Zuhud yang Keliru
Suatu ketika seorang –yang
menganggap dirinya sufi dan zuhud- meninggalkan kehidupan masyarakat dan pergi
ke padang pasir untuk menyibukkan diri beribadah di sebuah tempat yang sunyi.
Ia memutuskan mengucilkan diri dan tidak masuk ke kota serta berkumpul dengan
masyarakat. Dalam ibadahnya, ia memohon kepada Allah: Ya Allah, berikanlah
rezekiku yang telah Engkau tentukan bagiku. Seminggu telah berlalu. Namun makanan yang diharapkan tak kunjung datang.
Waktu itu rasa lapar sudah hampir membunuhnya. Ia lalu memohon kepada Allah: Ya
Allah, berikanlah bagian rezekiku. Jika tidak, cabutlah nyawaku. Tiba-tiba terdengarlah suara: Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku,
Aku tak akan memberimu rezeki sampai engkau kembali ke kota, dan berhubungan
dengan masyarakat. Lalu ia pun terpaksa kembali ke kota. Sesampainya di kota, seseorang memberinya makan dan yang lainnya
memberinya minum, sampai akhirnya ia kekenyangan. Dikarenakan tidak menyadari
kebijakan Ilahi tersebut, dalam benaknya terlintas: Mengapa justru masyarakat
yang memberiku makan sementara Allah tidak memberikan apapun? Ia lalu mendengar suara: Apakah
engkau menginginkan untuk berzuhud dengan
cara yang keliru, dan mengingkari kebijakan-Ku? Apakah engkau tak tahu bahwa
aku memberi rezeki hamba-hamba-Ku melalui tangan hamba-hamba-Ku juga? Cara semacam
itu jauh lebih aku sukai ketimbang aku memberikannya secara langsung lewat
tangan (kekuasaan)-Ku sendiri.
Kota Tanpa Kekurangan
Imam Muhammad
al-Baqir as menceritakan bahwa salah seorang raja dari Bani Israil menyatakan: Saya
akan membangun sebuah kota yang sama sekali tidak memiliki kekurangan. Tak
seorang pun yang akan menemukan cacat dan kekurangannya. Kemudian ia
memerintahkan para pekerja dan ahli bangunan untuk membangun kota itu. Setelah
selesai dibangun, orang-orang sibuk menyaksikan kota itu dan semunya sepakat
bahwa kota tersebut tiada tandingannya dan tak memiliki cacat dan kekurangan apapun.
Namun, seorang lelaki menghampiri sang raja dan berkata: Jika Anda menjamin
keselamatan saya dan jiwa saya dalam keadaan aman, saya akan menyebutkan cela
dan dan kekurangan kota ini. “Aku menjamin keselamatanmu”, jawab Sang Raja.
Orang itu berkata: Ada dua cacat dan kekurangan. Pertama, pemiliknya akan mati,
dan Kedua, sepeninggalmu kota ini akan hancur. Sang Raja pun berpikir dan
berkata: Kekurangan apa yang lebih dari itu? Menurut pendapatmu, apa yang harus
saya lakukan? Lelaki itu menjawab: Bangunlah sebuah kota yang akan terus kekal
dan tak akan hancur selamanya, serta di dalamnya Anda senantiasa dalam keadaan
muda dan tidak dihampiri ketuaan (dan kota itu adalah surga). Sang raja
menceritakan peristiwa yang dialami kepada isterinya. Berpikir sebentar,
isterinya berkata: Di antara orang orang yang hidup di kota ini, hanya
dirinyalah satu-satunya orang yang jujur.
Hukuman atas Pemimpin nan Kejam
Salah seorang pemimpin
pasukan musuh yang membantai Imam Husain dan para sahabatnya di Karbala,
bernama Akhnas bin Zaid. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan tak punya belas
kasih. Di antara kekejamannya adalah memimpin sepuluh orang berkuda untuk
menginjak-injak jasad suci Imam Husain, sampai tulang dada dan punggung beliau
hancur.
Orang biadab ini selamat dari pembalasan Mukhtar al-Tsaqafi yang bangkit mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membantai Imam Husain berserta para sahabatnya. Ia tetap hidup hingga berusia 90 tahun.
Pada suatu malam, dengan berpura-pura menjadi orang asing bertamu ke rumah, seorang muslim pecinta Ahlul Bait bernama Suda’i. Sekarang marilah kita dengarkan kisahnya secara langsung dari lisan Suda’i:
Pada suatu malam, seorang lelaki bertamu kerumahku dan aku menyambut kedatangannya dengan baik. Aku berharap malam itu aku dapat menjalin persahabatan dengannya. Ia adalah Akhnas bin Zaid. Sebelumnya, aku tidak mengenalnya. Aku mencurahkan isi hatiku, sampai akhirnya masuk ke pembahasan tragedi Karbala. Aku menarik nafas panjang. Ia bertanya: Ada apa denganmu, mengapa engkau tampak bersedih?
Aku teringat berbagai musibah, yang berbagai musibah apa pun (selain musibah itu –maksudnya Tragedi Imam Husain di Karbala) terasa amat ringan, jawabku. Apakah engkau hadir di Karbala? tanyanya. Aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak hadir di sana, jawabku. Ungkapan syukurmu ini untuk apa? Tanyaku. Karena aku tidak ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saww bersabda: Barangsiapa ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain, maka ia akan diperiksa sebagaimana orang yang menumpahkan darah al- Husain; pada hari kiamat timbangan amal (baik)nya akan menjadi ringan. Tidakkah engkau mendengar bahwasannya Rasulullah saww juga bersabda: Barangsiapa membunuh puteraku al-Husain, maka di Jahanam nanti ia akan dimasukkan ke dalam peti yang dipenuhi dengan api. Tidakkah engkau mendengar....Mendengar itu, Akhnas berkata: Engkau jangan percaya semua itu; bohong belaka. Bagaimana aku tidak mempercayainya Sedangkan Rasulullah saww bersabda: Aku tidak berbohong dan tidak pula dibohongi, jawabku.
Akhnas menjawab, mereka mengatakan bahwa Rasul saww bersabda: Pembunuh al-Husain tidak akan berumur panjang. Tapi aku bersumpah demi nyawamu bahwa aku berumur lebih dari sembilan puluh tahun. Tidakkah engkau mengenalku? Tidak, tegasku. Aku adalah Akhnas bin Zaid, yang sesuai perintah Umar bir Sa’ad membawa kudaku ke jasad Husain dan menginjak-injaknya sampai tulang-tulangnya hancur.
Suda’i
berkata: Saat itu aku amat bersedih dan hatiku terasa sakit dan terbakar. Lalu
aku berkata pada diriku sendiri: Aku harus membinasakannya. Aku melihat nyala pelita di ruangan mulai meredup. Lalu
aku bangkit untuk mengatur nyala apinya. Akhnas berkata: Duduklah, biarkan aku
yang melakukannya. Ia tampak sombong dan takabbur atas panjangnya usia dan
keselamatannya. Ia lalu bangkit untuk mengatur nyala pelita itu. Tiba-tiba
pelita itu menyambar dan membakar telapak tangannya. Sekalipun ia
menggosok-gosokkan tangannya ke tanah, nyala api itu tak kunjung padam.
Perlahan-lahan api itu membakar lengannya.
Kemudian dengan memelas ia memohon kepadaku: Tolonglah aku! Aku terbakar. Sekalipun bermusuhan dengannya, aku segera mengambil air dan menyiramkan ke tangannya. Namun siraman itu sama sekali tidak berarti. Nyala api terus bekobar-kobar. Lalu ia berlari dan menceburkan dirinya ke sungai. Namun saking besarnya, kobaran api itu bukan padam, malah kian berkobar dan menjilat habis tubuhnya. Demi Allah, biarpun ia menceburkan dirinya ke dalam sungai, api tersebut tidak padam. Tak pelak, Akhnas pun menjadi arang dan mengapung di permukaan air .
Sumber: Muhammad Muhammadi,
Cerita-cerita (Terj. M.J. Bafaqih), Penerbit Cahaya, Juni 2003
Renungan
Ketika Singa Tuhan
Imam Ali hadir di sebuah pertemuan
Seseorang melontarkan
kutukan pada dunia
Sayidina Ali
menjawab, “Dunia, Nak, bukan untuk dikutuk”
Celakalah kau jika
mengucilkan diri dari hikmah
Dunia ini seisinya
adalah hamparan ladang
Untuk didatangi siang dan malam
Segala yang memancar dari martabat dan kekayaan iman
Seluruhnya berasal dari kehidupan di dunia ini
Buah hari esok adalah kembang dari benih hari ini
Orang yang ragu akan merasakan pahitnya buah penyesalan
Dunia ini adalah tempat terbaik bagimu
Di dalamnya bekal di hari kemudian dapat kausiapkan
Pergilah ke dunia, namun jangan dalam hawa nafsu tenggelam
Dan siapkan dirimu bagi dunia yang lain
Jika demikian, maka dunia itu akan pantas bagimu
Berkariblah dengan dunia, demi tujuan semua itu
(Fariduddin `Attar)
Untuk didatangi siang dan malam
Segala yang memancar dari martabat dan kekayaan iman
Seluruhnya berasal dari kehidupan di dunia ini
Buah hari esok adalah kembang dari benih hari ini
Orang yang ragu akan merasakan pahitnya buah penyesalan
Dunia ini adalah tempat terbaik bagimu
Di dalamnya bekal di hari kemudian dapat kausiapkan
Pergilah ke dunia, namun jangan dalam hawa nafsu tenggelam
Dan siapkan dirimu bagi dunia yang lain
Jika demikian, maka dunia itu akan pantas bagimu
Berkariblah dengan dunia, demi tujuan semua itu
(Fariduddin `Attar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar