Oleh Habib
Ali Al-Jufri
Saat itu al Husain
melihat musuh terus mengepungnya dan menghantam kuda yang ditungganginya dengan
pedang mereka, sesekali pada kakinya dan sesekali pada pahanya. Tidak tega
melihat kudanya dipukuli, al Husain pun turun dari kudanya dan melepaskan
kudanya. Sang Imam lalu berdiri dengan kedua kakinya, sementara orang-orang
keji telah mengepungnya. Mereka mulai menebaskan pedang ke arahnya. Tebasan itu
mengenai bahu, tangan, dan kakinya.
Masing-masing mereka
tidak mau menjadi orang pertama yang menebaskan pedangnya ke tubuh sang Imam.
Karena mereka tahu, siksa macam apa yang akan mereka alami kelak di akhirat
jika mereka membunuh al Husain. Ketika luka sang Imam semakin banyak, ia terus
diserang dengan serangan yang kuat. Meski telah lelah, al Husain terus memerangi
mereka hingga barisan mereka terpecah.
Namun mereka kembali
mengepungnya dan salah seorang di antara mereka memukul kakinya, hingga ia
berlutut. Tapi ia tetap berperang walau dalam keadaan berlutut. Lalu datanglah
orang yang paling celaka, Syimmar bin Dzil Jausyan, sambil berkata, “Kenapa
kalian tidak langsung membunuhnya? Bunuhlah dia segera!” Syimmar terus
memanas-manasi mereka hingga salah seorang di antara mereka mendatangi al
Husain dan memukul kepala sang Imam. Dan Imam pun terjatuh ke tanah.
Demi
kemuliaan Dzat Yang Mengagungkan kedudukan mereka sungguh gambaran jatuhnya
sang Imam ke tanah merupakan hakikat pencapaiannya pada puncak maqam kedekatan
tertinggi di sisi Allah. Dan ini merupakan gambaran rendahnya dunia di sisi
Allah. Ini adalah saat kemenangan sang Imam, yang telah menunjukkan kejujuran
dan janji setia keluarga dan para sahabatnya terhadap datuknya, Rasulullah SAW,
dalam membantu agama ini. Kemudian datanglah manusia paling celaka, Syimmar,
memenggal kepala sang Imam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar