Keitka
itu Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib As sedang menyampaikan ceramah di mimbar
ketika Asy’ats ibn Qais[i] menyatakan keberatan seraya berkata, “Hai Amirul
Mukminin, hal ini tidak bagi Anda melainkan terhadap Anda.”[ii] Amirul Mukminin
melihat kepadanya seraya berkata: “Bagaimana
Anda mengetahui apa yang bagi saya dan apa yang terhadap saya? Kutukan Allah
dan yang lain-lainnya atas Anda. Anda penenun dan anak dari penenun. Anda anak
seorang kafir dan Anda sendiri seorang munafik. Anda pernah ditawan oleh kaum
kafir dan sekali oleh kaum Muslim, tetapi kekayaan dan asal-usul Anda tak dapat
menyelamatkan Anda dari keduanya. Orang yang berusaha agar kaumnya menjadi
umpan pedang, dan mengundang maut dan kehancuran bagi mereka, pantas dibenci
kerabat dekat, dan kerabat yang jauh tidak akan mempercayainya”.
Sayid Radhi
mencatat
bahwa orang ini pernah ditawan ketika dia masih kafir dan juga ketika dia sudah
masuk Islam. Tentang kata-kata Amirul Mukminin bahwa orang itu menjerumuskan
kaumnya sendiri untuk dipancung, itu berkaitan dengan peristiwa yang terjadi
pada Asy’ats ibn Qais dalam pertarungan dengan Khalid ibn Watid di Yamamah, di
mana ia menipu kaumnya dan membuat siasat licik sampai Khalid menyerang mereka.
Setelah kejadian itu kaumnya menjulukinya Urfun-Naar dalam dialek mereka
berarti pengkhianat.
*****
[i]
Nama aslinya Ma’di Karib, laqab-nya Abu Muhammad. Tetapi, karena rambutnya yang
acak-acakan, ia lebih dikenal sebagai al-Asy’ats (si rambut acak). Setelah
pengutusan Nabi, ketika ia ke Makkah bersama sukunya, Nabi meng-undang dia dan
sukunya untuk menerima Islam. Namun, mereka semua berpaling tanpa seorang pun
masuk Islam. Setelah Hijrah, ketika Islam telah mapan dan jaya, dan wakil-wakil
mulai berdatangan ke Madinah dalam jumlah besar, ia pun datang menghadap Nabi
bersama Bani Kindah, dan menerima Islam. Penulis Al-lsti’ab mengatakan bahwa
setelah wafatnya Nabi, orang ini berpaling lagi jadi kafir; tetapi, di masa
Khalifah Abu Bakar, ketika Abu Bakar ia dibawa kembali ke Madinah sebagai
tawanan, ia menerima Islam lagi, walau kini pun Islamnya hanya pura-pura.
Demikianlah, Syekh Muhammad ‘Abduh menulis dalam syarahnya tentang Nahjul
Balaghah,
“Sebagaimana
‘Abdullah ibn ‘Ubay ibn Salul adalah sahabat Nabi, al-Asy’ats adalah sahabat
‘Ali, dan keduanya adalah orang munafik kelas tinggi.”
la
kehilangan sebelah matanya dalam perang Yarmuk. Ibn Qutaibah memasukkannya ke
dalam daftar orang yang bermata satu. Saudara perempuan Abu Bakar, Umm Farwah
binti Abi Quhafah, janda al-Azdi dan kemudian istri Tarrum ad-Darimi, kawin
ketiga kalinya dengan al-Ays’ats ini. Tiga putra lahir darinya, yakni Muhammad,
Isma’il dan Ishaq. Menurut buku-buku biografi, istrinya itu pun bermata satu.
Ibn Abil Hadid mengutip pernyataan berikut ini dari Abul Faraj di mana orang
ini nampak terlibat dalam pembunuhan Ali a.s.,
“Pada
malam pembunuhan itu Ibn Muljam datang kepada Asy’ats ibn Qais dan keduanya
menyendiri ke sudut mesjid lalu duduk di situ. Ketika Hujr ibn ‘Adi lewat pada
sisi itu ia mendengar Asy’ats berkata kepada Ibn Muljam, “Cepatlah sekarang,
atau cahaya fajar akan menggaibkan Anda.” Ketika men-dengar ini Hujr berkata
kepada Asy’ats, “Hai Mata Satu, engkau bersiap-siap membunuh ‘Ali,” dan
bersegera kepada ‘Ali ibn Abi Thalib. Tetapi, Ibn Muljam telah mendahuluinya
dan menyerang ‘Ali dengan pedang. Ketika Hujr berpaling, orang berteriak, ‘Ali
telah dibunuh’.”
Putrinyalah
yang membunuh Imam Hasan a.s. dengan meracuninya. Mas’udi menulis bahwa,
“Istrinya
(istri Hasan), Ja’dah binti Asy’ats, meracuninya sementara Mu’awiah
bersekongkol dengannya bahwa apabila ia (Ja’dah) dapat meracuni Hasan, maka ia
(Mu’awiah) akan membayarnya seratus ribu dirham dan akan mengawinkannya dengan
putranya Yazid.” (Muruj adz-Dzahab, jilid II, h. 450)
Putranya
Muhammad ibn al-Asy’ats aktif dalam mencurangi Muslim ibn ‘Aqil di Kufah dan
dalam penumpahan darah Imam Husain di Karbala’. Namun, ia termasuk di antara
perawi hadis dari Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan ibn Majah.
[ii]
Setelah pertempuran Nahrawan, ketika Amirul Mukminin sedang berbicara di mesjid
Kufah tentang akibat-akibat buruk “Arbitrasi” (Tahkim) di Shiffin, seorang
laki-laki berdiri seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pertama Anda
menentang kami mengenai Tahkim itu, tetapi kemudian Anda mengizinkannya. Kami
tak dapat mengerti mana di antara kedua ini yang lebih benar dan patut.” Ketika
mendengar ini, Amirul Mukminin menepuk tangan seraya berkata, “Inilah ganjaran
bagi orang yang melepaskan pandangan yang kukuh,” yakni, inilah hasil perbuatan
Anda sendiri karena Anda telah meninggalkan keteguhan dan kecermatan dan
mendesakkan Tahkim.” Tetapi, Asy’ats salah paham. la mengira Amirul Mukminin
menyiratkan bahwa “kecemasan saya adalah karena menerima arbitrasi itu”. Maka
ia pun berkata, “Wahai Amirul Mukminin, ini tidak akan menguntungkan Anda,
melainkan merugikan Anda sendiri.” Atasnya Amirul Mukminin berkata dengan
kasar,
“Apa
yang Anda ketahui tentang yang akan saya katakan, dan apa yang kamu mengerti
tentang apa yang menguntungkan saya atau merugikan saya? Engkau “penenun”
(hayik) dan anak si “penenun” yang dibesarkan oleh orang-orang kafir dan
seorang munafik. Kutuk Allah dan segala yang ada di dunia ini menimpamu.”
Para
pensyarah telah menulis beberapa sebab mengapa Amirul Mukminin menyebut Asy’ats
si “penenun”. Sebab yang pertama ialah karena ia dan ayahnya, sebagaimana
kebanyakan penduduk di tempat kelahirannya, melakukan kerajinan menenun kain.
Maka untuk mengacu kerendahan pekerjaannya ia disebut “penenun”. Orang Yaman
mempunyai mata pencarian lain pula, namun terutama profesi ini yang mereka
lakukan. Dalam menggambarkan pekerjaan tnereka, Khalid ibn Shafwan telah
menyebutkannya,
“Apa
yang dapat saya katakan tentang suatu kaum yang di antara mereka hanya ada
penenun, penyamak kulit, pemelihara dan penunggang keledai …. Tikus membanjiri
mereka, dan seorang wanita memerintah mereka.” (Al-Bayan wa at-Tabyin, I, h.
130)
Sebab
yang kedua, “hiyakah” berarti berjalan dengan miring ke kiri atau ke kanan.
Karena kesombongan dan tipu daya, orang ini biasa berjalan sambil
meng-hentakkan bahunya dan memiringkan badannya, maka ia disebut “hayik”.
Sebab
yang ketiga—dan ini yang lebih nyata dan jelas—bahwa ia disebut “penenun” untuk
menunjukkan ketololannya dan kerendahannya, karena setiap orang yang rendah
dipribahasakan sebagai “penenun”. Ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa
ketololan mereka telah menjadi peribahasa, dan tak ada yang sampai mendapatkan
status peribahasa tanpa ciri khas. Nah, Amirul Mukminin menggunakannya; tak
perlu lagi argumen atau penalaran selanjutnya.
Sebab
yang keempat adalah bahwa dengan ini dimaksud orang yang bersekongkol melawan
Allah dan Nabi-Nya dan menyiapkan jaringan rekayasa, ciri khas penghianatan.
Maka, dalam Wasa’il asy-Syi’ah, XII, h. 101, dinyatakan,
“Disebutkan
di hadapan Imam Ja’far ash-Shadiq a.s. bahwa si “penenun” terkutuk, ketika ia
menerangkan bahwa “penenun” bermakna orang yang mengada-ada terhadap Allah dan
Nabi.”
Setelah
kata “penenun”, Amirul Mukminin menggunakan kata munafik, dan tak perlu
penjelasan lagi untuk menekankan kedekatan artinya. Maka, atas basis
kemunafikan dan penyembunyian kebenaran ini ia memaklumkannya sebagai patut
mendapat kutukan Allah dan semua lainnya, karena Allah SWT bersabda,
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turun-kan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitdb, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (QS. 2:159)
Setelah
Amirul Mukminin mengatakan bahwa “Engkau tak dapat mengelakkan keaiban sebagai
tawanan ketika engkau kafir, tidak pula aib ini terbebas darimu setelah engkau
menerima Islam, dan engkau tertawan.” Waktu masih kafir, peristiwa tertawannya
terjadi sebagai berikut. Ketika suku Bani Murad membunuh ayahnya, Qais, ia
(Asy’ats) mengumpulkan para prajurit Banl Kindah dan membagi mereka dalam tiga
kelompok. Satu kelompok ia pimpin sendiri, sedang yang lainnya ia serahkan
kepada pimpinan Kabs ibn Hani’ dan al-Qasy’am ibn Yazid al-Arqam, lalu
berangkat untuk mengahadapi Bani Murad. Tetapi celakanya, ketimbang Bani Murad,
ia menyerang Bani Harits ibn Ka’b. Akibatnya, Kabs ibn Hani’ serta Qasy’am ibn
Yazid tewas, dan Asy’ats tertawan hidup-hidup. Akhirnya ia dibebaskan dengan
membayar tebusan tiga ribu unta. Dalam kata-kata Amirul Mukminin, “Kekayaan
atau kelahiranmu tak dapat menyelamatkanmu dari kedua-duanya,” acuan bukan
kepada fidyah (uang pembebasan) yang sesungguhnya, karena sebenarnya ia telah
dibebaskan dengan pembayaran uang tebusan; maksud-nya ialah bahwa kelimpahan
kekayaan, kedudukan dan martabat dalam sukunya, tak dapat menyelamatkan dia
dari aib, dan ia tak dapat melindungi dirinya dari tertawan.
Peristiwa
tertawannya yang kedua ialah setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw), ketika
timbul pemberontakan di kawasan Hadhramaut. Untuk melawannya, Khalifah Abu
Bakar menulis surat kepada gebernur di tempat itu, Ziyad ibn Labid al-Bayadi
al-Anshari bahwa ia harus mendapatkan baiat dan menerima zakat dan sedekah dari
rakyat. Keika Ziyad ibn Labid mendatangi suku Bani ‘Amr ibn Mu’awiah untuk
mengumpulkan zakat, ia sangat tertarik pada seekor unta betina milik Syaithan
ibn Hujr yang amat bagus dan besar. la melompat ke atas punggungnya dan
mengambilnya. Syaithan ibn Hujr tidak mau melepaskannya dan mengatakan
kepadanya untuk mengambil unta lainnya sebagai gantinya, tetapi Ziyad tak mau.
Syaithan menyuruh panggil saudara lelakinya al-’Abda’ ibn Hujr untuk
mendukungnya. Ketika tiba, ia pun berbicara, tetapi Ziyad bersikeras pada
pendiriannya dan sama sekali tak mau melepaskan unta betina itu. Akhirnya kedua
bersaudara itu menghadap kepada Masruq ibn Ma’di Karib untuk meminta bantuan.
Masruq pun menggunakan pengaruhnya supaya Ziyad meninggalkan unta betina itu,
tetapi ia menolak dengan tegas. Masruq menjadi galak dan melepaskan ikatan unta
betina itu lalu menyerahkannya pada Syaithan. Ziyad menjadi berang lalu
mengumpulkan orang-orangnya, bersiap untuk berperang. Di sisi lain, Bani
Wali’ah pun berkumpul untuk menghadapi mereka, tetapi tak dapat me-ngalahkan
Ziyad, dan terpukul dengan parahnya. Kaum wanita mereka dibawa dan harta mereka
dijarah. Akhiraya orang-orang yang selamat terpaksa meminta perlindungan
Asy’ats. Asy’ats menjanjikan bantuan, dengan syarat bahwa ia harus diakui
sebagai pemimpin di daerah itu. Orang-orang itu setuju atas syarat ini dan
penobatannya pun dilakukan dengan khimat dan resmi. Setelah wewenangnya diakui,
ia menyiapkan pasukan lalu berangkat untuk memerangi Ziyad.
Sementara
itu Abu Bakar telah menulis surat kepada pemimpin Yaman, Muhajir ibn Abl
Umayyah, untuk pergi membantu Ziyad dengan pasukan. Muhajir datang dengan
kontingennya lalu mereka berhadap-hadapan. Mereka menghunus pedang lalu mulai
bertempur di az-Zurqan. Pada akhirnya Asy’ats melarikan diri dari pertempuran
dengan membawa orangnya yang tersisa ke benteng an-Nujair. Pasukan Ziyad dan
Muhajir mengepung benteng itu. Asy’ats berpikir, berapa lama ia dapat tinggal
terkurung dalam benteng dengan perlengkapan dan orangnya yang kurang itu; ia
lalu memikirkan suatu jalan untuk meluputkan diri. Pada suatu malam, secara
sembunyi-sembunyi, ia keluar dari benteng itu lalu menemui Ziyad dan Muhajir
dan bersekongkol dengan mereka bahwa apabila mereka memberikan perlindungan
kepada sembilan anggota keluarganya maka ia akan membukakan pintu benteng itu.
Mereka menerima ketentuan itu dan memintanya menuliskan nama kesembilan orang
termaksud. la menulis nama kesembilan orang itu lalu menyerahkannya kepada
mereka, tetapi dalam kepandiran tradisionalnya ia lupa menuliskan namanya
sendiri pada daftar itu.
Setelah
membereskan ini, ia mengatakan kepada orang-orangnya bahwa ia telah mendapatkan
perlindungan bagi mereka dan supaya pintu benteng dibuka. Ketika pintu gerbang
terbuka, pasukan Ziyad menyerbunya. Mereka mengatakan bahwa kepada mereka telah
dijanjikan perlindungan, yang dijawab tentara Ziyad bahwa itu salah, dan bahwa
Asy’ats hanya meminta perlindungan atas sembilan orang anggota keluarganya,
yang nama-namanya ada pada mereka. Singkatnya, delapan ratus orang terbunuh dan
tangan beberapa orang perempuan terpotong putus, sedang, sesuai pembicaraan,
sembilan orang dibebaskan. Tetapi, kasus Asy’ats sendiri menjadi rumit.
Akhirnya diputuskan bahwa ia harus dikirimkan dengan terbelenggu kepada Abu
Bakar, yang akan memutuskan kasusnya.
Ia
dikirimkan ke Madinah dalam belenggu bersama seribu orang perempuan tawanan.
Dalam perjalanan, para kerabat dan lain-lainnya, lelaki dan perempuan,
melimpahkan kutukan kepadanya. Perempuan-perempuan itu menamakannya penghianat
dan orang yang menjerumuskan kaumnya sendiri kepada tebasan pedang. Siapa lagi
penghianat yang lebih besar? Namun, ketika tiba di Madinah, Abu Bakar
membebaskannya, dan pada kesempatan itu ia dikawinkan dengan Umm Farwah. (Sumber: Khutbah No.19 dalam Nahjul Balaghah)