat dalam percakapan antara Behzad dan
si penggali saluran di pemakaman, Yossef. Sastra ini kita ketahui sebagai kisah
sepasang kekasih, Shirin (istri seorang pangeran) dan kekasih gelapnya, Farhad
yang dalam percakapan Behzad dan Yossef disebutkan adalah oang yang membangun
kota Bistonia. Namun kisah The Love of Shirin yang memiliki beberapa versi ini
selalu dibuat oleh laki-laki. Di sini kita dapat melihat pertarungan isu gender
yang menggunakan kota Shiah Dareh sebagai ruang tarungnya.
Kita juga dapat mengenali rubaiyat
Omar Qayyam, penyair Persia kuno, yang beberapa kali muncul dari percakapan
pelaku-pelaku dalam filem ini. Namun berlainan dengan karya Farokhzad yang
bicara tentang keterkungkungan dan bayang-bayang kematian, karya Omar Qayyam
yang terkenali dalam filem ini justru menggambarkan keindahan hidup hari ini.
Alur filem ini membentuk sebuah piramida
komunikasi yang memiliki landasan puisi, dan konsep komunikasi global yang
menjadi puncaknya. Kedua konsep yang menjadi dasar dan puncak piramida itu
dipertemukan pada ranah komunikasi tradisional melalui lubang puisi tradisional
yang kita temukan di puncak komunikasi global berupa pemakaman, dan sebuah
lubang puisi moderen berupa lubang kesuburan.
Filem ini ditutup dengan perekaman wajah para
pelayat dengan menggunakan kamera diam, menggantikan filem, di mana durasi
peristiwa upacara kematian Malek yang diwakilkan hanya oleh wajah para
perempuan pelayat tersebut dibekukan dalam satu bingkaian diam. Mengingat
kelahiran kamera diam yang lebih awal daripada kamera filem, bisa diartikan
bahwa pada akhirnya si intelektual moderen ini kembali turun ke dasar piramida
kebudayaan untuk memberi arti pada harta karun yang sudah ditemukannya dalam
bentuk yang berbeda karena dipandang dari kaca mata keyakinan yang sudah
bergeser dari posisinya semula. Inilah aktivitas pendokumentasian dengan
menggunakan medium teknologi moderen, merekam peristiwa tradisional yang
melingkupi semua isu beserta konflik dan friksinya di lokasi kebudayaan
tradisional melalui pandangan moderen yang menggunakan konsep asalnya.
Kemungkinan lain dari adegan kamera ini, yaitu
merujuk pada pendapat Roland Bhartez bahwa gambar diam merupakan esensi dari
sebuah filem. Karena fotografi yang sifatnya mengekalkan itulah, maka
digambarkan Behzad hanya mengambil gambar wajah para perempuan pelayat yang juga
tergambar dalam puisi Forough Farokhzad. Dan akhirnya Behzad mengembalikan
tulang dari masa lampau itu ke alam, melemparkannya ke sungai yang mengalir
melewati kambing-kambing yang merumput di tepiannya. Membawa kita pada
pemahaman untuk lebih memilih hari ini daripada yang lampau.
They tell me she is as beautiful as a Houri from heaven!
Yet I say
That the
juice of the vine is better
Prefer the
present to these fine promises
Even a drum
sounds melodious from afar…
Prefer the
present …
(Sumber: http://jurnalfootage.net/v4/artikel/the-wind-will-carry-us-otty-widasari)