Oleh Ali Syari’ati
Rabadzah, gurun yang panas
berapi-api tanpa air atau pertanian di lintasan jalan jemaah haji, menjadi sepi
dan sunyi. Di sana ia mendirikan kemahnya yang telah sobek dan memenuhi
kebutuhannya dengan beberapa ekor kambing yang dimilikinya. Bulan-bulan
berlalu. Kemiskinan makin menjadi-jadi, dan kelaparan semakin tegar. Satu demi
satu kambingnya mati, dan dia serta keluarganya menghadapi maut dalam kesepian
gurun pasir. Putrinya meninggal. Ia menanggungnya dengan sabar dan memandangnya
sebagai pada jalan Allah. Sebentar kemudian, kelaparan menyerang putranya. Ia
merasa bertanggungjawab. Ia pergi ke Madinah dan mencari uang tunjangannya,
yang telah dihentikan oleh Utsman. Utsman tidak menjawabnya. Ia kembali dengan
tangan hampa. Ia dengan tangannya sendiri menguburkan putranya itu.
Abu Dzar dan Ummu Dzar tinggal sendirian. Kemiskinan, lapar dan usia tua telah
sangat melemahkan Abu Dzar. Pada suatu hari ia merasa bahwa kekuatannya telah
berakhir. Lapar mengganggu dia. Ia berkata kepada Ummu Dzar, “Bangunlah.
Barangkali di gurun ini kita akan mendapatkan beberapa lembar daun untuk
sedikit menenangkan rasa lapar kita.” Wanita dan pria, sampai sangat jauh dari
lingkungan kemah itu, mencari dan tidak mendapatkan apa-apa. Ketika mereka
kembali, Abu Dzar telah kehabisan tenaganya. Tanda-tanda kematian menunjukkan
diri di hadapan wajahnya.
Ummu Dzar mengerti, dan, dengan cemas, bertanya, “Apa yang sedang terjadi atas
diri engkau, Abu Dzar?” “Perpisahan telah dekat! Tinggalkan mayat saya di
jalan, dan mintalah pertolongan para musafir untuk membantu Anda menguburkan
saya.” “Musim haji telah berlalu, tidak ada musafir.” “Tak mungkin. Berdiri dan
pergilah ke atas bukit itu. Ada orang yang mau datang untuk kematian saya.” Ummu
Dzar, dari puncak bukit itu, melihat tiga orang penunggang yang sedang datang
dari jauh. Ia memberi isyarat kepada mereka. Mereka datang mendekat.
“Semoga Allah memberkati
engkau. Seorang laki-laki sedang menghadapi kematian. Tolonglah saya
menguburkan dia dan terimalah upahnya dari Allah.”“Siapakah dia?”
“Abu Dzar.” “Sahabat Nabi?” “Ya” “Semoga ibuku dan ayahku dikuburkan untuk
engkau, wahai Abu Dzar!” Mereka berdiri di hadapannya. Ia masih hidup. Ia
meminta kepada mereka, “Siapa di antara kamu yang petugas pemerintah,
mata-mata, atau tentara, janganlah ia menguburkan saya. Apabila saya dan istri
saya mempunyai secarik kain untuk kafan saya, tidak akan ada sesuatu
keperluan.”
Hanya seorang pemuda [25] di antara kaum Anshar itu yang tidak
berprofesi dalam pemerintahan, yang mengatakan, “Saya mempunyai kain ini, yang
ditenun oleh ibu saya.” Abu Dzar berdoa untuknya dan mengatakan, “Kafanilah
saya dengan kain itu.” Pikirannya tenang, segala sesuatu segera akan berakhir.
Ia menutup matanya dan tidak pernah membukanya lagi.[26] Para
musafir itu menguburkannya di bawah pasir gurun Rabadzah yang panas. Si Anshar
yang muda usia itu berdiri di samping kuburnya, berbisik di bawah napasnya,
“Nabi Allah menyatakan dengan benar, Ia berjalan sendirian, meninggal sendirian
dan akan dibangkitkan sendirian!”
“Bilamana?” “Pada kebangkitan di Hari Kiamat.” “Dan, juga, pada kebangkitan di
setiap zaman dan di tengah setiap generasi.” “Dan sekarang, sekali lagi, Abu
Dzar, yang termasuk di antara semua wajah-wajah yang terkubur di dalam
pekuburan sejarah yang tidak bertepian ini, di zaman kita dan di antara kita,
akan dibangkitkan sendirian.”
Catatan:
11. Saqifah: suatu balai
di Madinah yang dahulunya digunakan oleh dua suku utama, Aus dan Khazraj, untuk
menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka di jaman Jahiliah. Pada zaman
Islam, saqifah itu terbengkalai, persengketaan- persengketaan diselesaikan di
Masjid Nabi, tidak lagi di saqifah. Pada waktu wafatnya Nabi, suatu kelompok,
yang bertindak bertentangan dengan kehendak dan wasiat Nabi, pergi ke saqifah
untuk memilih seorang khalifah. Karena Nabi belum lagi dimakamkan dan masih
terbaring di masjid, mereka tidak dapat mengadakan pertemuannya di masjid,
sementara Ali sedang membuat persiapan upacara yang terakhir bagi Nabi Allah.
Pertemuan di saqifah ini adalah pertanda pertama kembalinya zaman Jahiliah.
12. Inklinasi Islam serta bergesemya dari asal ― yang dimulai di saqifah ―
ditekankan dengan pengetahuan para organisator dan orang-orang yang mengambil
keuntungan daripadanya. Ibn Khaldun secara hati-hati memberikan pendapatnya
bahwa Umar tidak berniat untuk secara mendasar menolak suatu sistem kerajaan;
dan Mu’awiyah, dalam jawaban yang diberikannya kepada Muhammad bin Abu Bakar,
putra dari khalifah yang pertama itu, memberikan sorotan penerangan pada
seluruh peristiwa itu. Yang berikut ini adalah terjemahan dari teks yang asli
dari surat Muhammad bin Abu Bakar serta jawaban Mu’awiyah, dikutip dari
Murujudz Dzahab, oleh Mas’udi.
Ketika Ali memberhentikan Qays bin Sa’ bin Ubadah dari jabatan sebagai penguasa
Mesir, ia mengutus Muhammad bin Abu Bakar sebagai penggantinya. Ketika sampai
di Makkah, Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Mu’awiyah, sebagai
berikut:
“Dari Muhammad bin Abu Bakar, kepada Mu’awiyah yang telah tersesat. Allah,
dengan keagungan-Nya dan kekuasaan- Nya menciptakan manusia menurut Kebijaksanaan-Nya;
Kekuasaan-Nya tiada taranya. Ia tidak memerlukan apa-apa dari hamba-hamba-Nya;
malah ia menciptakan mereka untuk mengabdi (kepada-Nya), memberi petunjuk
kepada mereka, menyesatkannya, memberikan keberuntungan dan kemalangan kepada
mereka, dan kemudian, melalui pengetahuan. Ia memilih Muhammad, shalawat Allah
dan salam atas beliau dan keluarga beliau, dari antara mereka. Ia memilih
beliau dengan pengetahuan-Nya sendiri; Ia memilih beliau untuk risalah-Nya,
sebagai pengemban amanat Risalah-Nya. Ia menugaskan beliau sebagai seorang
Rasul yang menyampaikan berita gembira dan ancaman ketakutan. Orang pertama
yang menerima beliau, yang menaati, beriman, membenarkan, menyerah dan menerima
Islam, adalah saudara misannya, Ali bin Abi Thalib, yang membenarkan yang gaib.
Ia lebih mencintai Nabi daripada semua orang lainnya. Dengan jiwanya melindungi
beliau dari setiap ancaman bahaya. Ia berjuang melawan musuh-musuh beliau. Ia
bersahabat dengan sahabat- sahabat beliau. Siang dan malam, dalam saat-saat
ketakutan dan kelaparan, ia menawarkan hidupnya sampai pada titik bahwa
keutamaan haknya menjadi jelas. Tidak ada orang yang setara dengan dia di
antara para pengikut itu.
“Saya melihat engkau sebagai orang yang mencoba hendak mengatasinya (Ali),
tetapi engkau adalah engkau dan ia adalah orang yang mukhlis, anak-anaknya
lebih baik dari semua orang lainnya; istrinya pun lebih baik dari semua orang
lainnya; saudara sepupu Muhammad lebih baik dari semua orang lainnya;
saudaranya (Ja’far) mengorbankan nyawanya pada perang Mu’tah, dan pamannya
(Hamzah) adalah orang yang, pada perang Uhud, menjadi penghulu syuhada’. A
yahnya adalah penyokong Nabi Allah, shallalaahu ‘aalaii wa ‘alaa aalihi wa
sallam. Tetapi engkau adalah anak yang terkutuk dari yang terkutuk. Engkau dan
ayahmu terus menerus menghalang- halangi jalan Nabi. Engkau berusaha untuk
memadamkan cahaya Allah. Engkau membentuk kelompok-kelompok untuk tujuan ini.
Engkau mengerahkan harta kekayaan, dan engkau menghasut manusia menentang
beliau. Ayahmu mati di jalan ini dan anda menggantikan ia dalam pekerjaan ini.
Orang-orang yang tertinggal dari antara berbagai partai dan para pemimpin kaum
munafiqin, yang melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah dan yang mencari
perlindungan padamu, menjadi saksi akan kata-kata ini; dan orang-orang yang
memberi kesaksian kepada Ali serta kebajikannya yang terus-menerus, yang jelas,
adalah sahabat-sahabatnya dan yang termasuk di antara para Anshar dan Muhajirin
yang kebajikan-kebajikannya telah disebutkan Allah, dan Ia telah memuji mereka.
Mereka bersama Ali, kelompok demi kelompok, dan mereka mengakuisuara parau
menentang penindasan sebagai kebenaran untuk mengikutinya, dan keburukanlah
yang menentang dia. Celakalah engkau! Bagaimana maka engkau memandang dirimu
setara dengan Ali, sedang ia adalah pewaris dan Nabi Allah Saw, ia adalah ayah
dari putra-putrinya dan ia adalah pengikut Islam yang pertama dan lebih dekat
dari siapa pun kepada beliau. Nabi menyampaikan kepadanya rahasia- rahasia
beliau, dan beliau memberitahukan kepadanya akan pekerjaan beliau, tetapi
engkau adalah musuh beliau dan anak dari musuh beliau.
“Tiada peduli apa pun keuntungan yang engkau peroleh dari kefasikanmu di dunia
ini dan bahkan apabila Ibn ‘Ash menghanyutkan engkau dalam kesesatanmu, akan
nampak bahwa waktumu telah berakhir dan kelicikanmu tidak mempan lagi. Maka
akan menjadi jelas bagimu kepunyaan siapa mas a depan yang mulia. Engkau tidak
mempunyai harapan akan pertolongan Allah, yang tidak engkau pikirkan, yang
kepada- Nya engkau berbuat licik. Ia sedang menunggu untuk menghadang engkau,
tetapi kesombonganmu membuat engkau menjauh dari Dia! Salam bagi orang-orang
yang mengikuti petunjuk yang benar.”
Sebagai jawaban atas surat Muhammad bin Abu Bakar itu, Mu’awiyah menulis
sebagai berikut:
“Dari Mu’awiyah kepada yang mencela ayahnya sendiri, Muhammad bin Abu Bakar:
Saya menerima suratmu di mana engkau berbicara tentang keagungan, kebenaran dan
kekuasaan Allah dan salam atas beliau dan keluarga beliau dan kata-kata lain;
engkau memperlihatkan kelemahanmu dan kerendahan derajat ayahmu, tentang
kebajikan-kebajikan anak Abi Thalib, latar belakang sebelumnya, kedekatannya
kepada Nabi Allah, salawat Allah atas beliau, dan bahwa pada saat ketakutan dan
bahaya, ia melindungi beliau dan menawarkan jiwanya kepada beliau, dan
kesalahan yang engkau timpakan terhadap diri saya untuk membuktikan kebajikan
orang-orang lain ― bukan kebajikanmu ―dan saya menyembah kepada Allah Yang
mengambil kebajikan-kebajikan ini dari engkau dan memberikannya kepada
orang-orang lain. Ayahmu dan saya, jelas dan memang semestinya, mengetahui hak
dan kebajikan- kebajikan dari anak Abi Thalib. Ketika sampai janji Allah kepada
Nabi Saw, dan Ia menunjukkan bukti-Nya, dan ia mengambil beliau ke sisi-Nya,
ayahmu dan Umar adalah orang- orang pertama yang merebut hak-haknya (hak-hak
Ali) dan membuat kekeliruan, dan dalam hat ini, mereka telah sepakat dan
berbicara serupa dan merekameminta dia untuk memberi- kan bai'atnya kepada
mereka. Ia mundur dan menolak. Mereka berlaku kasar kepadanya dan mereka
mempunyai maksud- maksud buruk kepadanya. Kemudian ia memberikan bai'atnya dan
menyerah, tetapi mereka tidak membolehkan dia untuk ikut serta. Mereka tidak
mengatakan kepadanya tentang rahasia-rahasia mereka, dan orang yang ketiga dari
mereka, Utsman, juga mengikuti jalan dan metode mereka. Engkau dan temanmu
berbicara tentang kerusakan-kerusakannya (Utsman) agar orang-orang yang berdosa
di propinsi-propinsi mengembangkan maksud-maksud buruk terhadapnya, dan engkau
bangkit melawannya. Engkau menunjukkan permusuhanmu kepadanya untuk mencapai
keinginan- keinginanmu sendiri. Hai, putra Abu Bakar, berhati-hatilah atas apa
yang kau lakukan. Jangan merentangkan dirimu melebihi apa yang engkau urusi.
Engkau tidak dapat menemukan seseorang (mengenai dirinya sendiri) yang
mempunyai kesabaran yang lebih besar dari gunung, yang tidak pernah menyerah
kepada sesuatu peristiwa, yang tiada seorang pun dapat mencapai
kedalaman-kedalamannya, tiada seorang pun yang dapat menyamainya. Ayahmu
bekerja sama dengan dia dan mengukuhkan kekuasaannya. Apabila apa yang sedang
engkau lakukan adalah benar, ayahmu mengambil alih kekuasaannya. Apabila yang
sedang engkau lakukan adalah bellar, ayahmu mengambil alih kekuasaan ini dan
kami menjadi sekutunya. Apabila ayahmu tidak melakukan hat ini, maka kami tidak
akan sampai menentang anak Abi Thalib, dan kami akan sudah menyerah kepadanya.
Tetapi kami melihat bahwa ayahmu memperlakukan ilia seperti ini di hadapan
kami, dan kami pun mengikutinya; maka cacat apa pun hendak engkau dapatkan, arahkanlah
itu terhadap ayahmu sendiri, atau berhentilah dari turut campur. Salam bagi dia
yang kembali.
13. Muhajirin: Para sahabat nabi yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Bentuk
tunggalnya ialah muhajir.
14. Anshar (Anshor): Para sahabat nabi yang tinggal di Madinah dan yang
membantu beliau berhijrah dari Makkah ke Madinah dan orang-orang penclucluk
Madinah yang membantu beliau menegakkan sistem pemerintahan Islam di Madinah.
15. Nama-nama dan sebagian kekayaan beberapa individu dari suatu grup di zaman
Utsman, dan melalui perantaraannya, menumpuk kekayaan, diuraikan di bawah ini.
Sebagian dari orang-orang ini juga memegang kekuasaan. Sebelum menyebutkan
orang-orang ini, perlulah kita perhatikan bahwa mata uang sebelum Islam, dan
juga pada zaman Islam, adalah mata uang dirham dan dinar. Mata uang dinar
tersebut dari emas, sedang dirham terbuat dari perak. Dinar terbuat dari emas
seberat kira-kira 4,55 gram ― dan yang tidak lama kemudian sekitar 4,25 gram
(Da’rat al-Mu’arif, dinar). Satu dinar bernilai sepuluh dirham, dan
kadang-kadang nilainya naik sampai tiga belas atau lima belas dirham. (Jorji
Zaidan, Tarikh Tamaddun Islam, jilid I, hal. 101).
Apabila kita bandingkan nilai mata uang pada masa itu (zaman Utsman) dengan
nilainya pada abaci ketiga Hijriah (abad kesepuluh M.), dan apabila kita
pertimbangkan surat-surat pembelian Ja’far bin Qudamah, yang menyangkut
transaksi dalam tahun 225 H. (847M.), harga setiap enam ton campuran gandum
wheat dan barley adalah 30 dinar. Berdasarkan harga ini maka 200 kilogram
gandum berharga satu dinar. (Tarikh i Tamaddun Islam, jilid II hal. 246 dan
282). (Catatan: Dengan mempertimbangkan bahwa satu dinar terdiri dari 4,25
hingga 4,55 gram emas, dan harga emas setiap gramnya Rp. 22.300,- maka satu
dinar sama nilainya dengan 4,25 sampai 4,55 x Rp 22.300 = Rp 94.775,- sampai
Rp. 101.465,- atau rata-rata 1 dinar = Rp 98.120,-; dan satu dirham (dinar
perak) bernilai 1/15 sampai 1/10 dari nilai dinar tersebut di atas, yakni
minimal Rp. 6.541,- sampai Rp. 10.146,- atau rata-rata 1 dirham = Rp. 8343,-.
Perhitungan nilai ini berdasarkan harga emas dan kurs rupiah pada 20 Oktober
1986).
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai mata uang ini, maka besarnya kekayaan
orang-orang dalam grup Utsman ini dapat dibayangkan. Dalam pada itu, nilai-nilai
yang dikutip di atas itu dapat dibandingkan dengan dua kenyataan ini: “Nabi,
menjelang sakitnya, mempunyai sedikit uang. Beliau mengirimkan uang itu kepada
Ali untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan; menurut hadis-hadis,
uang itu berjumlah tujuh atau enam dinar.” (Zarinkub, Bamdan-i-Islam, hal. 51,
dikutip dari Al-Sirat al-Halibiyah, jilid III, hal. 390). “Sering terjadi, pada
Ali, tidak terdapat apa-apa selain apa yang dipakainya. Di musim dingin ia
biasa menggigil kedinginan... dan kadang-kadang ia membawa pedangnya ke pasar
dan menjualnya. Disebutkan bahwa ia berkata,
“sekiranya saya mempunyai empat dirham untuk membeli gandum, saya tidak akan
terpaksa menjual pedang saya ini.” (Bamdad-i-Islami, hal. 111).
Sekarang, marilah kita lihat kekayaan orang-orang dalam grup Utsman:
a. Marwan bin Hakam, penasihat Utsman dalam setiap urusan. Ketika Armenia
ditaklukkan, Utsman mengambil khums dari sana dan memberikan semua khums itu
kepada Marwan. Selain itu, Fadak, yang adalah warisan Fathimah s.a., dan yang
diambil Abu Bakar daripadanya, diberikan kepada Marwan, dan kemudian Utsman
memberikan lagi kepadanya 1.000 dirham. Ketika khums dari Afrika dikirimkan ke
Madinah, Marwan membelinya dengan harga 500.000 dinar, tetapi Utsman
mengembalikan uang itu kepada Marwan.
b. Hakam bin ‘Ash. Orang ini termasuk di antara orang- orang yang telah diusir
oleh Nabi. Utsman memanggilnya kembali ke Madinah. Ketika menemui Utsman,
pakaiannya robek-robek. Ketika pergi lagi, ia memakai baju bulu yang mahal; Utsman
memberikannya uang 100.000 dirham.
c. Harits bin Hakam. “Utsman memberikan kepadanya pasar di Madinah, yang
dahulunya telah diberikan oleh Nabi kepada fakir miskin. Ketika Harits kawin
dengan putri Utsman, selain apa yang telah diberikan kepadanya sebelumnya,
Utsman memberikan lagi kepadanya 100.000 dirham serta pengurusan zakat dari
Qad’ah. Dan sini ia beroleh pendapatan tiga juta dirham. (Jardaq; Ali, jilid V,
hal. 145; Khulafah dar Pisygah-i-Idalat, hal. 223 dan Jardaq, jilid IV, hal.
247).
d. Abu Sufyan. Ketika Utsman memberikan 100.000 dirham kepada Marwan, ia juga
memberikan kepada Abu Sufyan uang sebanyak 100.000 dirham.
e. Bani Umayyah. Utsman mengambil padang rumput di sekitar Madinah yang telah
diberikan Nabi untuk daerah penggembalaan umum kaum Muslimin, dan menjadikannya
area penggembalaan untuk peternakan Bani Umayyah. Di samping itu, juga Utsman
memberikan sejumlah besar harta yang dikirim dari lrak ke Madinah,
dibagi-bagikan di kalangan Bani Umayyah (Jardaq, jilid V; hal. 145, 146).
f . Abdulah bin Khalid bin Asidah Umayyah. Ketika ia meminta bantuan kepada
Utsman, Utsman memberikan kepadanya 400.000 dirham, (Khulafah, Muhammad Ali:
Zindigani-i-Zindigani-i-‘Ali, hal. 158).
g. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Ia adalah saudara angkat Utsman, dan
menjabat kedudukan gubemur di Mesir. Utsman memberikan kepadanya semua harta
rampasan perang di Mesir, penguasaan tanah dari Mesir ke Tigris, tanah kaum
Muslimin, ke dalam tangan Abdullah bin Sarh. Abdullah bin Sarh termasuk tokoh
pemimpin Jahiliah sebelum memeluk agama Islam, dan sesudah itu pernah kembali
murtad.
h. Sa’ad ibn Abi al-‘Ash. Utsman memberikan kepadanya 100.000 dirham. (Khulafah
dar Pisygah ‘Idalat, hal. 220).
i. Thalhah. Ia menerima sejumlah 2.000 dinar dan 50.000 dirham yang diberikan
Utsman kepadanya dari baitul mal. Ia membangun sebuah istana di Kufah, yang
terkenal tiga ratus tahun kemudian ― menurut Mas’udi dalam Murujudz Dzahab ―
dengan nama Dar al-Tarhatain. Pendapatan Thalhah dari hasil pertanian di daerah
Kinas di Irak adalah 1.000 dinar setiap harinya. Menurut Mas’udi, tercatat
bahwa ia menerima lebih banyak lagi dari Shara. Di Madinah ia mempunyai sebuah
rumah yang serupa dengan rumah kediaman Utsman, yang dibangunnya dan semen
stucco, batu bata dan kayu hitam, (Jardaq, jilid V, hal. 146, Ibn Khaldun,
Muqaddimah, jilid I, hal. 404, Khulafah, hal. 226).
j. Zubair. Utsman memberikan kepadanya 6.000 dinar. Dengan uang itu ia
membangun rumah yang ia sewakan. Ia mempunyai 15 rumah di Madinah, 2 rumah di
Basra, 1 rumah di Mesir. Menurut Mas’udi, dalam masa pemerintahan Utsman,
Zubair mempunyai seribu orang budak laki-laki dan seribu orang budak perempuan,
dan harta bendanya yang tertinggal setelah matinya, adalah pula 50.000 dinar.
Selain itu ia meninggalkan seribu ekor kuda. (Jardaq, jilid V; hal. 147; Ibn
Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).
k. Abdur-Rahman bin Auf. Ia mempunyai banyak rumah dengan seratus ekor kuda
pada setiap kandangnya. Jumlah kudanya seribu ekor, unta seribu ekor dan biri-
biri sekitar beberapa puluh ribu ekor. Uang tunainya lebih dari 3.000.000
dinar.
l. Zaid bin Tsabit. Setelah mati, ia meninggalkan demikian banyak balokan emas
dan perak, sehingga, menurut Mas’udi, mereka membelahnya dengan kapak. Ia juga
mempunyai banyak harta dan kebun. Harta bendanya mencapai 100.000 dinar dan
uang tunai sebesar 100.000 dinar ketika ia meninggal (Jardaq, jilid V, hal.
147; Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403; Khulafah, hal. 229).
m. Yali bin Manbah. Ketika ia meninggal, ia mempunyai kekayaan senilai 50.000
dinar dan sejumlah besar uang tunai yang berasal dari orang-orang fakir miskin.
Ia juga meninggalkan banyak kebun. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404; Jardaq,
jilid B, hal. 147).
n. Sa’ad ibn Abi Waqqas. Ia membangun sebuah rumah di ‘Aqiq, yang berloteng
tinggi, dan ia memberikan ruangan khusus di sekelilingnya dan membangun sebuah
kubah yang indah di depannya. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 404).
16. Kafir: bentuk tunggal dari kufaar. Orang yang mempraktekkan
kepercayaan-kepercayaannya syirk (syirik, politeisme) dalam bentuknya yang
menutupi atau menyangkal kebenaran agama (kufur).
17. Imamah: “Imamah merupakan suatu tugas yang sangat penting dalam hal
memimpin, membimbing, menjaga dan mendorong masyarakat dan perorangan dari ‘apa
yang ada’ ke ‘yang semestinya ada’, dengan kurban apa pun, tetapi bukan menurut
keinginan-keinginan dari Imam itu sendiri, melainkan didasarkan pada suatu
akidah yang permanen yang dipatuhi juga oleh Imam itu sendiri melebih setiap
orang lainnya, dan yang untuk itu Imam bertanggung jawab. Di sinilah letak
perbedaan antara imamah dan sistem diktator, dan kontradiksi serta perlawanan
yang timbul antara kepemimpinan seorang cendekiawan revolusioner serta
kepemimpinan seorang individu yang despotik...” (dan: Kumpulan Karya Ali Syari’ati,
jilid XXVI: Ali!, hal. 521).
18. Tatslits: trinitas, tritunggal (despotisme, emas, penipuan): “Definisi
ilmiah zaman sekarang tentang tatslits ialah ketuhanan ganda tiga. Tatslits
berarti tiga tiran despotik yang sombong. Segi tiga bencana di mana semua nabi,
para pencari keadilan dan para syahid kemanusiaan dikuburkan, sesuatu jimat
bencana yang, seperti perbudakan, telah menimpa tengkuk umat manusia, telah
membelenggu para pelayan tuhan dunia serta dewa-dewa masyarakat. Jimat bencana
bersisi tiga itu: tiga serikat dalam satu usaha; yang pertama (depotisme)
merantai kepala manusia; yang kedua (emas) mengosongkan kantong mereka; dan
yang ketiga (penipuan) ― satu anggota serikat, bersama yang dua lainnya ― dalam
wajah seorang agamawan dan dengan kata-kata surgawi, berbisik ke
telinga-telinga mereka: sabarlah, saudaraku seiman; tinggalkanlah dunia ini
kepada manusia-manusia duniawi; jadikanlah laparmu sebagai modal bagi
pengampunan dosa-dosa Anda... inilah ketiga konspirator, tiga sekutu dalam
kejahatan. Ka’in dalam tiga samaran ―tiga dewa yang terus menerus ― dari
tritunggal itu. Baik dalam baju kufur atau dalam jubah Islam, dalam pakaian
syirk atau pakaian tauhid, mereka menguasai watak dan nasib manusia ― di mana
pun dan di zaman apa pun ― atas nama agama, sepanjang masa, di seluruh
rentangan bumi; ketiga tiran yang sombong, despotik, adalah tiga wajah dari
Kain. Ketiga thagut ini adalah tiga berhala yang berdiri sendiri- sendiri.
Masing-masing mempunyai nama, gelar, dan basis operasi sendiri, tetapi ketiga-tiganya
adalah pelaku kejahatan yang sama; ketiganya berada dalam satu garis, ketiganya
berdiri di hadapan jalan pribadi yang bertanggung jawab dan orang yang dalam
jalan itu.
“Lebih penting dari segala-galanya, ketiga-tiganya, sementara pada saat yang
sama mereka merupakan tiga wujud yang berdiri sendiri-sendiri, ketiganya adalah
manifestasi dari satu wujud: Iblis. Hanya ada satu wujud, dan, pada saat yang
sama, ada tiga: tiga wujud dan sementara itu adalah juga satu! Alangkah
ganjilnya. Inilah definisi ilmiah zaman sekarang tentang tritunggal- tiga dewa!
Di kalangan Judaisme zaman sekarang: tiga klan; di kalangan lain: Bapak, Anak,
dan Roh Kudus; di Yunani, tiga wajah dalam satu kepala. Dalam Hinduisme, Manu
dalam tiga hakikat: kepala, tangan dan dana; dan di Persia kuno: Ahura Mazda
dalam tiga api di Gashsh, Istakh dan Barzinemerh.
Maksud saya : tritunggal yang subyektif adalah reaksi terhadap tritunggal
obyektif. (Umpamanya, dalam satu agama masa kini). Tuhan itu Satu, satu
Hakikat, satu Prinsip, satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang
berbeda- hecla, yang sama dengan tritunggal kelas: kelas penguasa adalah satu,
satu Kekuasaan, satu Pusat, namun dalam tiga wajah yang berbeda-beda, yang sama
dengan tritunggal kelas: Kelas penguasa adalah satu, satu hakikat, satu
prinsip, satu kekuasaan, satu pusat, tetapi dalam tiga wajah: emas, despotisme,
penipuan.
Kelas penguasa, sepanjang sejarah, berubah dari satu kekuasaan yang tunggal,
yang merupakan satu-satunya ‘pemilik’ dan ‘majikan’, pemegang uang dan
kekuasaan, sebagai suatu akibat dari transformasi manusia dan pengetahuan,
perkembangan ekspresi, tipuan, munafik, kelicikan, teknik, agama, dan obat
penawar, menjadi berdimensi tiga; kekuatan yang berkuasa yang merupakan sang
tuan dan memegang pecut di tangannya, dan tiada lagi selain pecut,
mengembangkan dan mengambil alih rakyat dalam tiga cara. Wajah yang satu
menjadi manifestasi dari kekuasaan ekonomij yang satu lainnya dalam bentuk
manifestasi kekuasaan politik, dan yang ketiga, dalam bentuk manifestasi
kekuasan dalam keagamaan.
Sebelum ini, orang yang menggunakan cambuk ini, juga berkewajiban untuk
merampok, mendisiplinkan dan mendidik orang-orang liar, yang teragitasi dan
tidak beradab; dan tiga tindakan dilakukan pada saat yang sama. Kemudian,
berangsur-angsur dengan perkembangan segala hal, kelas yang disatukan ini
muncul sebagai suatu kekuatan kelas yang bermuka tiga, dan kemudian, dewa
syirik yang berada di puncaknya dimanifestasikan dalam bentuk tritunggal dan
menjadi bermuka tiga untuk membenarkan sistem dua kelas, mustadh’afin (kaum
yang dilemahkan dan tertindas) dan mustakbarin (kaum yang sombong dan
menindas). (Kumpulan Karya, jilid VI: Analisa tentang Ibadah Haji, hal. 173,
202, 205-208 dan Jilid IV: Kembali kepada Diri Sendiri, hal. 381).
19. Adil (keadilan); salah satu prinsip agama dalam Syi’ah.
20. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34-35,
21. Al-Qur’an, surah at-Taghaabun ayat 17.
22. Al-Qur’an, surah Ali ‘Imran ayat 96.
23. Al-Qur’an, surah at-Taubah ayat 34 (lihat catatan no. 9).
24. Menurut ‘jihad ofensif’ untuk menaklukkan negara-negara lain dalam rangka
membawanya kepada Islam, dilarang, dalam keadaan tidak hadirnya Imam suci;
tetapi ‘jihad defensif’ wajib saat ada atau tidak adanya Imam suci, atau bahkan
ada atau pelanjut Imam suci itu.
25. Si pemuda Anshar itu, menurut sebagian riwayat, adalah Malik al-Asytar.
26. Abu Dzar meninggal pada tahun 32 atau 31 H. (652-653 M.) dengan
meninggalkan banyak hadis dan riwayat. Tiga tahun sepeninggalnya, rakyat
Madinah bangkit, dan Utsman terbunuh oleh mereka, dihadapan anak-anaknya.
Setelah terbunuhnya Utsman, hal-hal yang berikut ini dikatakan tentang harta
kekayaan yang ditinggalkannya: 150.000 dinar emas, 1.000.000 dirham perak dalam
tangan bendahara pribadinya. Harga dari harta miliknya di Hunain Cantara Makkah
dan Tha’if) dan Wadi al-Qurah (dekat Madinah) serta tanah-tanah lainnya adalah
senilai 200.000 dinar. Selain itu, ia meninggalkan 1.000 ekor unta dan ban yak
kuda. Permata-permata dan perhiasan, digunakan sebagai kalung di leher
putrinya. Ketika rakyat menyatakan keberatannya atas hal ini, Utsman berang.
Dari atas mimbar ia mengatakan: “Kami mengambil apa yang kami perlukan dari
Baitul Mal, sekalipun sebagian orang tidak menyenanginya. Semoga hidungnya
digosokkan di tanah.” Utsman telah membangun sebuah rumah besar di Madinah yang
pintu-pintunya terbuat dari kayu hitam. (Ibn Khaldun, jilid I, hal. 403;
Jardaq, jilid V; hal. 148, 162, 163; Khulafah, hal. 230).