Oleh O Hashem (penulis buku
Saqifah)
HADIS SHAHÎH BELUM TENTU
SHAHÎH
Sumber sejarah kita adalah
Al-Qur’ân, hadis dan naskah sejarah lainnya. Mengenai Al-Qur’ân, tidak ada beda
pendapat. Al-Qur’ân hanya satu. Tetapi mengenai hadis kita harus memilih hadis
shahîh. Namun haruslah diingat bahwa hadis yang “shahîh” belum tentu shahîh
bila dihubungkan dengan sejarah atau ayat Al-Qur’ân. Misalnya
hadis Abû Hurairah mengenai mizwâd, kantong mukjizat yang diikatkan di
pinggangnya dan memberi makan pasukan-pasukan dan dirinya sendiri selama dua
puluh tahun. Atau
hadis Abû Hurairah tentang Âdam yang diciptakan seperti bentuk Allâh SWT dengan
panjang enam puluh hasta, yang akan dibicarakan di bagian lain pengantar ini.
Atau hadis yang bertentangan satu dengan yang lain, seperti, riwayat Â'isyah
bahwa Rasûl Allâh wafat sambil bersandar di dada Âisyah dan hadis Ummu Salamah
bahwa Rasûl meninggal tatkala sedang bersandar di dada Alî bin Abî Thâlib.
Di kemudian hari muncul
hadis-hadis palsu yang jumlahnya sangat mencengangkan seperti “sinyalemen”
Rasûl Allâh saw: “Sejumlah besar hadis palsu akan diceritakan atas namaku
sesudah aku wafat, dan barangsiapa berbicara bohong terhadapku, ia akan
dimasukkan ke dalam neraka.”
H. Fuad Hashem
memberi gambaran menarik “...Khalîfah Abû Bakar, menurut sejarawan al-Dzahabî,
dilaporkan membakar kumpulan lima ratus hadis, hanya sehari setelah ia
menyerahkannya kepada putrinya Âisyah. “Saya menulis menurut tanggapan saya,” kata
Abû Bakar, “namun bisa jadi ada hal yang tidak persis dengan yang diutamakan
Nabî.” Kalau saja Abû Bakar hidup sampai dua ratus tahun kemudian dan
menyaksikan betapa beraninya orang mengadakan jutaan hadis yang kiranya jauh
dari “persis”, mungkin sekali ia menangis, seperti yang dilakukannya banyak
kali.
Penggantinya khalîfah Umar, juga
menolak menulis serupa karena ini tidak ada presedennya. Di depan jemaah
Muslim, ia berkata: “Saya sedang menimbang menuliskan hadis Nabî,” katanya.
“Tetapi saya ragu karena teringat kaum Ahlul Kitâb yang mendului kaum Muslim.
Mereka menuliskan kitab selain wahyu; akibatnya, mereka akhirnya malahan
meninggalkan kitab sucinya dan berpegang pada kumpulan hadis itu saja.” Semua
ini menunda pencatatan keterangan mengenai kehidupan awal Islam.
“Tidak kita temui ulama memberi
lebih banyak kepalsuan dari yang mereka lakukan atas hadis,” kata Muslim,
pengumpul hadis tersohor. Banyak duri khurâfât yang kalau dicabut, akan
mengeluarkan banyak darah dan membikin sekujur tubuh merasa demam; sudah
terlalu dalam, terlalu lama tertanam. Di zaman Dinasti Abbâsiyah, semua
keutamaan Umayyah dibilas... Peranan Abbâs, paman Rasûl, dibenahi; ia, selagi
kafir, dijadikan “pahlawan” dengan mengawal Muhammad dalam bai’at Aqabah, atau
ia sebenarnya telah lama masuk Islam dan dipaksa oleh kaum Quraisy untuk ikut
berperang melawan Islam dalam Perang Badr. Semua untuk memberikan legitimasi
atas tahta.
Tetapi kedua dinasti bermusuhan
itu sepakat mengenai satu hal: mendiskreditkan para pengikut Alî dan berkepentingan
agar Abû Thâlib mati kafir. Ia ayah Alî dan dengan begitu barangkali anak
cucunya kurang berhak atas jabatan pimpinan umat Islam yang diperebutkan. Penulis
zaman itu pun sedikit banyak harus memperhatikan pesanan dari istana, kalau
masih mau menulis lagi. Dan mereka terpaksa menulis apa yang mereka tulis...
Dua ratus tahun sepeninggal
Rasûl, jumlah hadis telah mencapai jutaan dan para ulama yang memburu dengan
kuda dari Spanyol sampai India mulai heran karena persediaan hadis sudah jauh
melampaui permintaan. Di situ sudah ditampung sabda Yesus, ungkapan Yunani,
pepatah Persia dan aneka sisipan dan buatan yang sukar ditelusuri
asal-muasalnya. Barulah ulama memikirkan cara mengontrol: memeriksa rangkaian
penutur hadis ini (isnâd) dengan berbagai metode untuk menguji kebenarannya. Bukhârî
dan Muslim serta beberapa lainnya menyortir secara ketat semua itu, lalu
menggolongkannya menurut tingkat dan mutu kebenarannya, tugas yang hampir
mustahil dilakukan manusia. Bagaimanapun, kerusakan telah terjadi. Sepanjang
menyangkut catatan mengenai biografi Muhammad, mungkin sedikit saja motif jahat
untuk megotori sisa hidup dan perjuangannya. Juga kita dapat men-cek dan
menimbang lalu menyimpulkan “motif” kepentingan politik dari hadis mengenai
selangkah atau sepatah kata Nabî, walaupun ini bukan mudah: sebab orang dulu
pun pandai seperti kita untuk membuat motif itu mulus, luput dari utikan dan
dengan mudahnya menjerat kita...
Motif itu hampir tak terbilang
jumlahnya: ekonomi, kehormatan, politik atau sekadar kesadaran bahwa nama
mereka masih akan dicatat dan disebut sampai detik-detik menjelang kiamatnya
alam jagad ini, sebab Islam agama universal. Maka siapa pengikut pertama, siapa
yang menjabat tangan Muhammad lebih dulu dalam ikrar Aqabah, siapa yang tidak
hijrah, semua diperebutkan oleh anak keturunan, murid atau malahan tetangga
mereka. Ahmad Amîn mengutip Ibnu Urafah, mengatakan bahwa “kebanyakan hadis yang
mengutamakan para sahabat dan mutu sahabat Rasûl, dipalsukan selama periode
Dinasti Umayyah.” Demikian H. Fuad Hashem.
HATI-HATI TERHADAP 700
PEMBUAT HADIS ASPAL
Berapa banyak jumlah hadis palsu
ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut. Dari 600.000 (enam ratus ribu)
hadis yang dikumpulkan Al-Bukhârî, ia hanya memilih 2761 (dua ribu tujuh ratus
enam puluh satu) hadis.
Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memilih 4.000 (empat ribu).
Abû Dâwud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu
delapan ratus) hadis.
Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000
(tiga puluh ribu) hadis.
Bukhârî (194-255 H., 810-869
M.), Muslim (204-261 H, 819-875 M.), Tirmidzî (209-279 H., 824-892 M.), Nasâ’î
(214303 H. , 829-915 M.), Abû Dâwud (203-275 H., 818-888 M.) dan Ibnu Mâjah
(209-295 H., 824-908 M.) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadis-hadis yang
menurut mereka adalah benar, shahîh.
Hadis-hadis ini telah terhimpun
dalam enam buku shahîh, ashshihâh as-sittah, dengan judul kitab masing-masing
menurut nama mereka, Shahîh Bukhârî, Shahîh Muslim, Shahîh (Sunan) Ibnu Mâjah,
Shahîh (Sunan) Abû Dâwud, Shahîh (Jâmi) Tirmidzî dan Shahîh (Sunan) Nasâ’î.
Tetapi, bila kita baca
penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl, maka
masih banyak hadis shahîh ini akan gugur, karena ternyata banyak di antara
pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu.
Al-Amînî, misalnya, telah
mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong, yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa
Ta’dîl Sunnî, yang
selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan
selama ini dianggap shahîh dan tertera dalam buku shahîh
enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri,
beribu-ribu hadis palsu.
Dan terdapat pula para pembohong
zuhud,
yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan
berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka,
mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasûl Allâh saw yang diancam api
neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (alâ) Rasûl
Allâh saw tetapi untuk (lî) Rasûl Allâh saw. Maksudnya, mereka ingin membuat
agama Islam lebih bagus.
Tidak mungkin mengutip semua.
Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi
yang ditulis Amînî.
Muqâtil bin Sulaimân Al-Bakhî,
meninggal tahun 150 H. 767 M. Ia adalah pembohong dan pemalsu hadis. Nasâ’î
memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis
terhadap Rasûl Allâh saw. Ia berkata terang-terangan kepada khalîfah Abû Ja’far
al-Manshûr: “Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasûl untukmu”. Ia lalu
melakukannya. Dan ia berkata kepada khalîfah al-Mahdî dari Banû Abbâs: “Bila
Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) Abbâs.”
Al-Mahdî menjawab: “Aku tidak
menghendakinya!” Abû Bakar al-Khatîb, Târîkh Baghdâd, jilid 13, hal. 168;
‘Alâ’udîn Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-Ummâl, jilid 5, hal. 160; Syamsuddîn
adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, jilid 3, hal. 196; al-Hâfizh Ibnu Hajar
al-Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, jilid 10, hal. 284; Jalâluddîn as-Suyûthî,
al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 1, hal. 168, jilid 2, hal. 60, 122.”
Para pembohong ini bukanlah
orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat
seperti Umar, Abû Bakar, Âisyah dan lain-lain. Mereka juga memakai nama para
tâbi’în seperti Urwah bin Zubair sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad
dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat dipercaya. Hadis-hadis ini disusun
dengan rapih, kadang-kadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi
kesalahan terjadi tentu saja karena namanya tercantum di dalam rangkaian
perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat
menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak hadis-hadis tersebut.
Demikian pula, misalnya
hadis-hadis yang menggunakan kata-kata “mencerca sahabat” tidak mungkin
diucapkan Rasûl, karena kata-kata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiyah,
lama sesudah Rasûl wafat. Seperti kata-kata Rasûl “Barang siapa mencerca
sahabat-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia
telah mencerca Allâh dan mereka akan dilemparkan ke api neraka yang banyak
jumlahnya.
Juga hadis-hadis berupa perintah
Rasûl agar secara lansung atau tidak lansung meneladani atau mengikuti seluruh
sahabat, seperti “Para sahabatku laksana bintang-bintang, siapa saja yang kamu
ikuti, pasti akan mendapat petunjuk” atau “Para sahabatku adalah penyelamat
umatku”, tidaklah historis sifatnya.
Disamping perintah ini menjadi
janggal, karena pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan
perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan
bahwa selama pemerintahan Banî Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap Ali bin
Abî Thâlib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau
tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghentikan perbuatan tercela yang
dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi
pula di samping fakta sejarah, al-Qur’ân dan hadis telah menolak keadilan
seluruh sahabat.
Atau hadis-hadis bahwa para
khalîfah diciptakan atau berasal dari nûr (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab
menurut Al-Qur’ân manusia berasal dari Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah dan
tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang
berhasil menjadi khalîfah dibikin dari nûr.
Para ahli telah mengumpul para
pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan. Abû Sa’îd
Abân bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300.
Abû Alî Ahmad al-Jubarî 10.000
Ahmad bin Muhammad al-Qays 3.000
Ahmad bin Muhammad Maruzî 10.000
Shalih bin Muhammad al-Qairathî
10.000
dan banyak sekali yang lain.
Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para
ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnâd, Anda harus hati-hati.
Ada pula pembohong yang menulis
sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin
Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah
menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama
Abdullâh bin Saba’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syî’ah. Dan ia juga
memasukkan 150
sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis
di zaman khalîfah Hârûn al-Rasyîd. Bukunya telah menimbulkan demikian banyak
bencana yang menimpa kaum Syî’ah.
Bila membaca, misalnya, kitab
sejarah Thabarî dan nama Saif bin Umar berada dalam rangkaian isnâd, maka
berita tersebut harus diperiksa dengan teliti.
HATI-HATI TERHADAP 150
SAHABAT FIKTIF
Suatu rangkaian isnâd yang
lengkap, dengan penyalur-penyalur yang indentitas orangnya tidak dapat
dibuktikan sebagai cacat, belum lagi menjamin kebenaran suatu berita. Hal ini disebabkan
adanya sahabat-sahabat fiktif sehingga memerlukan penelitian yang lebih cermat terhadap para
sahabat.
Murtadha al-Askarî, misalnya,
telah berhasil menemukan 150 nama sahabat Nabî yang fiktif, yang tidak pernah
ada dalam kehidupan nyata, yang telah dimasukkan oleh penulis sejarah yang
bernama Saif bin Umar, pencipta pelakon fiktif Abdullâh
bin Saba’, sebagai saksi-saksi pelapor. “Penulis sejarah” ini telah memasukkan
berbagai kota dan sungai yang kenyataannya tidak pernah ada.
Di bagian lain banyak ulama
berpendapat bahwa hadis yang disampaikan seorang pembohong harus ditolak tetapi
laporan sejarah yang ditulisnya “harus” diterima. Hal ini, misalnya terjadi
pada hadis dari Saif bin Umar yang menulis buku Ar-Ridda dan Al-Futûh yang
telah ditolak oleh banyak ulama karena dianggap pembohong tetapi ceritanya
sendiri tentang tokoh fiktif Abdullâh bin Saba’, suatu pribadi yang tidak
dikenal oleh semua penulis lain, selama ini diterima sebagai fakta sejarah.
Tetapi menurut hemat saya, kedua laporannya, hadis maupun bukan hadis harus
dipandang dengan kritis. Kalau tentang Rasûl Allâh saw saja ia mau berbohong
apalagi tentang orang lain.
BUKHÂRÎ TIDAK SUKA IMÂM
AZ-ZAKÎ AL-ASKARÎ
Kesulitan lain adalah kita
kekurangan berita langsung dari sumber Alî bin Abî Thâlib dan anak cucunya bila
berhadapan dengan peristiwa di mana mereka juga terlibat, seperti bagaimana
suasana dan perasaan anak-anak Fâthimah tatkala rumah Fâthimah diserbu oleh
pasukan Abû Bakar,
atau apa kegiatan Alî selama hampir 25 tahun
kekhalifahan Abû Bakar, Umar dan Utsmân. Bagaimana hukum fiqih berkembang dalam
keluarga mereka? Bukankah Alî adalah pintu ilmu menurut hadis Rasûl? Sebabnya
adalah kurangnya perhatian sejarahwan Sunnî terhadap sumber riwayat dari Alî,
Fâthimah, Hasan, Husain dan anak cucunya. Bukhârî
misalnya tidak mau mewawancarai Imâm Az-Zakî al-Askarî (yang sezaman dengannya,
232-260 H; 840870 H.), cucu Rasûl Allâh saw dan sedikit pun juga tidak berhujah
dengan Imâm Ja’far As- Shâdiq, Imâm Al-Kâzhim, Imâm Ar-Ridhâ, Imâm Al-Jawâd dan
tidak dari Al-Hasan bin Al-Hasan, Zaid bin Alî bin Al-Husain, Yahyâ bin Zaid, An-Nafsu
Az-Zakîyah, Ibrâhîm bin Abdullâh, Muhammad bin Qâsim bin Alî (sezaman dengan
Bukhârî) dan tidak dari keturunan ahlu’l-bait mana pun.
Tetapi Bukhârî misalnya
meriwayatkan dari seribu dua ratus kaum Khawârij yang memusuhi ahlu’l-bait, dan
tokoh-tokoh yang terkenal Jâhil terhadap keluarga Rasûl Allâh saw.
HATI-HATI TERHADAP
SEJARAH YANG TELAH BAKU: ALI DAN ZUBAIR MENYEMBELIH RATUSAN ORANG TAK BERDAYA?
RASÛL MENGGALI KUBUR MEREKA DI MADINAH?
Dalam hampir semua buku sejarah
Rasûl, diceriterakan tentang pembunuhan Banî Quraizhah, klan Yahudi di Madinah,
oleh kaum muslimin secara berdarah dingin. Cerita yang sudah
dianggap baku dan memalukan ini, bila dihadapkan dengan konteks sejarah sangat
diragukan.
Menurut Ibnu Ishâq, setelah
dikepung selama 25 hari (menurut Ibnu Sa’d 15 hari) oleh pasukan kaum Muslimîn
yang berjumlah 3.000, mereka menyerah dan meminta sebagai pemimpin sekutu
mereka dari Banû Aws menjadi hakam untuk menentukan hukuman mereka. Dan Sa’d
menetapkan hukuman mati terhadap semua prajurit (muqâtil) yang berjumlah antara
600 sampai 900 (Ibnu Ishâq), harta dirampas dan keluarga mereka ditawan.
Menurut Ibnu Sa’d dan Wâqidî, Banû Quraizhah menyerahkan keputusan kepada Rasûl
dan Rasûl menunjuk Sa’d bin Mu’âdz sebagai hakam. Tapi menurut Ibnu Sa’d, Banû
Quraizhah lansung menyerahkan keputusan pada Sa’d. Bukhârî menyatakan bahwa
keputusan diserahkan kepada Sa’d, dan Muslim menyatakan keputusan diserahkan
kepada Rasûl dan Rasûl menyerahkan pada Sa’d.
Kemudian Rasûl menggali
liang-liang kubur di tengah pasar kota Madînah dan Alî serta Zubair memenggal
kepala mereka. Bila untuk tiap prajurit terdapat enam anggota keluarga lain,
maka jumlah mereka adalah antara 3.600 sampai 5.400 orang. Mereka dikumpul di
rumah Bint Hârits dari Banû Najjâr dan diikat dengan tali. Sekarang timbul
pertanyaan:
Di mana mereka mendapatkan tali
untuk mengikat orang sebanyak itu dan berapa besar rumah Bint Hârits? Bagaimana
mereka makan dan bagaimana sanitasi mereka? Sebab pada masa itu, menurut
Âisyah, tidak ada kakus dan mereka harus ke luar malam hari untuk itu. Apakah
mungkin mereka tidak berusaha melarikan diri dan kelihatan pasrah saja?
Bagaimana Rasûl menggali kuburan untuk 600 atau 900 mayat di batu lahar yang
demikian keras seperti di Madînah. Bagaimana perasaan Alî dan Zubair yang
membunuh masing-masing antara 300 sampai 450 orang? Berapa banyak orang yang
menyaksikan? Alî dan Zubair terkenal sebagai pemberani, tetapi membunuh sekian
banyak orang “berdarah dingin”, shabran, pasti akan membekas pada jiwa mereka.
Dan Alî serta Zubair maupun banyak sahabat yang pasti turut melihat peristiwa
luar biasa ini, suatu ketika, akan menyebutnya.
Namun dalam Nahju’l-Balâghah
atau tulisan lain, tidak kita temukan Alî menyinggung peristiwa tersebut.
Cerita itu seperti hilang begitu saja di pasar Madînah.
Hampir tidak mungkin menulis
satu periode sejarah tanpa memahami seluruh sejarah Islam. Misalnya, tatkala
membaca suatu peristiwa, opini seseorang sering terpengaruh oleh komentar
penulis peristiwa tersebut, boleh jadi ia juga terpengaruh oleh mazhab yang
dianutnya, misalnya oleh keutamaan seorang sahabat yang terlibat dalam
peristiwa tersebut, sehingga kita cenderung untuk “berpihak” kepadanya. Tidak
kecuali peristiwa Saqîfah.
CATATAN:
Al-Bukhârî, jilid 1 hlm. 38, jilid 2, hlm. 102, jilid 4, hlm.
207, jilid 8, hlm. 54; Muslim, jilid 8, hlm. 229; Abû Dâwud, jilid 3, hlm.
319-320; at-Tirmidzî, jilid 4, hlm. 524, jilid 5, hlm. 35-36, 40, 199, 634;
Ibnu Mâjah, jilid 1, hlm. 13-15
H. Fuad Hashem, Sîrah Muhammad Rasûlullâh, Penerbit Mizan, 1989,
Bandung, hlm. 24-26.
Târîkh Baghdâd, jilid 2, hlm. 8; Al-Irsyâd as-Sârî, jilid 1,
hlm. 28; Shifâtu’s Shafwah, jilid 4, hlm. 143.
Târîkh Baghdâd, jilid 13, hlm. 101; al-Muntazam, jilid 5, hlm.
32; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2, hlm. 151, 157; Wafayât al-A’yân, jilid 5,
hlm. 194.
Târîkh Baghdâd, jilid 9, hlm. 57; Thabaqât al-Huffâzh, jilid 2,
hlm. 154; alMuntazam jilid 5, hlm. 97; Wafayât al-Ayân, jilid 2, hlm. 404.
Târîkh Baghdâd, jilid 4, hlm. 419-420; Thabaqât al-Huffâzh,
jilid 2, hlm. 17; Tahdzîb at-Tahdzîb jilid 1, hlm. 74; Wafayât al-A’yân, jilid
1, hlm. 64.
Menurut metode pengelompokan, hadis-hadis dibagi dalam Musnad,
Shahîh, Jâmi’, Sunan, Mu’jam dan Zawâ’id.
zuhd = orang yang menjauhi kesenangan duniawi dan memilih
kehidupan
Akhirat.
Al-Amînî, al-Ghadîr, Beirut, 1976, jilid 5, hlm. 209-375.
Al-Amînî, al-Ghadîr, jilid 5, hlm. 266.
Contoh-contoh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl: Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî,
Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl (Ahli Cacat dan Pelurusan); Syamsuddîn Az-Dzahabî, Mîzân
al-I’tidâl (Timbangan Kejujuran); Ibnu Hajar al-Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb
(Pembetulan bagi Pembetulan) dan Lisân al-Mîzân (Kata-kata Timbangan);
Imâduddîn ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa’n-Nihâyah (Awal dan Akhir), Jalâluddîn
As-Suûythî, al-La’âlî’ul-Mashnû’ah (Mutiara-mutiara buatan), Ibnu Khalikân,
Wafayât al-A’yân wa Anbâ’ Abnâ az-Zamân (Meninggalnya Para Tokoh dan Berita
Anak-anak Zaman). Dan masih banyak lagi.
Lihat Al-Muhibb Thabarî, Riyâdh an-Nadhirah, jilid 1, hlm. 30.
Lihat Bab 19: “Tiga dan Tiga” sub bab Sahabat Rasûl.
Murtadhâ al-Askarî, Khamsûn wa Mi’ah Shahabî Mukhtalaq, Beirut,
1968.
Dibicarakan di bab 10, “Pengepungan Rumah Fatimah.”
Sejak Rasûl wafat tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah,
12-3-11 H., sampai meninggalnya Utsman tanggal 18 Dzul Hijjah tahun 35 Hijriah,
1812-35 H.
Bacalah Abdul Husain Syarafuddîn Al-Mûsâwî, Ajwibah Masâ’il
Jârallâh, hlm. 71-72
Lihat Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-examination,
Delhi, 1979.