As Syahid Murtadha Muthahhari adalah sedikit diantara
kalangan ulama yang berjaya memadukan ciri-ciri keulamaan dan keintelektualan
dalam satu kepribadian, di mana beliau bukan sekadar mendalami ilmu-ilmu Islam
tradisional, namun juga turut fasih berbicara tentang mazhab-mazhab pemikiran
Barat –utamanya tentang Bertrand Russell. Memang, ini satu kelebihan yang
mengagumkan! Tidak banyak tokoh yang berjuang, tetapi dalam masa yang sama mampu
menekuni berbagai disiplin ilmu, dan Muthahhari adalah salah seorang darinya.
Dan, hampir sebahagian besar waktu hidupnya dihabiskan demi merealisasikan
sebuah negara yang bercitrakan Islam.
Muthahhari, dilahirkan pada tanggal 2 Februari 1919
dari kelompok keluarga alim di daerah Khurasan. Ayahnya, Hujjatul Islam
Muhammad Husain Muthahhari adalah seorang ulama yang dihormati lagi disegani
oleh masyarakat setempat. Sejak menjadi siswa di Qum, Muthahhari sudah
menunjukkan minatnya pada falsafah dan ilmu pengetahuan modern. Di Qum,
Muthahhari menuntut ilmu di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Ayatullah Khomeini.
Dalam falsafah, beliau amat terpengaruh dengan
pemikiran Allamah Husain Thabathaba’i. Muthahhari begitu tekun dan pantas menguasai
ilmu-ilmu falsafah yang diajar di hauzah-hauzah ilmiah. Buku-Buku yang ditulis
oleh William Durant, Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich
Fromm dan para pemikir Barat yang lainnya telah ditelaahnya dengan serius
sekali. Keseriusan Muthahhari dalam menelaah pemikiran Barat bukan karena
malu-malu untuk menonjolkan pemikiran Islam, sebaliknya, Muthahhari mencoba
untuk melakukan studi perbandingan antara pemikiran Islam dan Barat. Kita bisa
membacanya, banyak terminologi Islam telah dikupas olehnya dalam buku-bukunya,
sehingga memberikan kesempatan bagi upaya Islam dalam menawarkan pemikiran
alternatif.
Muthahhari, pada usia relatif yang masih muda, sudah
mampu menurunkan ilmu logika, falsafah dan fiqh di Fakultas Teologi,
Universitas Teheran. Dan, dalam waktu yang sama, beliau turut menjabat sebagai
Ketua Jurusan Falsafah. Disamping itu, beliau tidak canggung untuk menyampaikan
kuliah dalam bidang yang berbeda seperti kuliah al-Ushul, kuliah Ilmu Kalam dan
kuliah al-Irfan.
Dengan samudera pengetahuan ilmu ini, Muthahhari
langsung tidak berminat untuk memilih hidup damai, meskipun beliau ada pilihan
untuk itu. Baginya, badai (perjuangan) lebih bermakna daripada damai. Justru,
beliau menterjemahkan gagasan-gagasannya tentang arti kehidupan melalui gerak kerja
aktivis dan menulis buku-buku. Keaktifan beliau telah berjaya membentuk satu
kombinasi ampuh bersama-sama dengan Ayatullah Khomeini dalam kerangka menentang
rezim Shah Pahlevi yang zalim dan menindas. karena itu, Muthahhari telah
ditahan pada 1963 akibat implikasi langsung dari peristiwa Khordad.
Manakala Ayatullah Khomeini diasingkan ke Turki,
Muthahhari telah diamanahkan untuk memangku kepemimpinan gerakan rakyat Iran
serta memobilisasikan para ulama dalam melanjutkan semangat perjuangan Islam yang
dirintis oleh Ayatullah Khomeini. Langkah-langkah politiknya jelas sekali
sangat tersusun dan mengugat. Muthahhari (bersama-sama Ali Shari’ati dan Husain
Beheshti) turut mendirikan Husainiyyah-e-Irsyad yang menjadi pangkalan
kebangkitan intelektual Islam sebelum revolusi meletus. Disamping itu,
Muthahhari yang juga Imam Masjid al-Jawad, dan secara konsisten menggalang
dukungan rakyat Iran bagi menyuarakan simpati pada perjuangan Palestina.
Pasca kemenangan Revolusi Iran 1979, Muthahhari telah
dilantik menjadi anggota Dewan Revolusi. Karakteristik yang menonjol pada diri
Muthahhari telah menjadikannya sebagai seorang ulama yang dinamik, bersandarkan
penguasaan ilmu-ilmu Islam, modern serta terlibat dalam dunia aktivisme.
Perjuangan Ulama Berkacamata Tebal
Diantara ratusan buku yang dia tulis kemudian, orang
juga tahu dia telah mendalami pemikiran filosof sekelas Aristoteles, menamatkan
berjilid-jilid Story of Civilization karya Will Durant, menelaah karya-karya
Sigmund Freud, Bertrand Russel, dan pemikir-pemikir Barat lainnya. Dia
berkacamata tebal dengan serban putih melilit di kepala, bisa membedah
marxisme, menguliti materialisme, dan menunjukkan Islam sebagai sebuah
pandangan dunia yang sesuai fitrah manusia.
Dia juga seorang orator yang hebat. Husainiyah Irsyad
adalah tempat yang menyaksikan dedikasi Muthahhari terhadap pencerahan dan
pendidikan. Pada hampir semua ceramahnya, dia selalu menunjukkan antusiasme
yang tinggi dan optimisme yang tak kalah tingginya. Intonasi suaranya naik
turun, seperti ingin membelai sukma yang terdalam.
Dia tetap membaktikan hidupnya di jalur itu hingga
ajalnya tiba. Pada 2 Mei 1979, sekelompok orang bersenjata menunggunya di luar
pintu rumah. Dia tewas diberondong. Peluru memecah mata dan menembus belakang
telinganya. Dia tewas dan Iran berkabung sehari setelahnya. “saya nyatakan,”
kata Ruhullah Khomeini dalam sebuah pidato, “Hari Kamis, 3 Mei 1979, sebagai
hari berkabung nasional untuk menghormati pribadi yang siap mengorbankan diri, yang
berjihad di jalan Islam dan untuk kepentingan bangsa.”
Kita mungkin sulit mengikuti jejak Muthahhari, namun,
dari buku-bukunya, kita bisa belajar konsep takwa-buah jihad akbar yang paling
sering disalahpahami banyak orang. Dia membawa takwa ke makna sejatinya,
sebagai penjagaan, dan memperkenalkan kedalaman dan manfaatnya dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam berbagai ceramah dan bukunya, Muthahhari banyak bercerita
tentang apa takwa itu dan bagaimana dia bisa menancap dalam jiwa; bagaimana dia
bisa menjadi seperti pohon yang menjulang ke langit dengan akar-akarnya,
menghunjam di bumi dan memberikan buah setiap musimnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar