Oleh Sulaiman Djaya (Esais dan
penyair)
“Fly me to the moon….let
me play among the stars….” Sepotong bait jazz yang dinyanyikan Nat King Cole
itu, yang kini telah usai ketika aku mulai menulis, mengingatkanku pada sebuah
film drama romantis yang kutonton di Taman Ismail Marzuki Jakarta dulu, yang
sebenarnya terbilang cengeng, dan tentu saja terlampau melankolik.
Namun kesenduan lagu itu,
semakin melengkapi lembab cuaca malam ini. Meski sesungguhnya aku merasa ragu
juga, apakah aku tergolong sebagai seorang lelaki romantis, seperti tokoh-tokoh
pengelana dan ksatria-ksatria dari masa silam yang dinyanyikan sejumlah balada.
Segalanya terasa lepas,
juga malam yang untuk sementara tak menghadirkan bintang-bintang, jalan yang
seakan hanya saling berbisik dengan hembusan angin yang kadang hilang.
Kupandangi selampu neon di setiang jalan di depan rumah, yang karena tampak
dungu dan patuh dalam cuaca yang lembab, menggodaku untuk membayangkannya
sebagai kiasan waktu.
Pada saat-saat seperti
itu, ingin rasanya kutulis sebuah sajak untuk seorang perempuan yang bisa membuatku
jatuh cinta layaknya seorang bocah remaja yang masih duduk di sekolah menengah
pertama. Namun pikiran itu segera kutepis, sebab pada kenyataannya, aku sedang
tak punya nada untuk menuliskannya.
Sementara itu, jarum-jarum
jam terus berputar, dan hembusan angin sesekali mempermainkan kertas-kertas
yang memang terhampar, sisa-sisa sejumlah sketsa sajak yang gagal. Kuputar lagi
sebuah lagu dari handphone-ku, kali ini Le vie en rose yang dinyanyikan Louis
Armstrong. Romantis, tapi tak terlalu melankolik.
Juga, haruslah kuakui,
bahwa aku sudah terbiasa berjuang melawan rasa bosan, sebuah keadaan yang konon
bila telah mencapai titik akut, dapat menyebabkan depresi dan kegilaan, yang
awalnya tak disadari oleh seseorang yang merasakan atau mengalaminya, seperti Friedrich
Nietzsche, si filsuf Jerman itu.
Tentulah aku tak ingin
mengalami nasib serupa itu, dan karenanya untuk sesekali aku juga menyempatkan
untuk bersikap riang dengan jalan menonton film-film komedi dan film-film drama
romantis, yang dengan apa yang kulakukan itu, setidak-tidaknya aku juga bisa
melawan dingin dan lembab yang mencipta sendu, seperti selampu neon yang tampak
patuh dan agak dungu itu.
Namun meskipun begitu,
selampu neon di depan jalan rumah itu tak ubahnya sepotong gambar atau sebuah
figur kesabaran, atau lebih mirip situasi yang telah menjebak situasi
seseorang, hingga tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu.
Hak cipta © pada Sulaiman Djaya (2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar