Oleh O Hashem (penulis
buku Saqifah)
Mu’âwiyah bin Abu Sufyan,
disebut sebagai fi’ah al-baghiah atau kelompok pembangkang (bughot) oleh Sunnî
maupun Syî’î, karena ia memerangi Imâm Alî yang telah dibaiat secara sah oleh
kaum Anshâr dan Muhâjirîn. Hanya sekitar enam orang yang tidak membaiat Alî
tetapi Alî membiarkan mereka. Di antara yang tidak membaiat Alî bin Abî Thâlib
adalah Abdullâh bin Umar dan Sa’d bin Abî Waqqâsh.
Mu’âwiyah memberontak terhadap
Alî. Sejak Utsmân meninggal tahun 35 H, 656 M. Mu’âwiyah melakukan tiga cara
untuk melawan Alî bin Abî Thâlib:
[1] Melakukan pembersihan etnik terhadap Syî’ah Alî dengan melakukan
jenayah ke wilayah Alî. Pembunuhan terhadap Syî’ah Alî dilakukan terhadap
lelaki maupun anak-anak. Perempuan dijadikan budak. Menyuruh seseorang melaknat
Alî, dan bila ia menolak langsung dibunuh.
[2] Melaknat Alî dalam khotbah-khotbah Jum’at, Idul-Fithri dan
Idul-Adha di seluruh negara. Juga pada musim haji di Makkah.
[3] Membuat hadis-hadis palsu untuk menurunkan martabat Alî
serendah-rendahnya dan membesarkan dirinya serta ketiga khalîfah awal.
MEMBUNUH, SEMBELIH BAYI,
PERBUDAK MUSLIMAH
Tatkala khalîfah Alî masih
hidup, yaitu setelah tahkim, Muawwiyah mengirim ‘mâlikil maut’ yang bernama
Busr bin Arthât dengan 4.000 anggota pasukan berkeliling ke seluruh negeri
untuk membunuh siapa saja pengikut dan sahabat Alî yang ia temui termasuk
perempuan dan anak-anak, kemudian merampas harta bendanya. Perempuan Muslimah
ditawan dan dijadikan budak untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam. Busr
melakukannya dengan baik sepanjang perjalannnya sampai ia tiba di Madînah dan
ia telah membunuh ribuan Syî’ah Alî yang tidak bersalah.
Abû Ayyûb Al-Anshârî, rumahnya
ditempati Rasûl Allâh saw tatkala baru sampai di Madînah ketika hijrah, pejabat
gubernur Alî di Madînah, melarikan diri ke tempat Alî di Kûfah.
Kemudian Busr ke Makkah dan
membunuh sejumlah keluarga Abî Lahab. Abû Mûsâ, gubernur Alî juga melarikan
diri. Ia lalu ke Sarat dan membunuh semua yang turut Alî di perang Shiffîn.
Sampai di Najran ia membunuh Abdullâh bin Abdul Madân Al-Harâ’î dan anaknya,
ipar keluarga Banû Abbâs yang ditunjuk Alî sebagai gubernur. Kemudian ia sampai
di Yaman. Pejabat di sana adalah Ubaidillâh bin Abbâs. Ubaidillâh melarikan
diri tatkala mengetahui kedatangan Busr. Busr menemukan kedua anaknya yang
masih balita. Ia lalu menyembelih dengan tangannya sendiri kedua anak itu di
hadapan ibunya.
Kekejamannya sukar dilukiskan
dengan kata-kata dan memerlukan buku tersendiri. Seorang dari Banû Kinânah
berteriak tatkala Busr hendak membunuh kedua anak tersebut:
“Jangan bunuh mereka! Keduanya
adalah anak-anak yang tidak berdosa dan bila Anda hendak membunuhnya, bunuhlah
saya bersama mereka.” Maka Busr bin Arthât membunuhnya kemudian menyembelih
kedua anak yang berada di tangan ibunya, yaitu Qatsm dan Abdurrahmân. Sang ibu,
Juwairiah binti Khâlid bin Qârizh Al-Kinânîah, istri Ubaidillâh bin Abbâs jadi
linglung dan gila. Di musim haji ia berkeliling mencari kedua anaknya dan
dengan menyayat hati ia bertanya tentang anaknya yang kemudian ditulis oleh
penulis-penulis sejarah seperti yang tertulis dalam Al-Kâmil berikut:
“Siapa yang tahu di mana kedua anakku,
Dua mutiara, baru lepas dari kerang,
Siapa yang tahu di mana kedua bocahku,
Kuping dan jantung hatiku telah diculik orang,
Siapa yang tahu di mana kedua puteraku,
Sumsum tulang dan otakku disedot orang,
Kudengar Busr, aku tidak percaya apa orang bilang,
Berita itu bohong, mana mungkin ia lakukan,
Menyembelih dua bocah, leher kecil ia potong?
Aku bingung, tunjukkan kepadaku, sayang,
Mana bayiku, tersesat setelah salaf hilang”
Ia juga mengirim Sufyân bin Auf
Al-Ghamidi dengan 6.000 prajurit menyerbu Al-Anbar dan Al-Mada’in. Di sini
mereka membunuh pejabat Alî Hassân bin Hassân Al-Bakrî dan orang-orangnya.
Kemudian di Anbar mereka
membunuh 30 dari seratus orang yang mempertahankan kota ini, mengambil semua
barang yang ada, membumihanguskan kota Al-Anbar sehingga kota itu hampir
lenyap. Orang mengatakan bahwa pembumihangusan ini sama dengan pembunuhan,
karena hati korban sangat pedih sekali.
Kepedihan Alî tidak terlukiskan
sehingga ia tidak dapat membaca khotbahnya dan menyuruh maulânya yang bernama
Sa’d untuk membacakannya. Al-Aghânî melukiskan bahwa setelah Ghamidi sampai di
kota Anbar ia membunuh pejabat Alî dan juga membunuhi kaum lelaki maupun
perempuan.
Mu’âwiyah juga mengirim Dhuhhâk
bin Qays Al-Fihrî dengan pasukan yang terdiri dari 4.000 orang ke kota Kûfah
untuk membuat kekacauan dengan membunuh siapa saja yang ditemui sampai ke
Tsa’labiah dan menyerang kafilah haji yang akan menunaikan haji ke Makkah serta
merampok semua bawaan mereka. Kemudian ia menyerang Al-Qutqutanah dan turut
dibunuh kemanakan Ibnu Mas’ûd, sahabat Rasûl, Amr bin Uwais bin Mas’ûd bersama
pengikutnya. Fitnah di mana-mana. Di mana-mana bumi disiram dengan darah orang
yang tidak berdosa.
Pembersihan etnik terhadap
Syî’ah Alî berjalan dengan terencana dan mengenaskan. Kemudian Mu’âwiyah
mengirim Nu’mân bin Basyîr[[1]]
pada tahun 39 H, 659 M, menyerang Ain at-Tamr[[2]]
dengan 1.000 prajurit dan menimbulkan bencana. Di sana hanya ada seratus
prajurit Alî. Perkelahian dahsyat terjadi. Untung, kebetulan ada sekitar 50
orang dari desa tetangga lewat. Pasukan Nu’mân mengira bantuan datang untuk
menyerang dan mereka pergi.
CATATAN:
[1] Nu’mân bin Basyîr al-Anshârî al-Khazrajî, tatkala Rasûl wafat
berumar delapan tahun tujuh bulan. Ia adalah anak Basyir bin Sa’d, teman Abu
Bakar; lihat Bab 8, Pembaiatan Abû Bakar. Ia yang membawa baju gamis Utsmân
yang penuh darah serta potongan jari istri Utsmân, Nailah, ke Damaskus untuk
dipamerkan dan membangkitkan emosi untuk memerangi Alî. Ia akhirnya dibunuh di
zaman Marwân, dipenggal lehernya oleh Banû Umayyah yang dibelanya dan kepalanya
dilemparkan kepangkuan istrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar