Oleh Paul
Joseph Watson (diterjemahkan & disadur oleh Dina
Y Sulaeman)
“Di bawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad yang sangat keras berani
melakukan konfrontasi dengan Amerika dkk, Henry Kissinger dan George Walker
Bush merasa gerah dengan Ahmadinejad dan Ayatullah Ali Khamenei yang menyokong
Ahmadinejad. Sementara di dalam negeri Iran di masa Ahmadinejad, akibat embargo
ekonomi bertubi-tubi yang dilakukan Barat, perekonomian Iran mengalami masa
sulit. Dalam situasi yang demikian, Amerika, Israel, dan Rezim Al-Saud tak
pelak lagi mendapatkan kesempatan untuk menumbangkan Ahmadinejad dan para
penyokongnya”
President Barrack Obama
akhirnya menanggapi berbagai analisis dan tulisan yang menyebutkan bahwa CIA
ada di belakang kekisruhan politik yang terjadi di Iran pasca-pemilu (Juni
2009). Menurut Obama, tuduhan itu “sangat salah”. Padahal, bukti-bukti
menunjukkan bahwa justru keterlibatan CIA dalam menciptakan ketidakstabilan di
Iran atas persetujuan pemerintah AS dan programnya sudah dimulai sejak dua
tahun yang lalu.
Pada bulan Mei 2007,
Presiden George Walker Bush telah menyetujui CIA untuk melakukan operasi hitam dengan tujuan
menumbangkan rezim di Iran. Langkah yang dilakukan adalah: dengan propaganda
dan penyebaran informasi sesat, dan dengan membiayai Jundullah, salah satu
kaki-tangan Al-Qaeda yang pernah diketuai otak 9/11 Khalid Sheikh Mohammed.
Kelompok ini merupakan tertuduh pelaku sejumlah pengeboman di Iran yang
bertujuan mendestabilisasi pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad.
Selain itu, organisasi
terroris Mujahedeen-e Khalq, yang dulu pernah dikendalikan oleh intelijen Irak
di bawah Saddam Hussein saat ini bekerja khusus untuk CIA dan melakukan
berbagai pengeboman di Iran. Sejumlah besar anggota Mujahedeen-e Khalq ditahan
oleh pemerintah Iran, menyusul berbagai kerusuhan pasca pemilu. CIA juga
dilaporkan telah mendistribusikan 400 juta dollar di dalam negeri Iran untuk
memunculkan revolusi (demi menumbangkan pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad dan
Ayatullah Ali Khamenei).
Program CIA yang disetujui
George Walker Bush ini juga meliputi pendanaan kelompok-kelompok oposisi dan
menyediakan perlengkapan komunikasi yang mampu membuat para demonstran bisa
tetap berkomunikasi meskipun ada sensor pemerintah. Twitter dan web-web
jaringan social telah memainkan peranan kunci dalam hal ini. Pemerintah Amerika
Serikat bahkan meminta Twitter.com untuk menunda proses maintenance yang telah
dijadwalkan, supaya orang Iran bisa tetap memanfaatkan Twitter untuk melaporkan
situasi kerusuhan.
CIA dan MOSSAD telah
menciptakan feed palsu Twitter dan membanjiri rakyat Iran dengan SMS yang
mendorong mereka untuk terlibat dalam kerusuhan. Menurut Thierry Meyssan, sebelum
penghitungan selesai, SMS gelap sudah tersebar luas, isinya “Mousavi dinyatakan
Menang oleh KPU”. Langkah ini dilakukan untuk mempersiapkan publik agar mau
terima tuduhan kecurangan yang dilemparkan Mousavi jika ia kalah.
Meyssan juga menulis bahwa
CIA dan MOSSAD menggunakan Twitter untuk menyebarkan laporan palsu tentang
pertempuran bersenjata dan kematian, yang tidak pernah dikonfimasi, untuk
membangkitkan amarah rakyat Iran karena mengira teman-teman sebangsa mereka
sedang diperlakukan brutal oleh pemerintah.
Fakta lain juga menujukkan
bahwa account Twitter yang digunakan untuk mengirim pesan-pesan selama protes
adalah account yang baru saja dibuat dan sebelum aksi protes dimulai, account
itu tidak pernah dipakai untuk mengirim pesan. (Artinya, account itu memang
sengaja dibuat untuk mengacau situasi di Iran—Dina YS)
Dua tokoh neokonservatif
yang punya kaitan erat dengan kalangan militer AS, seperti John Bolton dan
Henry Kissinger selama bertahun-tahun yang lalu telah menyerukan CIA untuk mendanai sebuah “Revolusi Berwarna” di Iran untuk
mengubah rezim di sana.
Dan sejarah juga mencatat,
CIA sebelumnya pada 1953 pernah mendalangi sebuah kudeta di Iran, yang
menggulingkan Perdana Menteri yang terpilih secara demokratis, Mohammed
Mossadegh, melalui “Operasi Ajax”. Skenario yang dilakukan pada saat itu adalah
dengan aksi-aksi pengeboman dan pembunuhan, lalu pemerintah Mossadegh dituduh
sebagai pelaku semua tragedi berdarah itu. Selama masa “Operasi Ajax”, CIA juga
menyuap pejabat pemerintahan Iran, bisnisman (para pengusaha dan korporat), dan
reporter, serta membayar orang-orang Iran untuk turun ke jalan berdemo
menentang Mossadegh.
PENUTUP OLEH DINA Y SULAEMAN
Dalam pidatonya di Kairo, Obama mengakui peran AS dalam “mengkudeta
sebuah pemerintahan yang terpilih secara demokratis”. Mossadegh memang akhirnya
tumbang, dan naiklah Syah Reza Pahlevi sebagai Raja Iran. Konsesi-konsesi atas
ladang minyak dan gas di Iran yang sangat kaya (yang tadinya oleh Mossadegh
dinasionalisasi) akhirnya kembali ke perusahaan-perusahaan AS. Tahun 1979, Syah
Pahlevi ditumbangkan oleh aksi-aksi demonstrasi rakyat di bawah pimpinan Imam
Khomeini.
Dan di tahun 2009, CIA
ingin mengulangi skenario yang serupa. Namun rupanya Iran sudah berubah. Rezim
Mullah ternyata tak sama dengan Rezim Mossadegh. Setelah melalui dua pekan
gelombang kerusuhan (dan menggunakan simbol warna hijau, meniru-niru “Revolusi
Berwarna” di beberapa negara Balkan yang didanai oleh AS), Rezim Mullah tetap
bertahan. Dan situasi kini kembali seperti apa yang memang sudah terjadi selama
30 tahun terakhir: anjing
mengonggong kafilah berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar