Oleh Fadhli Lukman (Mahasiswa Pasca
Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pada dasarnya, Hasan
Hanafi lebih layak untuk disebut sebagai seorang filosof Muslim ketimbang
sebagai ahli hermeneutika atau penafsir. Bukan hanya karena concern-nya yang sangat kuat kepada
realitas aktual umat Islam, namun juga karena proyek besar yang diusungnya (al-Turats wa al-Tajdid) seringkali
disebut sebagai proyek peradaban yang bertujuan untuk merubah masyarakat
(Saenong, 2002: 99), dan pembahasan mengenai seni interpretasi, yang dalam hal
ini adalah Alquran, hanyalah salah satu pokok pembahasan yang dibahas dalam
skema besar tersebut. Penilaian semacam ini juga bisa dilihat dari bahasan
panjang yang ditulis oleh Ali Harb Naqd al-Nash, yang
lebih menitikberatkan kritiknya kepada Hasan Hanafi dalam kajian isu-isu yang
lebih berbau filosofis daripada kajian Alquran (Harb, 2003: 31-86).
Menurut Amin Abdullah,
Hasan Hanafi adalah sarjana pertama yang mencetuskan terminologi hermeneutika Alquran. Meski mengakui
bahwa Hasan Hanafi belum menerbitkan karya sistematis mengenai hermeneutika
Alquran (pengakuan tersebut ditulis tahun 2002), artikel-artikel lepasnya telah
menunjukkan concern Hanafi kepada agenda
hermeneutika Alquran yang dibangun atas dua agenda: persoalan metodis/teori
penafsiran dan persoalan filosofis/matateori penafsiran. Secara metodis, Hanafi
menggariskan beberapa langkah baru dalam memahami Alquran dengan tumpuan utama
pada dimensi liberasi dan emansipatoris Alquran. Sementara untuk agenda
filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai komentator, kritikus, bahkan
dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam
metodologi penafsiran Alquran. Hanafi telah menelorkan tulisan-tulisan
hermeneutisnya seperti dalam Hermeneutics as Axiomatics:
an Islamic Model dalam bukunya Relegious Dialog and
Revolution yang ditulis diantara tahun 1972-1976. Bahkan,
sebenarnya Hanafi telah jauh sebelum itu memulai tulisan hermeneutisnya, jika
ditarik sedikit keluar dari konteks Alquran, ketika ia menulis disertasinya Les Methodes d’Exegese, essai sur La science
des Fondamen de la Comprehension, ilm Usul al-Fiqh (Metodologi
Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul Fiqh), L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual
de la metode phenomenologique et son application au phenomene religiux (Tafsir
Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena
Keagamaan), dan La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une
hermeneutique existentielle a partir du Nueveau Testament (Fenomenologi
Penafsiran: Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada
tahun 1965-1966. Sedangkan expert-hermeneut lainnya, seperti Fazlurrahman baru
memulai tulisan hermeneutisnya dengan Islam and Modernity pada
tahun 1977-1978, Major Themes of the Qur’an tahun
1980; Arkoun dengan Lecture de Coran tahun
1982; apalagi dengan Nashr Hamid Abu Zayd, Farid Esack, dan Muhammad Shahrur
yang baru menulis karya mereka setelah tahun 1990 (Saenong, 2002: xix-xxiv).
Dalam membangun
hermeneutika ala Hasan Hanafi, ia menggunakan
beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh,
fenomenologi, marxis, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients tersebut, Hasan Hanafi
membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu mewadahi gagasan pembebasan dalam
Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni menjadi landasan normatif-ideologis
bagi umat Islam untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitasi, dan
ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Di samping itu, bangunan
hermeneutika semacam ini juga merupakan upaya Hasan Hanafi untuk melampaui
bangunan hermeneutika teoritis yang bertendensi objektifis seperti hermeneutika
Fazlurrahman dan Arkoun. Dengan argumentasi bahwa hermeneutika aliran
objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut bersifat elitis dan
tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas, Hasan Hanafi sendiri
menghindari model hermeneutika demikian, dan mengusung hermeneutika yang lebih
bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat
saat ini (Saenong, 2002: 8-9).
Hasan Hanafi menggunakan
diskursus ushul fiqh seumpama ketika ia
menekankan makna tafsir yang mendunia, praktis, dan menyentuh permasalahan
langsung yang dialami masyarakat dengan menjelaskan sebuah tanggung jawab
tafsir, yaitu mengungkapkan eksistensi manusia—tidak melulu eksistensi teologis
mengenai Tuhan—baik secara individu maupun sosial, dengan menjelaskan berbagai
situasinya dalam kaitannya dengan orang lain dan alam. Hal ini sangat penting,
menurut Hanafi, karena tujuan dari aspek dogmatis dalam Islam itu sendiri
adalah untuk mengungkapkan keberadaan dan posisi manusia di alam dengan lima
macam dharuriat: agama, jiwa, akal, harga
diri, dan harta, atau yang populer dengan sebutan maqasid
al-syari’ah.
Studi fenomenologi
bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman
beserta maknanya, sementara fenomena itu sendiri adalah peristiwa/pengalaman
yang masuk ke dalam kesadaran subjek (Connoly (ed), 2002, 110). Kesadaran ini
sepertinya diaplikasikan oleh Hasan Hanafi ketika merefleksikan sosok,
karakter, dan landasan penafsir yang ideal. Menurutnya, penafsir tidak boleh
berhenti pada batas komentator atau retoris. Penafsir harus melampaui keduanya
dengan menjelma sebagai penafsir yang reformis. Selain itu, kesadaran tersebut
juga berimplikasi pada pandangannya mengenai asbab al-nuzul sebagai
berita mengenai peristiwa yang mengitari turunnya Alquran yang dapat membantu
penafsir tradisional untuk memahami ayat dengan tepat. Akan tetapi, informasi
tersebut perlu dipahami dalam kerangka bahwa peristiwa tersebut merupakan
pengalaman hidup yang dialami sahabat. Artinya, asbab
al-nuzul dalam pengertian tradisional tersebut berubah menjadi
situasi kemanusiaan empiris (Hanafi, 2009: 8-18).
Dengan diskursus yang
lainnya, Marxisme, Hasan Hanafi mencurigai adanya kepentingan, kekuasaan, dan
dominasi di balik lahirnya teks atau penafsiran (Saenong, 2002: 94-97). Hasan
Hanafi, dengan demikian, selalu memiliki kecurigaan terhadap teks atau
penafsiran status quo. Ia bersikap kritis
dengan berupaya menemukan relasi-relasi kekuasaan di belakang penafsiran, yang
baginya tidak berhasil merumuskan solusi-solusi bagi keterbelakangan Muslim.
Hermeneutika, yang
disamakan oleh Hasan Hanafi dengan tafsir, bukan
hanya teori interpretasi teks, melainkan sebagai ilmu yang menerangkan wahyu
Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan bagaimana proses wahyu dari huruf
ke realitas, atau dari logos ke praktis,
dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata
(Hanafi, 2009: 35). Ia mengkritik model tafsir konvensional, dan juga tafsir
kontemporer, yang ia anggap tidak melek realitas.
Terutama sekali, ia mengkritik al-Azhar yang masih menggunakan metode yang
memiliki gap antara teks ilahi dengan wacana
atau realitas manusiawi. Sebagai hasilnya, ia menekankan sisi realitas dalam
hermeneutikanya. Ia menyatakan bahwa sebelum mengaplikasikan sebuah teori
penafsiran, seseorang harus merefleksikan terlebih dahulu pengalaman yang hidup
pada kesadaran pribadi atau jamaah yang menyebabkan suatu ayat diturunkan.
Menurutnya, sebuah ayat bukanlah pendapat, orientasi, atau makna abstrak,
melainkan sebuah jawaban terhadap kegelisahan, kesulitan, dan penderitaan
individu-individu yang diresponnya. Pada sisi lain, ia juga menegaskan bahwa
dalam penafsiran, upaya untuk kembali kepada sumber (Alquran) akan menemukan
kebuntuan, sehingga alternatifnya adalah kembali kepada alam (Hanafi, 2009:
14-30). Dengan model ini, ia mencita-citakan tafsir yang memperbaiki manusia
atau yang ia sebut sebagai tafsir reformis, dan penafsir yang reformer/mushlih.
Secara umum, hermeneutika
terbagi kepada tiga mazhab besar. Pertama, mazhab
teoritis (hermeneutical theory) yang memiliki
problem hermeneutik berupa metode. Pertanyaan yang dibahas mazhab ini adalah
metode apakah yang cocok untuk menafsirkan teks sehingga seseorang penafsir
bisa terhindar dari kesalahpahaman?. Kesalah pahaman tersebut dijawab dengan
usaha menemukan makna objektif dari teks dengan merekonstruksi apa yang
dimaksud oleh pencipta teks. Oleh sebab itu, Sahiron Syamsuddin menyebutnya
dengan aliran objektifis.
Kedua, hermeneutika
filosofis (hermeneutic philosophy) bergerak
mengkritisi mazhab pertama. Kelemahan mazhab objektifis, menurut mazhab kedua
ini, adalah pengandaian ditemukannya makna awal atau makna sejati dan
direproduksi kembali. Sementara menurut Hans-Georg Gadamer, kita hanya dapat
melihat masa lalu dari sudut pandang kita dan dari situasi kekinian. Penafsiran
menurutnya adalah produksi makna baru, bukan reproduksi makna awal. Mazhab
kedua ini dikategorikan oleh Sahiron Syamsuddin sebagai mazhab tengah antara
kelompok pertama dan kelompok ketiga berikut ini.
Kelompok selanjutnya
adalah mazhab kritis (subjektifis) yang selalu mencurigai adanya hal-hal di
luar aspek linguistik yang membentuk konteks, pemikiran, perbuatan, dan bahkan
ilmu itu sendiri. Menurut Jurgen Habermas, pembesar kelompok ini, Gadamer
mendambakan adanya konstruksi pemikiran atau pengetahuan yang bersifat bersih
dan steril dari kepentingan-kepentingan yang menindas. Padahal, menurutnya,
setiap pengetahuan harus dilepaskan dari kepentingan-kepentingan yang
membentuknya. Oleh sebab itu, kelompok ini lebih sering mencurigai teks
dibanding mengklarifikasi kebenaran teks (Syamsuddin, 2009: 26).
Jika dikaitkan dengan
Alquran, proyek-proyek para pemikir kontemporer bisa digolongkan kepada dua
bentuk. Corak pertama adalah mereka yang berusaha mengejar makna yang lebih
kurang objektif dari teks untuk kemudian bergerak menuju realitas. Model ini
lebih dekat dengan mazhab pertama dari ketiga corak pemikiran hermeneutis di
atas. Fazlurrahman, Arkoun, dan Abu Zayd, diantara nama-nama penganut paham
ini, mementingkan prosedur ilmiyah yang mampu menggiring kepada temuan makna
objektif dengan metode yang valid. Sementara corak kedua ‘menuduh’ bahwa model
kajian pertama tersebut, meskipun bisa berhasil pada tataran teoritis, namun
mendekati mustahil untuk tataran praktis. Farid Esack, Asghar Ali
Engineer, dan Amina Wadud Muhsin, para tokoh kelompok kedua, bergerak dari
realitas untuk kemudian dikonstruksi sesuai dengan ajaran-ajaran yang diperoleh
dari penafsiran. Kelompok kedua ini lebih dekat dengan hermeneutika filosofis
(Saenong, 2002: 94-97).
Bagaimana dengan Hasan
Hanafi? Diperhatikan berdasarkan dua kelompok besar barusan, hermeneutika Hasan
Hanafi mengalami dinamikanya sendiri. Pada awalnya, ia menginginkan
hermeneutika pembebasannya bercorak rasional, formal, objektif, dan universal.
Pengandaiannya mengenai penafsir yang harus mendekati Alquran dengan tabula rasa mirip dengan model
hermeneutika Abu Zayd. Akan tetapi, belakangan, warna hermeneutika filosofis
menjadi lebih dominan dalam bangunan pemikirannya. Ia menyatakan bahwa tidak
ada hermeneutika yang absolut, universal, dan objektif. Hermeneutika selalu
bersifat sosial dan praksis. Sebagai bentuk eksplisit dalam langkah model
filosofis ini, ia menekankan pentingnya penafsir untuk menentukan terlebih
dahulu kepentingan apa yang ia bawa sebelum menafsirkan; kepentingan yang
direfleksikan dari kegelisahan yang dirasakan ketika memperhatikan permasalahan
yang melanda umat. Dikaitkan dengan mazhab hermeneutika ketiga, mazhab kritis,
Hasan Hanafi juga cenderung mencurigai tendensi kekuasaan dan dominasi di balik
teks dan penafsiran. Dengan konstruk, posisi, dan dinamika hermeneutika Hasan
Hanafi di atas, dapat dilihat ciri khas serta posisi terminologi hermeneutika
yang ia sebut dengan Hermeneutika Pembebasan di antara teori-teori para
hermeneut lainnya (Saenong, 2002: 94-98).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar