Oleh
April Kukuh
Setelah
ditinggal oleh kakek beliau Abdul Mutholib, ketika itu Rasul berusia delapan
tahun, Abdul Mutholib – yang merupakan saudara kandung satu bapak dan satu ibu
– dari Abdullah (Bapak Nabi) mengambil Nabi untuk mengasuhnya dikarenakan paman
Nabi yang satu ini mempunyai perangai yang halus dan dihormati dikalangan
Quraisy, inilah alasan kakek Nabi menyerahkan pengasuhan kepadanya, tidak
kepada paman yang lain, baik Harist maupun Abbas.
Abu
Thalib mencintai keponakannya ini sampai ia mendahulukannya daripada
anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Nabi yang agung, luhur, cerdas, suka
berbakti dan baik hati itulah yang menarik hati pamannya. Walaupun dalam
keadaan miskin dengan makanan yang terbatas, sehingga Abu Thalib pun tidak
membeda-bedakan sedikitpun sehingga apa yang dimakan Abu Thalib sekeluarga,
Nabi pun juga ikut memakannya, selama rentang waktu Rasul dalam pengasuhan,
menerima kondisi tersebut dengan ikhlas.
Abu
Thalib bukan hanya mengenal kebenaran Nabi Muhammad s.a.w., tetapi juga
mengenal pribadi beliau dengan baik. Ia paman beliau, pengasuh dan pemelihara
beliau sejak kanak-kanak sampai dewasa. Dalam waktu yang amat panjang, Abu
Thalib menyaksikan sendiri bagaimana praktek kehidupan Nabi Muhammad s.a.w.
sehari-hari. Abu Thalib rindu sekali ingin melihat hakekat kebenaran yang
dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Hatinya pedih dan kesal menyaksikan kaumnya
menyia-nyiakan akal fikiran dan hidup mereka di depan tumpukan batu, yang
dianggapnya sebagai sesembahan dan tuhan-tuhan.
Suatu
ketika Paman Nabi pergi ke Syam (Suriah) membawa dagangan, saat itu Nabi berusia dua
belas tahun, mengingat medan yang akan dilalui begitu berat, tidak ada niat Abu
Thalib untuk membawa Nabi. Tetapi Nabi dengan ikhlas tanpa ragu
menyatakan akan menemani pamannya itu, sehingga sikap ragu-ragu paman
Nabi pun hilang, – sikap dari Nabi inilah yang kelak mirip sekali dengan
sikap Imam Ali kepada Rasul, di mana Imam Ali tidak pernah dan menolak apapun
perintah Nabi- Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga
sampai di Bushra (Bostra) di sebelah selatan Syam. Dalam perjalanan inilah ia bertemu
dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda keNabian
padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber
menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau
dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang
mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap beliau.
Dalam
perjalanan itulah sepasang mata Nabi Muhammad yang indah itu melihat luasnya
padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih
cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Waditul Qura serta peninggalan
bangunan-bangunan Tsamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala
cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu,
tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti
di kebun-kebun yang lebat dengan buah-buahan yang sudah masak, yang akan
membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta’if serta segala cerita orang tentang
itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang
gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekkah itu. Di Syam ini juga
beliau mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Romawi dan agama Kristennya,
didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari
penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.
Sekalipun
usianya baru beranjak dua belas tahun, tetapi sudah memiliki kebesaran jiwa,
kecerdasan dan ketajaman otak, mempunyai daya ingat yang kuat. Yang menandakan
bahwa sejak muda beliau telah diantar takdir kepada suatu jalan sejarah sebagai
risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Imam Ali bin Abu
Thalib dalam pengasuhan Rasulullah
Ketika
Imam Ali menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat.
Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka
yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan
paceklik terasa parah sekali.
Pada
masa paceklik ini, Nabi Muhammad SAW telah berumah tangga dengan Sitti
Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang
telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun
beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan
mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya. Dalam suasana paceklik
ini, Nabi Muhammad SAW. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya,
Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil
langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi
Muhammad SAW. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau,
adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan
saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan
tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul
Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang
ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk
pertanyaan, Nabi Muhammad SAW berkata: "Bagaimana paman, kalau kita
sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah
seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang."
Abbas
bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad SAW. Setelah melalui
perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi
Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi
Muhammad SAW.
Sejak
itu Imam Ali diasuh oleh Nabi Muhammad SAW. dan isteri beliau, Sitti Khadijah
binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali sendiri lingkungan keluarga yang baru ini,
bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang
panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib apalagi yang
menikahkan Nabi Muhammad SAW. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga
Abu Thalib.
Bagi
Nabi Muhammad SAW., Imam Ali bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam
pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera
lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang
beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya
kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat
menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad SAW sering mengajak Imam Ali menyepi di gua
Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali diajak mendaki
bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan
Allah s.w.t.
Sejak
usia muda Imam Ali sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu
Ilahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang
dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasulullah
SAW dalam kehidupannya.
Sungguh
merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali dengan
berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan
dalam kehidupan Imam Ali adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad
SAW menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali mendapat kesempatan
yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi
Muhammad SAW. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah
yang maha penting itu.
Imam Ali menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah
s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan
orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali menyaksikan juga betapa saudara
misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar,
menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali
menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad SAW.
Semua
warisan yang telah diterima Imam Ali dari para orangtuanya, kini berkembang
mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera
pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri dengan Imam Ali.
Pada
waktu Nabi Muhammad SAW menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali
menyambutnya tanpa bimbang dan ragu –sikap sama yang telah
ditunjukkan Nabi ketika ikut berdagang bersama pamannya ke Syam. Hal itu
dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan
Rasulullah SAW. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah dipahami Imam Ali
hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang
harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada
waktu Rasulullah SAW menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah
secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali ikut ambil bagian sebagai
pembantu. Imam Ali antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasulullah SAW
kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.
Untuk
itu Rasulullah SA. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota
keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan
saudara misan asuhannya, Imam Ali. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada
Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Imam Ali sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu
Rasulullah SAW pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah
pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumahtangga
Rasulullah SAW. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah
itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium
semerbaknya bau keNabian" demikian kata Imam Ali.
Ketika
Rasulullah SAW berjuang menyampaikan risalah tidak pernah sedikitpun Imam Ali
membantah apa yang diperintahkan kepada Imam Ali, hingga Rasulullah menunjuknya
sebagai pengganti, sebagai washi.
ngarang aj luu kampreet.
BalasHapus