Oleh O Hashem (penulis
buku Saqifah)
H. Fuad Hashem dalam bukunya
Sîrah Muhammad Rasûlullâh[1]melukiskan
sifat jahiliah itu dengan jelas. Ia mengatakan:
Arti kata “jâhiliyah” yang
dimaksud Rasûl tidak ada sangkut pautnya dengan kata “zaman” atau “periode”.
Kalau kedatangan Islam itu memberantas kebiasaan jahiliah, itu tidak lantas
berarti bahwa babakan sejarah menjadi “Zaman Jahiliah” dan “Zaman Islam”,
sehingga implikasinya adalah bahwa “jâhiliyah” adalah periode yang telah lewat,
sudah kadaluwarsa, sudah mati dikubur ajaran Islam. Pengertian yang menyamakan
zaman jahiliah sebagai “Zaman Kebodohan” (Ignorance) mungkin suatu usaha untuk
ikut membonceng pengertian agama Kristen bahwa jahiliah itu adalah “zaman
sebelum datangnya Nabî”, seperti tercantum dalam Kitâb Injil (Kisah Rasûl-Rasûl
17:30), korban pengaruh Kristen seperti kata teolog Mikaelis. Memang banyak
pengaruh itu yang disadari, misalnya dibuangnya bagian awal dari Sîrah Ibnu
Ishâq. Tetapi ini hanya satu dari sekian aspirasi Kristen yang telah merasuk ke
dalam karya literer Islam dan kalau tidak dicabut, duri ini akan tetap
menyakiti daging.
Jahiliah itu benar-benar lepas
dari pengertian zaman atau periode. Ini jelas terlihat dari kutipan ayat
Al-Qur’ân: “Ketika orang kafir membangkitkan dalam dirinya kesombongan,
kesombongan jahiliah, maka Allâh menurunkan ketenangan atas Rasûl dan mereka
yang beriman, dan mewajibkan mereka menahan diri. Dan mereka memang berhak dan
patut memilikinya. Dan Allâh sadar akan segalanya”.[2] Ayat ini jelas mempertentangkan
jahiliah dengan ketenangan (sâkinah), sifat menahan diri dan takwa...arti kata
pokok jahil (jhl) bukanlah lawan dari ‘ilm (kepintaran) melainkan hilm yang
artinya sifat menahan diri sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qurân.
Maka perwujudan sifat jahiliah
itu adalah antara lain rasa kecongkakan suku, semangat balas dendam yang tak
berkesudahan, semangat kasar dan kejam yang keluar dari sikap nafsu tak
terkendali dan perbuatan yang bertentangan dengan takwa. Ini bisa saja terjadi
dalam zaman setelah kedatangan Islam dan keluar dari pribadi seorang Muslim.
Sebagai ilustrasi kita teliti
tanggapan Rasûl dalam peristiwa Khâlid bin Walîd, yang terjadi sekitar
pertengahan Januari 630, dalam penaklukan kota Makkah. Ibnu Ishâq bercerita[3]:
“Rasûl mengirim pasukan ke daerah sekitar Makkah untuk mengajak mereka ke dalam
Islam: beliau tidak memerintahkan mereka untuk bertempur. Di antara yang
dikirim adalah Khâlid bin Walîd yang diperintahkannya ke kawasan datar sekitar
perbukitan Makkah sebagai misionaris; ia tidak memerintahkan mereka bertempur.”
Mulanya klan Jadzimah, penghuni
wilayah itu ragu, tetapi Khâlid mengatakan: “Letakkan senjata karena setiap
orang telah menerima Islam.” Ada pertukaran kata karena curiga akan Khâlid,
tetapi seorang anggota suku itu berkata: “Apakah Anda akan menumpahkan darah
kami?” Semua telah memeluk Islam dan meletakkan senjata. Perang telah usai dan
semua orang aman”, jawab Khalid.
Begitu mereka meletakkan
senjata, Khâlid memerintahkan tangan mereka diikat ke belakang dan memancung leher
mereka dengan pedangnya sampai sejumlah orang mati. Ketika berita ini sampai
kepada Rasûl, ia menyuruh Alî ke sana dan menyelidiki hal itu dan memerintahkan
agar menghapus semua praktek jahiliah.”
Alî berangkat membawa uang, yang
dipinjam Rasûl dari beberapa saudagar Makkah untuk membayar tebusan darah dan
kerugian lain, termasuk sebuah wadah makan anjing yang rusak.
Ketika semua lunas dan masih ada
uang sisa, Alî menanyakan apakah masih ada yang belum dihitung; mereka menjawab
tidak.
