Ibnu
Abil Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghah tentang keutamaan, kesempurnaan, dan
keluasan ilmu Imam Ali bin Abi Thalib (sa) membahas dengan pembahasan yang
padat dan patut disebutkan di sini. Dalam menjelaskan ilmu, Abil Hadid
menuliskannya demikian: ”Ali bin Abi Thalib adalah sumber dan mata air ilmu.
Semua ilmu berujung kepadanya dan dia adalah penghulu ulama.” Salah
satu ilmunya yang paling mulia adalah ilmu Ilahi yang bersumber dari ucapan
Imam Ali (sa). Mazhab Mu’tazilah mengambil ilmunya dari Washil bin Atha’ dan
dia adalah murid Abu Hasyim, dan Abu Hasyim adalah murid Muhammad bin Hanafi,
dan Muhammad mengambil ilmunya dari ayahnya yang bernama Ali bin Abi Thalib. Mazhab
Asy’ariyah dinisbatkan kepada Ismail bin Abi Baysar Asy’ari murid Abu Ali
Jubai. Nama terakhir merupakan salah seorang pemuka Mu’tazilah. Maka,
Asy’ariyah akhirnya juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib. Adapun penisbatan
ilmu Ilahi Mazhab Imamiyah dan Mazhab Zaidiyah kepada Ali bin Abi Thalib adalah
suatu perkara yang jelas.
Dalam
ilmu fikih, Ali merupakan sumber dan mata air. Semua ahli fikih adalah murid
beliau dan menggunakan fikihnya. Para sahabat Abu Hanifah, seperti Yusuf,
Muhammad, dan orang-orang lainnya dalam fikih adalah murid Abu Hanifah. Syafi’i
juga belajar fikih dari Muhammad bin Hasan. Maka, fikih Syafi’i, pada akhirnya,
juga berujung kepada Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam fikih juga belajar dari
Ja’far bin Muhammad sementara ilmu Imam Ja’far Ash-Shadiq berasal dari ayahnya
yang melalui jalur ini berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Malik bin
Anas dalam ilmunya adalah murid Rabiah ar-Ra’yu sedangkan Rabiah adalah murid
Akramah. Akramah sendiri adalah murid Abdullah bin Abbas sementara Ibnu Abbas
adalah murid Ali bin Abi Thalib. Adapun marja’iyah fikih Imam Ali (sa) bagi
umat Syiah adalah suatu perkara yang jelas.
Umar
bin Khattab dan Abdullah bin Abbas adalah di antara para ahli fikih yang
belajar dari ilmu Ali. Ibnu Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan
dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui
bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia
merujuk kepada Ali. Dalam kaitan ini, Umar berkata, “Seandainya tidak ada Ali,
Umar pasti celaka.” Ia juga berkata, “Aku tidak akan dapat tenang jika tidak
ada Abul Hasan (Ali).” Ia juga berkata: “Tidak seorang pun memberikan fatwa di
masjid sementara Ali berada di situ.” Maka, adalah jelas fikih berujung kepada
Imam Ali (sa). Ammah dan Khassah mengutip dari Rasulullah saw yang berkata,
“Aqdhakum Ali,” sementara qadha adalah fiqih. Oleh karena itulah, Imam Ali (sa)
merupakan orang yang paling paham tentang fikih dibanding yang lain.
Begitu
juga, masyarakat umum dan khusus meriwayatkan bahwa ketika mengutus Ali ke
Yaman untuk mengadili suatu urusan, Nabi saw bersabda, “Ya Allah! Berilah
petunjuk kepada hatinya dan tetapkanlah lisannya.” Imam Ali berkata, “Setelah
itu dan berkat doa itu, aku tidak pernah ragu dalam memberikan keputusan dalam
pengadilan.” Ilmu tafsir juga berujung kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa).
Apabila kita membaca kitab-kitab tafsir, kita akan melihat bahwa sebagian besar
persoalan dikutip dari beliau atau dari ibnu Abbas yang merupakan murid beliau.
Dikatakan kepada ibnu Abbas, “Bagaimana perbandingan ilmumu dengan ilmu Ali
(sa).” Dia berkata, “Perbandingannya adalah ibarat setetes air hujan di hadapan
samudra.”
Ilmu
tarekat, hakikat, dan irfan juga berujung kepada Ali bin Abi Thalib (sa). Ulama
irfan di semua negeri Islam menisbatkan dirinya kepada Imam Ali (sa), seperti
Syibli, Junaid, Abu Yazid Basthami, dan Abu Mahfudz yang dikenal dengan nama
Karlhi. Mereka menjelaskan sebuah persoalan dengan sanad yang menisbatkan
dirinya kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Ilmu nahwu (tata bahasa) dan
bahasa Arab juga dinisbatkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa). Imam Ali-lah
yang mengajarkan kaidah-kaidah pokok dan universal ilmu ini kepada Abul Aswad
Ad-Duwali. Di antaranya, beliau mengatakan kepada Abul Aswad mengenai kalam
(kata) terbagi menjadi tiga: ism (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf
(preposisi). Beliau juga mengatakan mengenai Ism makrifah (definitive) atau
nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i’rab ada empat
macam: rafa’, nashab, jar, dan jazam.
Ucapan
Imam Ali (sa) ini bagaikan mukjizat karena mengklasifikasi ‘kata’ untuk manusia
biasa adalah tidak mungkin. (Syarah Nahjul Balaghah, Ibn Abil Hadid, jilid 1,
hlm 17-20). Tentang ketinggian ilmu Imam Ali (sa) secara detail, silahkan
membaca kitab Nahjul Balaghah. Menurut kesaksian para cendekiawan, setelah
Al-Quran, kitab ini adalah kitab ilmiah yang paling kaya. Kita juga dapat
merujuk kepada ratusan, bahkan ribuan hadis yang ada di berbagai bidang, yang
dikutip dari Imam Ali (sa) dan tercatat dalam kitab-kitab hadis. Telah masyhur
di kalangan ulama, khususnya ulama sufi bahwa Rasulullah saw menerima ilmu
makrifat Allah swt kemudian diajarkan secara khusus kepada Imam Ali (sa).
Sepanjang masa risalahnya, secara berkesinambungan Rasulullah saw mengamalkan
ilmu ini. Dengan bantuan Ilahi dan pengawasan Rasulullah saw, Ali menghafal
semua ilmu ini. Lalu atas pesan dan perintah Rasulullah saw, beliau
menuliskannya bagi para imam sesudahnya dari keturunannya. Dengan cara inilah,
telah tersedia kitab-kitab sehingga Imam Ali (sa) dapat dikategorikan sebagai
penyimpan ilmu nubuwah dan pintu ilmu Rasulullah saw.
Rasulullah
saw berkali-kali memuji kedudukan ilmu Ali (sa). Di antaranya dalam sebuah
hadis, beliau bersabda: ”Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.
Barangsiapa yang menghendaki ilmu, ia harus memasukinya melalui pintunya.”
(Mustadrak Al-Hakim, jilid 3, hlm 127). Para sahabat Rasulullah saw mengakui
kedudukan ilmu Imam Ali (sa), khususnya dalam urusan pengadilan. Abu Hurairah
mengutip dari Umar bin Khatab bahwa dalam urusan pengadilan, Ali adalah yang
paling alim daripada yang lain. (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 339). Sua’id
bin Musabbab mengatakan: “Umar senantiasa berlindung kepada Allah dari problema
jikalau Abul Hasan (Ali) tidak berada di sana.” (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2,
hlm 339)
Al-Qomah
mengutip dari Abdullah, ia berkata: “Di antara kami dikatakan, Ali bin Abi
Thalib, dalam urusan pengadilan, adalah lebih berilmu daripada semua warga
Madinah.” (Tabaqat Ibn Sa’ad, jilid 2, hlm 338). Aban bin Ayyas berkata: “Aku
bertanya kepada Hasan Al-Bashri tentang Ali (sa). Ia mengatakan: “Apa yang
harus aku katakan tentangnya? Dia paling dahulu dalam memeluk Islam. Keutamaan
ilmu serta fikih dan pandangannya tiada tertutup bagi siapa pun. Ia selalu
bekerjasama dengan Rasulullah saw. Keberanian, zuhud, serta pengenalannya
dengan persoalan pengadilan dan kekeluargaannya dengan Rasulullah saw tak dapat
dipungkiri.” (Syarah Nahjul Balagahah, Ibn Abil Hadid, jilid 4, hlm 96).
Ibnu
Abbas mengatakan : “Ilmu Rasulullah saw berasal dari ilmu Allah dan ilmu Ali
berasal dari ilmu Rasulullah saw; ilmuku dari ilmu Ali; ilmuku dan para sahabat
lainnya dibanding dengan ilmu Ali adalah seperti setetes air di hadapan tujuh
lautan.” (Yanabi’ Al-Mawaddah, hlm 80)
Ibnu
Abbas mengatakan : “Setiap kali ada orang yang dapat dipercaya untuk mengutip
fatwa adalah Ali (sa). Maka, kami tidak berani mendahuluinya.”(Thabaqat Ibn
Sa’ad, jilid 2, hlm 348). Udzainah Abdi mengatakan: “Aku bertanya kepada Umar
mengenai menunaikan Umrah. Dari mana aku mesti memulai ihram?” Ia menjawab:
“Tanyalah kepada Ali!” (Dzahairul Uqba, hlm 79). Abu Hazim berkata: “Seorang
lelaki datang menjumpai Muawiyah dan menanyakan suatu persoalan. Dalam
jawabannya, Muawiyah berkata: “Tanyalah kepada Ali sebab dia adalah yang paling
alim.” Lelaki itu berkata, “Jawabanmu lebih baik di sisiku daripada jawaban
Ali.” Muawiyah berkata: “Engkau berkata buruk! Engkau menyatakan kebencian
terhadap seseorang yang Rasulullah telah ajarkan kepadanya ilmunya, beliau
bersabda: “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, kecuali
sesudahku tidak akan ada nabi.” Umar pun dalam menyelesaikan persoalan merujuk
kepada Ali.” (Dzahairul Uqba, hlm 79)
Imam
Ali (sa) adalah ahli ibadah yang paling tinggi derajatnya di zamannya, baik
dari segi kuantitas ataupun kualitas ibadah, yakni keikhlasan, perhatian atau
kosentrasi hatinya, dan penyaksian terhadap Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib
(sa) berkata: “Sekelompok manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala
dan ganjaran. Inilah ibadah para pedagang. Sekelompok lainnnya beribadah karena
takut kepada siksa. Inilah ibadah para budak. Sekelompok orang beribadah untuk
bersyukur kepada Allah. Inilah ibadah orang-orang yang bebas.” (Bihârul Anwâr,
jld 41, hlm 14). Imam Ali (sa) juga berkata : “Ya Allah! Aku tidak menyembah-Mu
karena takut terhadap siksa dan rakus terhadap pahala, melainkan karena melihat
Engkau pantas disembah.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 14).
Seseorang
datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa) dan berkata : “Apakah engkau melihat
Allah sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak
akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana
engkau melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah,
melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.” (Bihârul
Anwâr, jld 41, hlm 16). Qusyairi menulis : “Tatkala waktu shalat telah tiba,
warna wajah Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berubah dan tubuhnya bergetar. Imam
ditanya, “Mengapa keadaan Anda berubah seperti ini?” Beliau berkata, “Tiba saat
menunaikan amanah yang diberikan Allah terhadap langit, bumi, dan gunung dan
semuanya menolak. Namun, manusia yang lemah menerimanya. Aku takut, apakah
dapat menunaikan amanah ini atau tidak?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17)
Imam
Ali Zainal Abidin (sa) membaca sebuah buku yang mencatat ibadah Imam Ali lantas
beliau menaruh buku itu di atas meja dan berkata : “Siapakah yang mampu
beribadah seperti Ali?” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 17). Ibn Abbas mengatakan:
“Dua unta dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah berkata kepada
para sahabat, “Aku akan menghadiahkan salah satu unta ini kepada orang yang
melaksanakan shalat dua rakaat dengan konsentrasi hati yang penuh sehingga
selama dua rakaat itu, ia sama sekali tidak memikirkan urusan duniawi.” Dalam
hal ini, tiada seorang pun yang sanggup kecuali Ali. Kemudian Rasulullah
menghadiahkan kedua unta itu kepada Ali.” (Bihârul Anwâr, jld 41, hlm 18). Habbah
Arani berkata : “Suatu malam, aku dan Nauf tidur di halaman Darul Imarah. Di
sini, kami menyaksikan Imam Ali (sa) seperti manusia yang dalam keadaan gundah
dan gelisah. Ia meletakkan tangannya di dinding seraya membaca ayat,
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan seterusnya dengan
diulang-ulangi dan berjalan seperti manusia gila. Imam berkata kepadaku, “Wahai
Habbah! Apakah kamu tidur atau terjaga?” Aku menjawab, “Aku terjaga. Kalau Anda
berbuat demikian, lalu apa yang harus kami lakukan?” Imam Ali mulai menangis
dan berkata : “ Wahai Habbah! Allah lebih dekat kepada kita daripada urat
leher. Tiada sesuatu pun yang membatasi kita dari Allah.”
Kemudian,
beliau berkata kepada Nauf : “Barangsiapa yang meneteskan air mata lantaran
takut kepada Allah maka dosa-dosanya akan diampuni. Wahai Nauf! Barangsiapa
yang menangis karena takut kepada Allah dan cinta serta kebenciannya hanyalah
karena Allah maka tiada seorang pun yang dapat mencapai kedudukannya. Wahai
Nauf! Barangsiapa yang kecintaannya di jalan Allah maka tidak akan melebihkan
kecintaan yang lain di atas kecintaannya itu dan barangsiapa yang kebenciannya
di jalan Allah maka kebenciannya tidak berada di jalan kepentingan pribadi.
Maka dengan cara inilah, hakikat keimanannya menjadi sempurna.” Kemudian beliau
menasehati kedua orang itu dan di bagian akhir, beliau berkata: “Takutlah
kepada Allah!” Kemudian ia bergerak dan berkata, “Ya Allah! Aku tidak tahu
apakah Engkau berpaling dariku atau Engkau menyayangiku? Andai saja aku tahu,
dalam kondisi lalai yang panjang dan sedikitnya syukur ini, bagaimana
keadaannku!”
Habbah
berkata: “Demi Tuhan! Beliau dalam kedaan seperti itu hingga terbit fajar.” (Bihârul
Anwâr, jld 41, hlm 22). Malam hari ketika berdiri di mihrab ibadah, Imam Ali
memegang janggutnya dan seperti orang yang tersengat ular, ia berputar dan
menangis tersedu-sedu seraya berkata, “Wahai Dunia! Menjauhlah dariku! Apakah
engkau datang kepadaku? Bukan saatnya untukmu! Lihat! Tipulah selain aku! Aku
tidak memerlukan kamu! Aku menceraikanmu tiga kali! Kehidupanmu pendek dan
nilaimu sedikit sementara harapanku terhadapmu sedikit.” Muawiyah kepada Dhirar
bin Dhamrah berkata: “Sifatilah Ali untukku!” Dhirar berkata, “Aku menyaksikan
Ali di beberapa tempat dalam kegelapan berkata, “Oh, betapa sedikitnya bekal,
jauhnya perjalanan, besarnya tujuan, dan sulitnya kedudukan.” (Bihârul Anwâr,
jld 40, hlm 340).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar