Pada
suatu musim haji, ada seorang alim dari Madinah hendak menunaikan ibadah haji,
bernama Abdullah Al-Mubarakah. Untuk menunaikan niatnya itu ia harus berjalan
kaki. Setelah selesai ibadah haji, Abdullah meninggalkan
Mekkah untuk kembali ke kampung halamannya.
Karena
merasa letih selama mengerjakan ibadah haji dengan berjalan kaki, disandarkan
tubuhnya di sebuah pohon kurma. Hari pun telah senja. Keletihan karena
perjalanan panjang dan teriknya panas gurun telah menidurkan matanya. Dalam
lelapnya, ia bermimpi mendengarkan percakapan dua malaikat.
"Bagaimana
keadaan haji tahun ini?" tanya salah seorang malaikat. "Ribuan kaum
muslimin dari segala penjuru sudah memenuhi panggilan Nabi Ibrahim. Di antara
ribuan orang itu, Allah telah menghadiahkan keutamaan haji mabrur kepada salah
seorang hamba-Nya yang tulus." "Siapa
dia?" "Namanya Ali Al-Mu'affa,
seorang tukang sol sepatu di Damaskus."
Abdullah
terbangun sambil mengucap istighfar mengingat mimpi yang dialaminya. Akhirnya
dia bergegas meninggalkan tempat dia beristirahat menuju mesjid terdekat untuk
melaksanakan sholat malam. Setelah itu dia berbaring, sambil terus memikirkan
perbincangan kedua malaikat dalam mimpinya. "Siapakah orang yang dimaksud?" tanyanya
dalam hati.
Matahari
telah timbul, Abdullah melanjutkan perjalanan pulang. Tiba di suatu kampung, ia
singgah di mesjid dan menginap di sana. Pada malam harinya Abdullah kembali
didatangi mimpi yang sama, seperti malam sebelumnya. Maka yakinlah Abdullah
bahwa apa yang dialaminya itu bukan hanya bunga-bunga tidur tapi rukyah
shadiqah (mimpi yang benar).
"Kalau
begitu aku lebih baik pergi ke Damaskus, akan kucari sampai ketemu siapa Ali
Al-Muaffa," katanya dalam hati. Abdullah pun tidak jadi pulang ke Madinah melainkan
melanjutkan perjalanan ke Damaskus.
Hampir
dua bulan ia berjalan kaki menuju kota. Di tempat yang serba asing, tak mudah
untuk mencari seseorang yang tak dikenal sebelumnya, melainkan hanya sebuah
nama. Menelusuri jalan-jalan kota, mampir ke mesjid sambil bertanya nama orang yang
sedang dicarinya.
Setelah
bertanya kesana kemari, akhirnya Abdullah bertemu seseorang yang mengetahui tempat
tinggal Ali Al-Muaffa.
"Assalamu'alaikum," ucapnya.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh," jawab tuan rumah.
"Apakah
ini tempat tinggalnya Ali Al-Muaffa?", tanyanya.
"Betul.
Aku yang tuan sebut. Tampaknya tuan datang dari tempat yang jauh. Bagaimana perjalanan
tuan?" tanya Ali Al-Muaffa.
"Alhamdulillah,
Allah telah mengantarkan diriku dapat bertemu dengan tuan," katanya
gembira.
"Adakah
yang harus aku bantu?"
"Aku
baru selesai menunaikan ibadah haji, dan aku bermimpi bahwa tuan mendapatkan
anugerah dari Allah sebagai penerima haji mabrur. Apakah tuan juga pulang dari
Masjidil Haram, apakah ibadah yang tuan kerjakan?", tanya Abdullah Al-Mubarakah
dengan penuh rasa ingin tahu.
"Aku
sebenarnya belum sempat wukuf di Arafah tahun ini," kata Ali Al-Muaffa.
"Tapi
Allah telah memberi tuan keistimewaan, pasti ada yang luar biasa yang tuan
kerjakan," kata Abdullah heran.
Lalu Ali Al-Muaffa bercerita tentang ihwal dirinya yang
sudah lama bercita-cita ingin menunaikan ibadah haji tapi belum juga
kesampaian.
"Bertahun-tahun
aku tanamkan niat untuk beribadah haji. Sejak niat ditanamkan dalam hati, sejak
itu pula aku menabung menyisihkan sebagian dari upah sebagai tukang sol sepatu
dan sebagian untuk belanja keluarga. Setelah beberapa tahun kemudian, simpanan
kami cukup untuk pulang-pergi dan biaya keluarga selama ditinggalkan.
Pada
suatu hari istriku yang sedang ngidam mencium bau wangi orang membakar daging.
Wanginya menembus celah-celah dinding rumah kami. Istriku menangis supaya aku
minta diberi tetangga yang sedang membakar daging tersebut. Lalu aku kesana dan
mengemukakan keinginan istriku."
"Oh
tidak bisa tuan. Daging ini hanya khusus untuk kami," kata perempuan janda
itu sambil menutup pintu.
"Aku
pun pulang menyampaikan hal itu kepada istriku, namun istriku tidak mau
mengerti. Lalu aku kembali lagi ke rumah janda dengan dua orang anak itu sambil
membawa uang penebus. Baru saja hendak kubayarkan, perempuan itu malah
mengatakan, Maaf tuan Ali. Makanan ini hanya halal untuk kami dan haram untuk
tuan." "Mengapa begitu?" tanyaku. "Yang kami bakar ini adalah daging keledai yang
kami dapati mati di pinggir desa kita ini. Karena aku dan anakku sudah dua hari
ini tidak makan, maka bangkai keledai itu halal bagi kami," kata perempuan
itu.
"Mendengar
itu hatiku bergetar, aku segera pulang mengambil uang biaya perjalanan, lalu
kubelikan sekarung gandum dan sedikit uang untuk biaya belanja mereka. Dan saat
itu pula aku suruh mereka membuang bangkai yang belum sempat mereka makan. Dan
aku batalkan keberangkatanku untuk ibadah Haji. Hanya itu yang dapat aku ceritakan
kepada tuan," kata Ali Al-Muaffa.
Setelah
mendengar kisah itu, Abdullah pun berpamitan, sementara air matanya mengalir
hingga membasahi jenggotnya.
ternyata ibadah haji yg sesungguhnya bukan hanya keberangkatan badan menghadap baitullah, tapi keikhlasan hati menerima semua taqdir...
BalasHapus