Alî memberikan semua sisa uang
sebagai hadiah, atas nama Rasûl. Ketika Alî kembali melapor, Rasûl yang sedang
berada di Ka’bah, menghadap Kiblat dan menengadahkan tangannya tinggi ke atas
sampai ketiaknya tampak, seraya berseru: “Ya Allâh! Saya tak bersalah atas apa
yang dilakukan Khâlid”, sampai tiga kali.
Abdurrahmân bin Auf mengatakan
kepada Khâlid: “Anda telah melakukan perbuatan jahiliah di dalam Islam”. Demikian
F. Hashem.[4]
Khâlid bin Walîd adalah panglima
perang yang terpuji, tetapi sikap jahiliah yang merasuk ke dalam jiwanya tidak bisa segera
hilang.
Ia dan asistennya Dhirâr bin Azwar
setelah jadi Muslim tetap minum minuman keras, syârib al-khumûr, berzina dan
membuat maksiat, shâhib al-fujûr.[5]
Orang mengetahui dendam Khâlid
pada keluarga Banû Jadzîmah sebelum Islam. Terlihat jelas bahwa dendam pribadi di
kalangan kaum Quraisy sangat kuat dan berlangsung lama seperti sering dikatakan
Umar bin Khaththâb. Perintah Rasûl Allâh kepada Alî untuk menyelesaikan masalah
Banû Jadzîmah agaknya membekas pada Khâlid bin Walîd.
Tatkala ia berada di bawah
komando Alî berperang melawan Banû Zubaidah di Yaman, ia mengirim surat kepada
Rasûl Allâh melalui Buraidah, yang mengadukan tindakan Alî mengambil seorang
tawanan untuk dirinya sendiri. Wajah Rasûl berubah karena marah dan Buraidah
memohon maaf kepada Rasûl dan menyatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas.
Rasûl Allâh lalu bersabda: “Janganlah kamu mencela Alî, sebab dia adalah bagian dari diriku
dan aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah
aku”. Lalu beliau mengulangi lagi:
“Dia adalah bagian dari diriku dan
aku pun adalah bagian dari dirinya. Dan dia adalah wali, pemimpin, setelah
aku.”[6] Dalam versi yang sedikit berbeda Nasâ’î meriwayatkan bahwa Rasûl
Allâh bersabda: “Hai Buraidah, jangan kamu coba mempengaruhiku membenci Alî,
karena Alî adalah sama denganku dan aku sama dengan Alî. Dan dia adalah walimu
sesudahku.”[7] Ia
adalah orang pertama sesudah Umar yang dicari Abû Bakar untuk penyerbuan ke
rumah Alî dan Fâthimah, setelah Rasûl wafat.
Dia ditunjuk sebagai pemimpin
pasukan memerangi “kaum pembangkang” yang tidak mengirim zakat ke pusat
pemerintahan pada zaman khalîfah Abû Bakar. Di antara ulahnya adalah membunuh
seorang sahabat pengumpul zakat yang diangkat Rasûl, secara berdarah dingin,
shabran, yang bernama Mâlik bin Nuwairah dan sekaligus meniduri istri Mâlik
yang terkenal cantik, pada malam itu juga. Cerita ini sangat terkenal dalam sejarah dan jadi topik
perdebatan hukum fiqih.[8]
Tatkala Abû Bakar
mengingatkannya akan kebiasaannya “main perempuan” dan dosanya membunuh
1.100 (seribu seratus) kaum Muslimîn secara berdarah dingin, ia hanya bersungut
dan mengatakan bahwa “Umarlah yang menulis surat itu”.[9]
CATATAN:
[4] Bacalah Ibnu Hisyâm, Sîrah,
jilid 4, hlm. 53-57; Ibnu Sa’d, Thabaqât, hlm. 659, Bukhârî dalam Kitâb
al-Maghâzî, bab pengiriman Khâlid ke Banû Jadzîmah, Târîkh Abu’l-Fidâ’, jilid
1, hlm. 145, Usdu’l-Ghâbah, jilid 3, hlm. 102; al-Ishâbah, jilid 1, hlm. 318; jilid
2, hlm. 81
[5] Al-Ishâbah, jilid 2, hlm.
209; Ibnu Asâkir, Târîkh, jilid 5, hlm. 30; Khazanah al-Adab, jilid 2, hlm. 8.
[7] Nasâ’î, al-Khashâ’ish
al-‘Alawiyah hlm. 17. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Jarîr, Thabrânî dan
lain-lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar