Oleh April
Kukuh
Fatimah binti Asad
bin Hasyim
Nama
lengkap ibunda Imam Ali ialah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin
Qushaiy bin Kilab. Fatimah binti Asad adalah seorang puteri dari Bani Hasyim
yang pertama bersuamikan seorang berasal dari Bani Hasyim juga. Inilah yang
menjadikan Imam Ali adalah keturunan Hasyim dari
kedua sisi ayah dan ibu. Ia adalah istri Abu Thalib. Ia termasuk yang paling
dini memeluk agama Islam, serta memberikan dukungan kepada da'wah yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau sangat menghargai dan menghormati
Fatimah binti Asad, bahkan memanggilnya dengan sebutan "Bunda" dan
dipandang sebagai ibu kandung beliau sendiri.
Beliau
dilahirkan dalam rumah tangga yang merupakan pusat spiritualitas. Hasyim bin
Manaf adalah pemimpin Quraisy dan penjaga Ka’bah, menikah dengan seorang gadis
dari keluarganya sendiri yang melahirkan anaknya, Asad, yang adalah ayah dari
Fatimah binti Asad. Keluarga Hashimi dalam suku Quraisy adalah keluarga yang
terpandang dan sangat terkenal dalam kebajikan moral serta ketinggian akhlaq di
antara suku-suku Arab saat itu. Kemurahan hati, kedermawanan, keberanian dan
begitu banyak kebaikan lainnya yang sudah melekat sebagai karakteristik
Bani-Hasyim. Pasangan suami istri Fatimah dan Abu Thalib dikaruniakan empat
laki – laki dan dua perempuan (Thalib, Aqil, Ja’far, Ali, Fakhitah, Jumanah),
Imam Ali adalah anak termuda. Dan Rasulullah sebagai anak angkat beliau.
Ketika
itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad SAW. mendapat
risalah, seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama
suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu
tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera
diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib
segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan,
isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan
berkurang.
Kenyataannya
tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit.
Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang
sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang saleh, ia tidak mengungkapkan
isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud
suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian.
Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam
keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya
bertambah mulas. Di saat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa
sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera
mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan
dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku
bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang
dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka
demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku
mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa
saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah
putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali
seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya
disaksikan oleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini segera tersiar
ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani
Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang
datang ialah Nabi Muhammad SAW. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau
menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu
Thalib.
Meskipun
bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia
besar yang dilimpahkan Allah SWT kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini
tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan walimah.
Guna memeriahkan acara itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka
Quraisy diundang mengunjungi pesta itu sebagai penghormatan atas kelahiran
puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama
"Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti
"luhur". Pada
tahun 10 kenabian, Nabi mengalami tahun kesedihan – meninggalnya paman dan
istri beliau -. Fatimah tampil sebagai pengganti keduanya, yang mendukung dan
membantu dakwah Nabi.
Fatimah
membela Rasulullah SAW dari tekanan kaum Kafir Quraisy, hingga akhirnya
berhasil hijrah ke Madinah. Ia pun turut berhijrah ke kota suci kedua
bagi umat Muslim itu bersama kaum Muslimin lainnya. Bagi Fatimah binti Asad,
Madinah merupakan kota yang penuh dengan kebahagiaan serta kemuliaan, seperti
halnya Makkah.
Dedikasi
dan pengorbanan Fatimah dalam membela agama Allah SWT sungguh sangat tak ternilai.
Ia sungguh wanita yang agung. Rasulullah SAW begitu menghormati sosok Fatimah,
bibi sekaligus besannya. Dalam sebuah hadis yang dikeluarkan Ibnu Abi Ashim dari
Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abu Thalib dikisahkan bawah ketika
Fatimah wafat, Rasulullah SAW mengkafaninya dengan bajunya.
Pada
waktu Fatimah binti Asad wafat, kesedihan nampak dialami Nabi Saw. Nabi
Muhammad SAW bersembahyang untuk jenazahnya. Di saat pemakamannya, Nabi yang
menyiapkan segala sesuatunya. Nabi Muhammad SAW turun sendiri ke liang lahat
dan setelah jenazahnya diselimuti dengan baju beliau, beliau berbaring sejenak
di samping jenazahnya.
Mengetahui
hal itu, beberapa orang sahabat sambil keheran-heranan bertanya: "Ya Rasul
Allah, kami tidak pernah melihat Anda berbuat seperti itu terhadap orang lain!”
"Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia", jawab
Nabi Muhammad SAW dengan segera. "Kuselimutkan bajuku, agar kepadanya
diberi pakaian indah di dalam sorga, Aku berbaring di sampingnya, agar ia
terhindar dari jepitan dan tekanan kubur."
Fatimah Az-Zahra
binti Muhammad
Fatimah
az Zahra terlahir dari pasangan manusia paripurna, Nabi Muhammad SAW dan
Khadijah, pada tahun kelima setelah kenabian. Besar harapan keduanya kelak
menjadi anak yang baik. Salah satu dari manusia suci dan diberkahi yang paling
utama dan yang memiliki kebesaran dan kesempurnaan yaitu Az-Zahra. Kedua
orangtua ini pun dipenuhi perasaan bahagia dan gembira. Sebagai jawaban atas
umat yang kala itu sangat membenci jika mempunyai anak perempuan, lahirnya
Fatimah Az-Zahra telah membawa perubahan perilaku suku Quraisy terhadap anak
perempuan mereka.
Kenapa
Fatimah dinamakan Az-Zahra, dikarenakan Allah SWT telah menciptakannya dari
cahaya keagungan-Nya. Ketika bersinar, ia menerangi langit dan bumi
dengan cahayanya menutup pandangan para malaikat, hingga para malaikat bertanya
dan Allah menjawabnya “Ini adalah cahaya dari cahaya-Ku. Aku tempatkan ia
dilangit-Ku dan aku ciptakan ia dari keagungan-Ku. Aku keluarkan dari sulbi
seorang Nabi besar diantara para Nabi. Dari cahaya itu Aku keluarkan para Imam
yang membimbing manusia sampai akhir zaman. Dan Aku jadikan mereka
Khalifah-khalifah-Ku di bumi setelah terputusnya wahyu”. Pada masa kanak –
kanak telah mengalami beberapa kejadian dan peristiwa pahit, sehingga
meninggalkan pengaruh pada jiwanya yang halus.
Setelah
kematian Ibunda Khadijah, Fatimah menggantikan posisinya sebagai pelayan
ayahnya, tanggung jawab di dalam rumah jatuh kepada Fatimah, hingga Nabi
menikah dengan Saudah, guna meringankan tugas Fatimah. Tetapi sulit bagi
seorang yatim yang kehilangan Ibundanya melihat orang lain menggantikan posisi
Ibunya, setiap kali bertambah perasaan kehilangan itu bertambah pula rasa cinta
Nabi kepadanya. Setelah Nabi hijrah ke Madinah, Nabi memerintahkan Imam Ali
untuk menggantikannya di Mekkah dari tempat tidur Nabi, mengembalikan barang –
barang orang yang dititipkan hingga memimpin hijrah gelombang kedua setelahnya.
Imam
Ali membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah
bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasulullah terdiri dari
keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali. Di dalam rombongan
Imam Ali ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu
Imam Ali), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah
bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy ikut bergabung dalam
rombongan.
Rombongan
Imam Ali dalam perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Ketika itu Abu
Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar
jangan terkejar oleh orang-orang kafir Quraisy. Mengetahui hal itu, Imam Ali segera
memperingatkan Abu Waqid supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua
penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan
terik matahari. Imam Ali, sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat
yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan
orang-orang kafir Quraisy terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan
moril dan kecongkakan mereka.
Pertumpahan Darah
Pertama Kali
Mendengar
rombongan Imam Ali berangkat, orang-orang Quraisy sangat penasaran. Lebih-lebih
karena rombongan Imam Ali berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di
siang hari. Orang-orang Quraisy menganggap bahwa keberanian Imam Ali yang
semacam itu sebagai tantangan dan hinaan terhadap mereka. Orang-orang Quraisy
cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam
Ali dan rombongan.
Pasukan
itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Quraisy tiba
di sebuah tempat bernama Dhajnan, berhasil mendekati rombongan Imam Ali.
Setelah Imam Ali mengetahui datangnya pasukan berkuda Quraisy, beliau segera
memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan
menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu
menurunkan mereka dari punggung unta. Kemudian ia maju seorang diri menghadapi
gerombolan Quraisy dengan pedang terhunus. Rupanya Imam Ali hendak berbicara
dengan mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.
Mereka
lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali menghalangi usaha
mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak
memukul Imam Ali dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya
sampai, hantaman pedang Imam Ali telah mendahului tiba di atas bahunya.
Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Imam Ali sampai menancap pada
punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman
Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali berkata: "Lepaskan orang-orang
yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan
menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!" Gerombolan Quraisy mundur. Mereka
meminta kepada Imam Ali untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali dengan
tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku,
Rasulullah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya,
cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa
memberi jawaban lagi gerombolan Quraisy itu segera meninggalkan tempat.
Kejadian ini mencerminkan konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum
muslimin melawan kafir Quraisy.
Di
Dhajnan, rombongan Imam Ali beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu
Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu
bersama Imam Ali. Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang
berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali beserta rombongan Ummu
Aiman melanjutkan perjalanan.
Waktu
itu Rasulullah bersama Abu Bakar sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa
waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali
Kepada Abu Bakar, Rasulullah memberitahukan bahwa beliau tidak akan memasuki
kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang. Selama
dalam perjalanan itu Imam Ali tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan
kaki-telanjang menempuh jarak kurang lebih 450 km. Setelah itu tibalah semua
anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasulullah
menyambut kedatangan orang-orang yang disayangi dan orang – orang muslim lain
dalam hijrah gelombang kedua itu dengan selamat.
Sesampai
di Madinah Nabi menikah dengan Ummu Salamah binti Umayyah dan menyerahkan
segala urusan putrinya kepadanya. Ummu Salamah pun mendidik dan membimbingnya. Setelah
dewasa Fatimah Az-Zahra melebihi wanita-wanita lain di masanya dalam hal
kemuliaan dan keturunan dari Nabi dan Khadijah. Akhlaknya mewarisi Nabi dengan
kecantikan dari Khadijah, serta jauh dari kemusyrikan. Sehingga banyak pembesar
– pembesar Quraisy yang telah melamarnya ketika menginjak remaja, tetapi
Rasulullah tidak pernah menyambut lamaran tersebut. Rasulullah sendiri telah
menahan Fatimah dengan orang lain untuk memberikannya kepada Imam Ali, bahkan
kepada dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab, karena Rasulullah telah
diperintahkan oleh Allah SWT melalui Jibril untuk menikahkan dua cahaya.
Pernikahan Imam
Ali dan Fatimah Az-Zahra
Ketika
dewasa timbullah cinta didada Imam Ali, setelah didorong oleh Abu Bakar, memberanikan
diri untuk menemui Rasulullah, dan menyatakan ingin menjadikan salah satu
wanita penghuni surga Fatimah Az-Zahra, dengan mas kawin 400 dirham dari hasil
menjual baju besi pemberian Nabi. Saat itu hanya tiga harta yang dimiliki Imam
Ali, pedang, unta dan baju besi-. Rasul pun menerimanya dengan bersabda “ Hai
Ali, sebelum aku menikahkan kamu dibumi, Allah SWT telah menikahkan kalian
berdua dilangit”. Pernikahan ini bagi Imam Ali adalah sama ketika kedua orang
tua beliau menikah, dikarenakan pasangan ini berasal dari kakek yang sama yaitu
Abdul Mutholib, seperti halnya orangtua Imam Ali dari kakek yang sama yaitu
Hasyim.
Pernikahan
mereka dilaksanakan setelah Perang Badr, sekitar tahun kedua Hijriah, bulan
Zulhijjah. Acara pernikahan berlangsung sederhana dan khidmat, saat itu usia
‘Ali diperkirakan 18 tahun, ada pula pendapat yang menyatakan usia ‘Ali saat
itu 25 tahun, sementara usia Fatimah diperkirakan 14 atau 16 tahun. Nabi
meletakkan tangan Fatimah di atas tangan ‘Ali dan bersabda, “Wahai ‘Ali,
Fatimah adalah istri yang baik untukmu.” Kepada Fatimah, Nabi bersabda, “Wahai
Fatimah, ‘Ali adalah suami yang baik untukmu.”
Pernikahan
keduanya merupakan gambaran pernikahan yang Islami. Suami adalah seorang
keturunan yang mulia , juga sebagai Panglima perang Rasulullah, sedangkan istri
adalah wanita dengan kesempurnaan akhlak, kedudukan mulia dan keturunan manusia
agung. Salah satu dari empat wanita surge, perkawinan yang sederhana tidak ada
beban dan pemborosan. Rumah tangga ini adalah rumah tangga yang telah disucikan
sehingga maksum dan mempunyai sifat-sifat akhlak yang utama dan sempurna,
dikarenakan dari rumah tangga inilah kelak akan lahir keturunan – keturunan
yang menjadi Imam. Dikarenakan keduanya pula berada dalam satu universitas
wahyu.
Fatimah
hidup dalam pribadi Muslim terbesar kedua setelah ayahandanya, panglima perang,
pembantu dan penasihat khusus Rasul. Beliau senantiasa memberikan semangat
kepada Imam Ali dan membantunya dalam mempersiapkan diri dari menghadapi
peperangan satu ke peperangan yang lain. Tidak pernah membuat suaminya marah walau
satu hari, beliau tahu bahwa Allah SWT tidak akan menerima perbuatan seorang
istri yang membuat marah suaminya sampai suami kembali ridha.
Rumah
tangga ini dikaruniakan lima orang anak (Hasan –kelak menjadi Imam kedua-,
Husain –Imam ketiga-, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin – meninggal saat
keguguran-). Jadi kedua orangtua ini bertanggung jawab mengawasi anak-anak
dengan teliti, mempersiapkan masa depan mereka dengan baik, dan menjaga fitrah
mereka agar tak bercampur dengan noda, karena
Allah SWT telah mensucikan mereka lewat doa Nabi (Ahlul Bait: Ali, Fatimah,
Hasan, Husain).
Setelah
wafatnya Nabi, Fatimah bangkit untuk membela suaminya dan berdiri dengan tegar
di belakang pintu ketika pengepungan dirumahnya untuk menciduk Imam Ali, tidak
melarikan diri setelah rumahnya diserang, Fatimah bertahan dengan segala
kekuatan untuk membela Imam Ali. Jika menang maka akan dapat mencegah mereka
mengambil kekhalifan dari yang berhak, dan jika mereka memukul, mematahkan
rusuk dan membuatnya keguguran maka terbukalah kesalahan mereka dan seluruh
alam akan mengerti secara nyata dampak dari penyimpangan.
Ketika
beberapa bulan setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengalami penurunan kesehatan
yang sangat drastis karena adanya konflik yang tajam tentang Khalifah
sepeninggal Rasulullah. Ia dirawat oleh Asma’ dengan anak anak berada
disisinya. Imam Ali menyebutkan saat – saat terakhir Fatimah sebelum meninggal,
Fatimah berkata “ Wahai anak pamanku, engkau tidak pernah menemukanku berdusta
dan berkhianat”. Imam Ali pun menjawab “Aku berlindung kepada Allah SWT, engkau
lebih mengetahui tentang Allah SWT, lebih baik, lebih bertakwa, lebih takut
kepada-Nya. Demi Allah SWT rasa ini seperti apa yang saya rasakan ketika aku
kehilangan anak pamanku (Rasulullah). Sungguh kewafatanmu adalah kehilangan
yang sangat besar.”
Fatimah
wafat beberapa bulan setelah meninggalnya Rasulullah. Pada usia 27 tahun meninggalkan
keempat anak mereka yang masih kecil. Sebelum kematiannya, Fatimah sempat
berwasiat kepada Imam Ali untuk merahasiakan tempat pemakamannya kelak kepada
siapapun. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6
tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia
3 tahun. Yang paling berat dalam perpisahan ini, ia harus meninggalkan suami
termulia Ali As, pelindung ayahnya dalam jihad dan teman hidupnya di segala
medan.
Inilah kedua
wanita hebat yang bernama Fatimah yang menjadi cahaya dalam kehidupan Imam Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar