Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)
Sejak jenasah suci Amirul
Mukminin Ali as. dimakamkan sampai beberapa waktu sebelum ini, kota Najaf
merupakan kota ilmu dan agama, kota jihad dan ijtihad, serta kota suci dan
cahaya. Seolah-olah dengan dikuburkannya jenasah suci beliau di sana, mentari
samawi yang dibenamkan di sana.
Nyaris empat belas
abad bintang-bintang langit ilmu dan ketakwaan mendapat pencerahan dari sumber
cahaya suci ini, membuat kawasan ini menjadi lebih menarik dan menyenangkan,
semua itu hanya sekelumit dari pancaran cahaya mentari yang terbenam di tengah
malam dan tersembunyikan dari penduduk kota Najaf itu sendiri.
Lebih dari seribu
tahun lamanya Hauzah Ilmiah Najaf berjalan (1320 H.), tapi majelis-majelis ilmu
dan kajian di sana semakin semarak dan ramai. Ribuan bahkan mungkin jutaan
penuntut ilmu sudi meninggalkan tanah air mereka untuk tinggal di sekitar
pemakaman suci beliau, selain menimba ilmu dari ulama di sana mereka juga
mengambil dan membela norma-norma Amirul Mukminin Ali as. yang tiada lain
adalah Islam suci Nabi Muhammad Saw.
Periode itu adalah
periode yang gemilang bagi para pelajar Hauzah Najaf, karena saat itu terdapat
guru-guru besar seperti Ayatullah Sayid Muhammad Kadzim Yazdi dan Ayatullah
Akhund Khurasani, mereka adalah tenaga ahli yang punya kemampuan tinggi dalam
pendidikan dan pengajaran, sehingga murid-murid yang kehausan ilmu dan ruhani
terpuaskan, mereka adalah tokoh-tokoh hauzah yang sebenarnya.
Itu adalah masa-masa
emas dan penuh berkah bagi Syaikh Kadzim Syustari. Ditambah lagi dengan
anugerah Ilahi padanya berupa kelahiran putera yang berpotensi besar. [1]
Ayah dan Ibu
Keluarga ibu Muhaqiq
termasuk keluarga agamawan yang berasal dari Iran dan sudah sekian lama tinggal
di kota suci Najaf. Ibunya lahir di Najaf dan di sana pula dia menikah dengan
ruhaniawan muda dari Syusytar yang bernama Muhammad Kadzim Syusytari.
Syaikh Muhammad Kadzim
berasal dari keluarga gemilang yang dari generasi ke generasi menjadi tokoh
ulama kota Syusytar, dan sebelum Muhaqiq dilahirkan banyak tokoh besar yang
bersinar di kota itu, seperti Syaikh Ja'far Syustari dan lain-lain.
Ayah Muhaqiq yang juga
seorang ulama, adalah satu-satunya marjak taklid dan pejuang kota itu. Dia
termasuk orang yang secara gigih membela keyakinan umat Islam, sebagai contoh
dia membela kehormatan hijab Islami, sehingga karena itu dia ditangkap oleh
penguasa tiran di kota Syusytar dan diasingkan ke kota Brujurd, sekian lama dia
terasing dari tempat lahirnya dan terpaksa tinggal di kota Brujurd, baik pada
periode kekuasaan Reza Khan maupun pada periode kekuasaan Muhammad Reza
Pahlavi. [2]
Sambutan Hangat Penduduk Syusytar
Anak kelahiran kota
suci Najaf ini melewati masa-masa semi kehidupannya sampai usia tujuh tahun di
kota suci itu. Kemudian, dia bersama ibunya terpaksa meninggalkan kota tersebut
dan menuju kota Syusytar, kira-kira pada tahun 1327 dia memasuki kota itu. [3]
Kala itu, nasib Iran buruk sekali dan berada di bawah dominasi penguasa asing, Reza Khan Mirpanj terang-terangan menentang ajaran Islam dan syiar-syiarnya. Dalam kondisi seperti ini, seorang ruhaniawan alumni Hauzah Najaf, Muhammad Taqi Syusytari kembali ke kota Syusytar dan menjadi tokoh agama serta panutan di sana sebagai ganti dari ayahnya yang teraniaya dan terasingkan.
Pulang ke Kota Rindu
Syaikh Syusytari,
putera seorang ayah yang pejuang dan waspada itu, sama sekali tidak bisa
menerima serangan apa pun terhadap kedudukan suci mazhab Syi'ah dan agama
Islam. Dengan demikian, dia mengibarkan bendera perlawanan terhadap orang-orang
bayaran para penguasa asing.
Muhaqiq (Syaikh Syusytari) meninggalkan kota Syusytar untuk membangkitkan masyarakat setempat dan menggerakkan mereka melawan penguasa yang zalim di sana, dia pergi ke Karbala bersama saudaranya ... setelah beberapa waktu asyik berziarah di Karbala dan berkomunikasi hati dengan imam para syahid, yaitu Imam Husain as, dia berangkat ke kota Najaf Asyraf untuk menyatu dengan samudera ilmu yang saat itu sedang bergelombang besar di lingkaran-lingkaran pelajaran dan diskusi Hauzah Ilmiah. [4]
Pada waktu itulah
untuk pertama kalinya dia mengeluarkan salah satu karyanya yang berjudul Qodhô'
Amîr Al-Mukminîn 'Alaihi Al-Salâm untuk dicetak, buku itu memuat acara
pengadilan yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Ali as. dan keterangannya, [5]
dengan itu dia mendapat perhatian yang istimewa dari para ulama di kota Najaf.
Sampai tahun 1321 HS
(1360 H.) Muhaqiq tinggal di Hauzah Ilmiah Najaf. Setelah Reza Syah jatuh dari
kekuasaannya, dia pulang ke kota Syusytar. [6]
Dia tinggal di kota
Syusytar sampai akhir hayatnya, berkat kehadiran dan jerih payahnya yang tidak
kenal lelah di sana maka kota itu menjadi buah bibir dan bersinar lagi seperti
dulu saat dikenal dengan sebutan Darul Mukminin, setiap ulama yang datang ke
sana dan mengunjunginya pasti menemukan dunia yang indah dan secara tidak sadar
dia melantunkan makna puisi di bawah ini:
Har on kas ze donesy
burd tusyeh-i
Jahoni-st benesyasyteh dar gusyeh-i
Jahoni-st benesyasyteh dar gusyeh-i
Artinya:
siapa saja yang
membawa bekal ilmu dari orang itu,
pasti dia duduk
menikmati di sebuah sudut dunia itu.
Guru
Para guru besar yang
ikut membimbing Muhaqiq Syusytari dan mengembangkan potensinya yang gemilang,
antara lain adalah:
1. Hujjatul Islam Sayid Husain Nuri;
2. Hujjatul Islam Sayid Ali Asghar Hakim (1348 H.)
3. Hujjatul Islam Sayid Muhammad Ali Imam, dikenal dengan Imam Syusytari (1308 – 1394 H.);
4. Ayatullah Syaikh Muhammad Kadzim Syusytari (ayah Muhaqiq);
5. Ayatullah Sayid Mahdi Alu Thayib Jaza'iri (1362 H.);
6. Ayatullah Sayid Muhammad Taqi Syaikhul Islam (1342 H.). [7]
Lingkaran Cahaya
Sebagian ulama besar
yang mendapat ijasah dari Muhaqiq Syusytari untuk meriwayatkan hadis adalah:
1. Ayatullah Uzma Mar'asyi Najafi;
2. Ayatullah Syaikh Ghulam Reza Irfaniyah; [8]
3. Ustad Hujjatul Islam Reza Ustadi;
4. Ustad Qais Alu Qais;
5. Dr. Sayid Kamal Haj Sayid Jawadi;
6. Sayid Jamaludin Din Parwar;
7. Sayid Muhsin Alu Ghafur;
8. Ustad Muhammad Ali Javdan.
Karya-karya Berharga dan Inovatif
Lebih dari lima puluh
tahun kitab-kitab Muhaqiq Syusytari, khususnya Qômûs, Nahj Al-Fashôhah, dan
Al-Akhbâr Al-Dakhîlah, menjadi buku penting dan rujukan, dan sebetulnya
kenyataan ini sendiri sudah cukup untuk menunjukkan bakti intelektual dia, tapi
agar kita lebih jauh mengenalinya maka di bawah ini akan kami sebutkan beberapa
nama karya tulisnya:
1. Syarh Al-Wajîzah (karya Syaikh Baha'i); ini adalah karya tulis dia yang pertama;
2. Hâsyiyah dan Syarh atas kitab Al-Lum‘ah Al-Demisyqiyah;
3. Al-Naj‘ah fî Syarh Al-Lum‘ah, 11 jld;
4. Al-Akhbâr Al-Dakhîlah, 4 jilid;
5. Qodhô' Amîr Al-Mukminîn ‘Ali bin Abî Thôlib as. (karya Muhaqiq yang paling populer dan puluhan kali diterjemahkan ke bahasa Persi dan bahasa Inggris.);
6. Âyât Bayyinât fî Haqqiyah Ba‘dh Al-Manâmât, baru diterjemahkan ke bahasa persi;
7. Al-Awâ'il;
8. Qômûs Al-Rijâl fî Tahqîq Rowâh Al-Syî‘ah wa Muhadditsîhim, 14 jld. Buku Muhaqiq yang paling populer;
9. Risâlah fî Tawârîkh Al-Nabî (sejarah empat belas manusia suci);
10. Risâlah fî Sahw Al-Nabî Saw;
11. Al-Dur Al-Nazdîr fî Al-Muknain bi Abî Bashîr;
12. Al-Badâ'i‘;
13. Bahju Al-Shibâghoh fî Syarh Nahj Al-Balâghoh, 14 (tafsir topikal dan kritikal);
14. Muqaddemeh-i bar Tauhid-e Mufadhdhol;
15. Al-Arba‘ûn Hadîtsan (empat puluh hadis tentang keutamaan imam-imam suci as.)
16. Kasykûl;
17. Nawâdir Al-Akhbâr wa Jawâhir Al-Atsâr;
18. Hawâsyî atas kitab Taudhîh Al-Masâ'il karya Ayatullah Khu'i;
19. Hawâsyî dan Istidrôkât atas kitab Tsawâb Al-A‘mâl wa ‘Iqôb Al-A‘mâl;
20. Al-Ad‘iyah wa Al-Adzkâr;
21. Hawâsyî atas kitab Muntakhob Al-Muntakhob;
22. Al-Ghuror wa Al-Duror.
23. Tafsîr Al-Qur'ân. Karya ini bertahun-tahun ada di tangan Ustad Ali Akbar Ghifari sampai kemudian dicetak terbitkan oleh penerbit Maktabah Al-Shaduq.
Aliran Pendidikan
Allamah Syusytari juga
telah mendidik banyak ulama dan mempersembahkannya kepada masyarakat ilmu dan
budaya. Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh ulama dari
kalangan keluarganya sendiri:
1. Syaikh Baha'udin
Syusytari yang dikenal dengan sebutan Syaikh Baha'.
Dia adalah saudara
Muhaqiq Syusytari dan ulama ternama, sekarang dia termasuk tokoh masyarakat di
kota Syusytar, meskipun usianya sudah lebih dari 90 tahun, tapi dia tetap aktif
di bidang tablig agama, pedidikan akhlak dan tradisi Islam, setiap hari masih
menjadi imam shalat jama'ah di masjid Madrasah Marhum Syaikh Ja'far Syusytari.
2. Dr. Muhammad Ali
Syusytari.
Dia adalah
satu-satunya putera Allamah Syusytari, dia menuai banyak keberhasilan di
peradaban Islam dan seringkali mendukung ayahnya, puluhan kitab dan artikel dia
persembahkan kepada dunia intelektual. Dia termasuk dosen ternama Universitas
Tehran, kemudian dia dipilih oleh penduduk Syusytar sebagai wakil rakyat di
parlemen; Majelis Permusyaratan Islam. Dia punya anak bernama Mas'ud yang
terjun ke medan jihad dengan penuh semangat sampai hilang jejaknya; mati syahid
tanpa ditemukan sisa-sisa pakaian atau perlengkapan perangnya.
Allamah Syusytari juga
mempunyai tiga anak perempuan, perlu kiranya di sini kami mengenang menantu
utamanya yang bernama Haj Sayid Abu Hasan Syusytari yang juga berstatus sebagai
ruhaniawan dan aktif di bangku pendidikan serta mimbar-mimbar masjid. Tidak
lama setelah Allamah Syusytari meninggal dunia, dia juga meninggal dunia. [9]
Cermin Akhlak
Muhaqiq, adalah orang
yang bertakwa, ahli mihrab dan cinta Ilahi dalam konteks wilayah. Pernah suatu
hari dia ditanya, 'Seandainya Allah Swt memudakan anda lagi dan memberi kekuatan
seperti dulu, apa yang akan anda perbuat?' dia menjawab, 'Meneliti jejak-jejak
Ahli Bait as.'
Musim Perpisahan
Setelah sekian lama
menyinari di langit ilmu dan agama, akhirnya mentari Khuzestan ini terbenam
pada tanggal 29 – 2 – 74 (19 Dzi Hujjah 1415 H.), surat kabar-surat kabar
menulis di halaman pertamanya bahwa Ayatullah Uzma Syaikh Muhammad Taqi
Syusytari telah meninggal dunia. Banyak sekali orang yang menyesal kenapa
setelah beliau meninggal dunia kita baru mengenalnya. Akhirnya, mentari yang
terbit dan memancar dari kota suci Najaf itu terbenam di kota Syusytar, jenasah
beliau dikuburkan di Makam Sayid Muhammad Gulabi. (Referensi: Gulsyan-e Abror,
Tim penulis, Pazhuheyskadeh-e Baqirul Ulum)
Catatan:
1. Nuqaba'ul Basyar:
Torikh Tawallud-e Muhaqeq Syusytari, jld. 1, hal. 265, tahun 1321 H.; akan
tetapi, menurut Muhaqiq sendiri di dalam wawancaranya dengan Kaihan Farhanggi,
tahun kedua, volume 1, hal. 5, pada tahun 1320 H. bahwa ayahnya memberi dia
nama imam kesembilan; Muhammad Taqi, agar senantiasa teringat kepada salah satu
kekasih pilihan Allah Swt, yaitu Imam Muhammad Jawad At-Taqi as.
2. Kaihane Farhanggi, tahun ke-2, volume 1, hal. 6 dan 11.
3. Muhaqiq Syusytari: Bahj Al-Shibâghoh fî Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 1, hal. 13.
4. Qômûs Al-Rijâl, jld. 1, hal. 5 – 6.
5. Kaihane Farhanggi, tahun ke-2, volume 1, hal. 5.
6. Qômûs Al-Rijâl, jld. 1, hal. 6.
7. Mahnameh Wahid, tahun k-3, volume 3, hal. 184 – 186 bulan Isfand 1344 HS.
8. Sering terjadi surat menyurat antara Muhaqiq Syusytari dan ustad Irfanian, kira-kira mencapai lima puluh surat. Ustad Irfanian telah memilihkan dua puluh dari surat-surat yang ditulis secara langsung oleh Muhaqiq Syusytari dan memberikannya kepada saya, surat-surat penuh dengan kandungan yang sangat berharga, masing-masing darinya merupakan lembaran hijau sejarah peradaban kontemporer (saat itu). Surat-surat itu kemudian kami ketik dan kami lampirkan bersama kitab Muhaqeq Syusytari, Qomus-e Pazhuhesy.
9. Informasi ini kami dapat dari Aqgha Farhang yang selama bertahun-tahun mengabdi kepada Allamah Syusytari. Saat kami menelepon dia untuk mendapatkan informasi ini pada tanggal 19 – 1 – 76 HS, dia juga mengatakan bahwa Haj Sayid Abu Hasan Syusytari membangun dua perpustakaan dan yayasan budaya di kota Syusytar; dua perpustakaan itu bernama Ketabkhaneh-e Astan-e Quds-e Radhawi, dan Ketabkhaneh-e Allamah Syusytari.
2. Kaihane Farhanggi, tahun ke-2, volume 1, hal. 6 dan 11.
3. Muhaqiq Syusytari: Bahj Al-Shibâghoh fî Syarh Nahj Al-Balâghoh, jld. 1, hal. 13.
4. Qômûs Al-Rijâl, jld. 1, hal. 5 – 6.
5. Kaihane Farhanggi, tahun ke-2, volume 1, hal. 5.
6. Qômûs Al-Rijâl, jld. 1, hal. 6.
7. Mahnameh Wahid, tahun k-3, volume 3, hal. 184 – 186 bulan Isfand 1344 HS.
8. Sering terjadi surat menyurat antara Muhaqiq Syusytari dan ustad Irfanian, kira-kira mencapai lima puluh surat. Ustad Irfanian telah memilihkan dua puluh dari surat-surat yang ditulis secara langsung oleh Muhaqiq Syusytari dan memberikannya kepada saya, surat-surat penuh dengan kandungan yang sangat berharga, masing-masing darinya merupakan lembaran hijau sejarah peradaban kontemporer (saat itu). Surat-surat itu kemudian kami ketik dan kami lampirkan bersama kitab Muhaqeq Syusytari, Qomus-e Pazhuhesy.
9. Informasi ini kami dapat dari Aqgha Farhang yang selama bertahun-tahun mengabdi kepada Allamah Syusytari. Saat kami menelepon dia untuk mendapatkan informasi ini pada tanggal 19 – 1 – 76 HS, dia juga mengatakan bahwa Haj Sayid Abu Hasan Syusytari membangun dua perpustakaan dan yayasan budaya di kota Syusytar; dua perpustakaan itu bernama Ketabkhaneh-e Astan-e Quds-e Radhawi, dan Ketabkhaneh-e Allamah Syusytari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar