“Jagat raya adalah suatu
permainan yang anggun, indah, dan misterius”. Kata-kata itu bukan milik atau
berasal dari saya, tapi milik dan berasal dari para fisikawan: Isaac Newton,
Albert Einstein, Richard Feynman, dan Stephen Hawking. Sebuah ungkapan yang
pada dasarnya bernuansa literer, dan memang ada rahim yang dimiliki bersama
oleh fisika dan sastra, yaitu imajinasi, yang dengannya dan darinya kekaguman,
pikiran, dan rasa ingin tahu alias kuriositas seorang fisikawan dan sastrawan
memiliki “rumah” dan “kosmik” bagi kerja dan ikhtiar intelektual dan saintifik
mereka.
Kekaguman dan rasa ingin
tahu alias kuriositas itu sendiri dapat dikatakan sebagai sesuatu yang alami
atau kodrati, sebagaimana yang dikatakan Carl Sagan: “Kita semua haus akan
hal-hal yang menakjubkan. Hal itu tertanam sangat kuat di dalam hati manusia”.
Namun, karena bidang dan
fokus yang tak sama antara para fisikawan dan para sastrawan, yaitu antara
penyelidikan semesta dan minat kemanusiaan (sejarah dan kehidupan manusia),
imajinasi itu pun melahirkan bayi-bayi yang berbeda. Para fisikawan menemukan
dan menciptakan rumus dan teori ketika mereka berusaha “menyingkap” misteri
semesta atau jagat raya, dan para sastrawan melahirkan prosa dan sajak ketika
mereka “merenungi” dan menuliskan lanskap dan kosmik manusia dan kehidupannya,
dirinya sendiri, sejarahnya, harapan-harapannya, dan hal-hal lainnya yang
berkaitan dengan cakrawala dan keseharian kita.
Setidak-tidaknya, sebuah
puisi yang ditulis oleh Karl Jay Shapiro, yaitu Travelogue for Exiles, cukup
menunjukkan kepada kita di mana alamat dan rumah para penyair dan (sastrawan
pada umumnya):
Lihat dan ingatlah. Lihatlah
langit
Lihatlah dalam-dalam ke
udara bening,
Tanpa batas, ujung dari
doa.
Bicaralah sekarang,
bicaralah
Pada kubah suci: apa yang
kaudengar?
Apa jawaban sang langit?
Langit sudah ada
pemiliknya
Itu bukan rumahmu.
Hanya saja, yang
barangkali saja hal ini tak disadari oleh penyairnya sendiri, puisi itu juga
mencerminkan minat terselubung (semacam minat alam bawah sadar) dan refleksi
yang sifatnya samar dan implisit untuk “menangkap”, memahami, atau menyelami
semesta yang jauh dan tak terjangkau oleh si penyair.
“Kubah suci” dan “udara
bening” dalam puisi itu adalah semesta yang ditatap dan dipandang oleh si
penyair dari kejauhan di bumi, ketika si penyair itu sendiri, atau subjek lain
yang menjadi narator puisi tersebut, tak memiliki rumah di bumi sebagai orang
asing, namun pada saat bersamaan, ia juga tahu dan merasa bahwa dirinya tak
mungkin tinggal di langit sana. Puisi itu, sengaja atau tanpa sengaja, telah
mempertemukan sekaligus mengkontraskan ranah saintis dan ranah penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar