Sam’ani, sang penulis sufi itu,
menafsirkan turunnya Adam dari Surga bukan semata-mata disebabkan dosa, tetapi
lebih karena cinta. Justru karena Adam (manusia) dipercaya untuk menjadi
khalifah (penghuni) dunia. Dan setelah menghuni dunia, Adam (manusia) pun
mengetahui dan merasakan penderitaan (ujian) selain kesenangan (pahala).
Sam’ani menulis:
“Tuhan membawa Adam masuk ke dalam taman
kelembutan dan mendudukkannya di atas singgasana kebahagiaan. Dia memberinya
guci-guci keriangan, satu demi satu. Kemudian mengeluarkannya, mendukai,
membakar, meratapi. Sehingga, sebagaimana Tuhan membiarkan dia mencicipi
kelembutan pada awalnya, maka Dia juga membuatnya merasakan tegukan kekerasan
yang murni, tak tercampur, dan tanpa penyebab”.
Oleh Sulaiman Djaya (Penyair)
Turunnya Adam dari Surga dipahami
sebagai anjuran dan tugas untuk berkarya di dunia. Pada yang fana. Keberadaan
Adam di Surga lebih karena kebelumsiapannya dalam pandangan Tuhan untuk
menghuni dan bertugas di bumi. Sam’ani menulis:
“Adam masih seorang anak kecil, sehingga
Tuhan membawa dia ke jalan perawatan. Jalan anak-anak adalah satu hal, tungku
perapian para pahlawan adalah hal lain. Adam kemudian dimasukkan ke Surga di
pundak para malikat besar di kerajaan Tuhan. Surga dijadikan ayunan untuk
kebesarannya dan bantal bagi kepemimpinannya, karena dia belum mampu menumpu
tahta kekerasan”.
Adam tidak dianjurkan untuk menolak
dunia dan yang fana. Justru keinginannya untuk kembali mendapatkan Surga hanya
setelah dia mampu mencintai dunia dan berkarya di dalamnya. Adam (manusia) bisa
diijinkan kembali ke Surga hanya setelah ia merampungkan tugasnya di dunia
(bertaubat). Sam’ani pun melanjutkan:
“Dalam bejana-bejana keberadaanmu
terdapat batu-batu permata dan berlian yang bersinar. Tersembunyi di dasar
lautan keadaanmu adalah zamrud dan pecahan tanah. Dan tentang Kami, Kami
mempunyai dua rumah: dari satu rumah kami menggelar taplak makan dari
kenikmatan yang bagus, di rumah yang lain Kami menyalakan api kemurkaan. Jika
Kami harus membiarkan kamu tinggal di Surga, sifat kekerasan kami tidak akan
puas. Jadi tinggalkanlah tempat ini dan turunlah ke permukaan tungku perapian
derita dan wadah penggemblengan yang jauh. Maka Kami akan mengeluarkan
perbendaharaan, artefak, kesubtilan, dan kewajiban yang tersembunyi dalam
hatimu”.
Dengan demikian dunia (yang fana)
menjadi wadah, bejana, dan tempat tugas sekaligus pengujian Adam (manusia)
justru untuk membuktikan apakah pertaubatannya diterima dan layak mendapatkan
dan menghuni Surga setelah ia mengafirmasi dunia. Di saat Adam (manusia) mampu
beralih dari tahap kanak-kanak (tahap surga) menjadi pahlawan (tahap dunia).
Sam’ani pun meneruskan:
“Jika hanya ada ruh, hari-hari Adam akan
menjadi bebas dari noda dan perbuatannya masih tetap sama tanpa persetubuhan.
Tetapi perbuatan yang tanpa cela tidaklah cocok untuk dunia ini, dan sejak awal
dia diciptakan untuk menjadi khalifah bagi dunia ini”.
Begitulah ketika Adam (manusia) tinggal
di dunia (yang fana) ia menyadari kerentanannya pada kesalahan dan dosa. Tapi
justru untuk semakin menyadarkan bahwa dirinya adalah manusia. Sam’ani pun
menuturkan:
“Esok hari, Adam (manusia) akan kembali
masuk Surga bersama semua anak keturunannya. Sebuah teriakan akan muncul dari
seluruh partikel Surga. Karena kerumunan itu, para malaikat dari alam malakut
akan menatap penuh kekaguman dan berkata: inikah orang yang dikeluarkan dari
Surga beberapa hari yang lalu dalam kemiskinan dan kehinaan?”
Kemiskinan dan kehinaan adalah suatu
beban yang diciptakan kepada manusia akan rasa tidak pernah puas dan kebebasan
kehendak. Sam’ani menyebutnya:
(nyala api di dalam hati, luka nyeri di
dada, dan debu di wajah).