Oleh O
Hashem (penulis buku Saqifah)
“Para
sejarahwan, penafsir Al-Qur’ân dan perawi terkenal sering membuat kesalahan
dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita-berita sebagaimana
disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak membandingkannya
dengan laporan-laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan-laporan
tersebut dengan ukuran-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam,
tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat
dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan
yang tak dapat dipertahankan.” (Ibnu
Khaldun)
Pembaiatan[1] Abû
Bakar sebagai khalîfah pertama di Saqîfah Banî Sâ’idah, adalah peristiwa yang
berekor panjang. Abû Bakar dan Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai
tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa-gesa, faltah.[2]
Peristiwa ini
telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa
sampai di zaman ini.
Naskah-naskah
sejarah tradisional, târikh an-naqlî, yang tertera dalam buku-buku sejarah
lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat
rekonstruksi peristiwa besar itu.
Penulis
membuat rekonstruksi peristiwa Saqîfah berdasarkan pidato Umar bin Khaththâb
dalam khotbah Jum’atnya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan
dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnâd yang lengkap dan
melalui banyak jalur, sehingga pidato Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai
sumber yang patut dipercaya.
Naskah tertua
yang mencatat pidato Umar ini ialah As-Sîrah an-Nabawiyah, yakni riwayat hidup
Nabî Muhammad saw karya Ibnu Ishâq, yang sampai kepada kita melalui “revisi”
Ibnu Hisyâm. “Celah-celah” pidato Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama
lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian
yang terpadu.
Bagi yang
dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu,
baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan
lain. Dua buku semacam itu adalah As-Saqîfah oleh Syaikh Muhammad Ridhâ
al-Muzhaffar dan As-Saqîfah wa’l-Khilâfah oleh ‘Abdul Fattâh ‘Abdul Maqshûd.[3]
Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis
sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang
telah lama dianut.
Penulis
sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau
keyakaninnya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus
mengumpulkan semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak
sebagai hakim di pengadilan yang mengambil keputusan dari keterangan-keterangan
para saksi. Hal ini disebabkan karena para penulis sejarah zaman dahulu,
terutama pada zaman para sahabat dan tâbi’în[4] sering
menyampaikan laporan-laporan yang banyak tentang suatu peristiwa.
Laporan-laporan
ini demikian rumit dan kadang-kadang saling bertentangan. Oleh karena itu di
beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-lengkapnya.
Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab “Pengepungan Rumah Fâthimah.”
Penulis
sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para
penyalur yang membentuk rangkaian isnâd. Ia juga harus menyadari kemungkinan
adanya kesalahan dan kekeliruan mereka karena kelemahan-kelemahan manusiawi
seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya,
serta latar belakang keyakinan pribadinya.
Sejak
permulaan abad kedua puluh ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang
sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak
berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena buku-buku sejarah lama telah
terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang
diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku-buku dakwah, seperti
mengutip hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-masjid tanpa membandingkannya
dengan laporan-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan
dasar-dasar metode sejarah.
Pada zaman
dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga
juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar.
Lama kelamaan, kedudukan seorang ulama makan beralih ke tugas dakwah, dan
mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupakan.
Maka timbullah
semboyan yang terkenal: “Kita harus
membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat.”[5] Para
ulama telah menjadi juru dakwah semata-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah
dan mengajarkan agama.
Ditutupnya
pintu ijtihâd, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman
para Sahabat serta tâbi’în generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus
bertaklid pada ijtihâd para imam yang hidup seribu tahun lalu.
Para pembaharu
cenderung membangun pikirannya di atas permukaan, dan tidak menelusuri khazanah
kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang.
Dimensi-dimensi luas yang terkandung dalam Al-Qur’ân, telah dibiarkan membeku
dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Itulah
sebabnya, buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi
mendapatkan pasaran. Membaca buku-buku ini dianggap tidak memberi manfaat, karena pikiran-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing
dalam kalangannya sendiri dan dari masyarakat yang telah “mantap” dalam keyakinan.
Pada sisi
lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan
“pikiran-pikiran baru-”nya. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi kewajiban
untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai
Imâm.
Buku kecil ini
sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah
“barang baru”, kecuali bagi yang tidak membaca buku-buku sejenis dalam bahasa
Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek-unek, karena mungkin
melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis.
Misalnya,
penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari
Saif bin Umar Tamimi dengan cerita “Abdullâh bin Saba”-nya, hadis dari Abû
Hurairah serta hadis keutamaan, fadhâ’il, yang berhubungan langsung atau tidak
langsung dengan peristiwa Saqîfah. Karena itu penulis perlu
membicarakan,walaupun sepintas lalu, dalam pengantar ini, satu demi satu.
CATATAN:
[1] Bai’at dalam bahasa Arab berarti “penepukan tangan
ke tangan seseorang sebagai pengukuhan (îjâb) penjualan”. Biasanya dilakukan
dengan cara menjulurkan tangan kanan ke depan dengan tapak tangan menghadap ke
atas dan pembaiat menepuk dan menjabatnya, tetap dalam posisi demikian. Saling
membaiat dilakukan dengan saling menepuk tangan (tashâfaqû) atau saling menjual
(tabâyaû). Berasal dari kata menjual (bâa, yabîu, bai, baiah) Dalam Islam baiat
artinya menepuk tangan sebagai tanda kewajiban penjualan, sebagai tanda membuat
kontrak jual beli atau sebagai tanda ketaatan akan kesepakatan yang telah
diputuskan keduanya. Seorang membaiat seseorang, artinya ia berjanji kepada
seseorang. Di zaman Nabî, baiat merupakan lembaga pengukuhan. Dalam peristiwa
pengangkatan Abû Bakar sebagai khalîfah ini lembaga baiat untuk pertama kali
digunakan sebagai lembaga pemilihan.
[2] Faltah, menurut kamus al-Mu’jam al-Wasîth adalah
“suatu peristiwa yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan tanpa memakai
pikiran dan kearifan”, (al-amr yahdutsu min ghair
rawiyyah wa ihkâm). Umar bin Khaththâb mengancam, bahwa bila ada yang melakukan
hal serupa agar dibunuh. Ibnu al-Atsîr tatkala meriwayatkan peristiwa Saqîfah
menyamakan faltah dengan fitnah, lihat Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 157;
Syaikh Muhammad al-Hasan mengatakan bahwa faltah adalah dasar dan kepala dari
semua fitnah, asâs alfitan wa ra’suhâ; Lihat Dalâ’il Shidq, jilid 3, hlm. 21.
[3] Syaikh Muhammad Ridhâ al-Muzhaffar, As-Saqîfah ,
penerbit Mu’assasah al-A’lamiy li’l-Mathbû’ah, Cetakan keempat, Beirut, 1973;
‘Abdul Fattah ‘Abdul Maqshûd, As-Saqîfah wa’l-Khilâfah, Maktabah Gharib, Kairo,
tak bertahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar