Apakah keyakinan kita
mempengaruhi karya ilmiah kita? Seberapa besar refleksi metafisik, keyakinan
agama, atau dogma ilmiah mempengaruhi sains, dibedakan dari pemikiran ilmuwan
mengenai apa yang harus dilakukan di akhir pekan? Tentunya bagus kalau kita
berpikir bahwa tidak ada yang akan mempengaruhi usaha ilmiah kecuali fakta
objektif. Kenyataannya, saying sekali, sering berkata sebaliknya. Para ilmuwan
adalah bagian dari masyarakat dimana mereka hidup, dan wajar untuk melihat
bagaimana pengaruh lingkungan pada kehidupan profesionalnya, dan pengaruhnya
pada motivasi mereka dan cara mereka melihat alam. Lingkungan tersebut
termasuklah filsafat.
Pengaruh keyakinan
manusia pada aktivitas ilmiahnya bersifat tidak langsung. Keyakinan agama
Newton dan Boyle sangat mempengaruhi caranya memikirkan tentang manusia dan
alam semesta, namun sejauh sains saja yang dibahas, filsafat dan mistisme
mereka terkurung dalam pengejaran alkimia
mereka. Walaupun mereka melihat sains mereka sebagai alat untuk mengungkapkan
karya cipta Tuhan, fisika mereka tetaplah fisika. Yang benar adalah motivasi
mereka muncul sebagian atau mungkin dominan dari sumber irasional. Apa yang
dapat diistilahkan sebagai motivasi irasional jauh lebih umum daripada yang
diduga orang awam, dan terdokumentasi dengan baik kalau pertimbangan filosofis
yang membatasi mistisme tidak pernah jauh dari pikiran beberapa tokoh ilmuwan
awal abad ke-19. Dapatkah kita mengenali keyakinan mereka dari hasil ilmiahnya?
Dapatkah Anda membedakan pesawat yang dibuat oleh ateis dan dibuat oleh orang
beriman?
Bagaimana hasil sains
berdasarkan pengamatan dipengaruhi oleh pengamatnya? Penurunan keyakinan agama
pada abad ini tidak mengaburkan pertanyaan ini, karena dengan mempertimbangkan
pengaruh keyakinan pada para ilmuan, kita harus memasukkan bukan hanya keyakinan
agama konvensional –namun juga, yang lebih penting dalam masa modern ini,
keyakinan dalam dogma ilmiah yang ada. Karena walaupun mungkin ada pemisahan
antara kehidupan profesional sebagian besar ilmuwan dengan agama formal mereka,
ada jenis keyakinan lain selain keyakinan pada Tuhan.
Bila “keyakinan”
didefinisikan lebih luas sehingga memasukkan penerimaan tanpa tanya mengenai
sebagian besar fakta ilmiah, diklaim kalau keyakinan memang mencapai ke
laboratorium. Pendukung terbesar tesis ini adalah Thomas S. Kuhn (1922-1996).
Kuhn mengajukan: kalau pada setiap saat dalam sejarahnya, tiap cabang sains
dibangun dari sekumpulan konsep dan teori, secara resmi, tanpa dipertanyakan,
mengenai cara melihat dunia. Para ilmuan bekerja dalam perbatasan paradigma
ini, inilah keyakinan. Mungkin ada lebih dari satu paradigma dalam satu
disiplin ilmu. Karenanya, dalam abad ke-16 Anda dapat melihat mekanika lewat
mata Aristoteles atau mata Galileo.
Sementara Galileo melihat benda ditarik oleh Bumi lewat sebuah gaya, pengikut Aristoteles melihatnya “kembali” ke tempat asalnya. Mereka masing-masing bermula dari pra-konsepsi berbeda mengenai bagaimana alam bekerja. Kuhn akan mengatakan kalau mereka memilih paradigma yang berbeda, namun ia menunjukkan kalau keduanya menggunakan fakta yang sama untuk mendukung paradigma mereka. Perubahan sains, menurut Kuhn, bukan lewat metode falsifikasi Popper, bukan dengan berusaha menyanggah apa yang ia yakini. Sebaliknya, sains adalah aktivitas yang muncul terutama dalam batasan paradigma; eksperimen dirancang untuk mengungkapkan fakta yang mendukung, bukannya menantang, paradigma tersebut. Faktanya, segala yang tidak sesuai dipandang sebagai keanehan dan diperlakukan dengan curiga atau diabaikan selama mungkin. Gambaran ilmuwan oleh Kuhn bahkan lebih tidak menyenangkan lagi dari ini; ia mengatakan kalau bila sebuah fakta tidak sesuai dengan paradigma, ia akan diabaikan atau bahkan tidak “dilihat”, Ia memberi contoh bintik matahari, yang, sebelum Copernicus, tidak dicatat oleh astronom Barat karena langit, termasuk Matahari, dianggap tidak berubah, sementara bintik matahari kenyataannya tampak bergerak di permukaan Matahari. Kuhn mencatat kalau di China, dimana tidak ada doktrin kediaman langit, bintik matahari diamati selama berabad-abad.
Sementara Galileo melihat benda ditarik oleh Bumi lewat sebuah gaya, pengikut Aristoteles melihatnya “kembali” ke tempat asalnya. Mereka masing-masing bermula dari pra-konsepsi berbeda mengenai bagaimana alam bekerja. Kuhn akan mengatakan kalau mereka memilih paradigma yang berbeda, namun ia menunjukkan kalau keduanya menggunakan fakta yang sama untuk mendukung paradigma mereka. Perubahan sains, menurut Kuhn, bukan lewat metode falsifikasi Popper, bukan dengan berusaha menyanggah apa yang ia yakini. Sebaliknya, sains adalah aktivitas yang muncul terutama dalam batasan paradigma; eksperimen dirancang untuk mengungkapkan fakta yang mendukung, bukannya menantang, paradigma tersebut. Faktanya, segala yang tidak sesuai dipandang sebagai keanehan dan diperlakukan dengan curiga atau diabaikan selama mungkin. Gambaran ilmuwan oleh Kuhn bahkan lebih tidak menyenangkan lagi dari ini; ia mengatakan kalau bila sebuah fakta tidak sesuai dengan paradigma, ia akan diabaikan atau bahkan tidak “dilihat”, Ia memberi contoh bintik matahari, yang, sebelum Copernicus, tidak dicatat oleh astronom Barat karena langit, termasuk Matahari, dianggap tidak berubah, sementara bintik matahari kenyataannya tampak bergerak di permukaan Matahari. Kuhn mencatat kalau di China, dimana tidak ada doktrin kediaman langit, bintik matahari diamati selama berabad-abad.
Kuhn lebih jauh menolak
klaim Karl Raimund Popper kalau ketika sebuah paradigma difalsifikasi, ia akan
ditinggalkan. Menurut Kuhn, peninggalan paradigma lama terjadi hanya ketika ada
yang baru. Dengan kata lain, Popper mengatakan kalau ketika sebuah rakit tidak
dapat ditinggali, kita akan melompat ke laut, sementara Kuhn mengatakan, kita
hanya akan melompat ketika ada rakit lain tersedia.
Popper, dalam balasannya,
mengatakan kalau banyak fakta ilmiah tidak dilakukan dengan tujuan menyanggah
teori, dan ia melihat sains demikian sebagai sains kelas dua. Ia menekankan
kalau sains secara keseluruhan maju karena proses falsifikasi. Ada sesuatu
dalam apa yang harus dikatakan Popper dan Kuhn, namun para ilmuwan akan
berharap memodifikasi kedua sudut pandang tersebut. Bekerja dalam paradigma
tidak mesti merupakan sains kelas dua. Penemuan struktur dan peran DNA tidak
menyanggah teori besar apapun dan tidak menghantam paradigma apapun. Ada sejumlah
saran sebelumnya pada struktur yang mungkin, namun mereka tidak dapat dipandang
sebagai paradigma, sebuah sistem pemikiran lengkap, seperti mekanika Newton
atau evolusi Darwin. Apakah Popper mengatakan kalau Watson dan
Crick diberi hadiah Nobel untuk sains kelas dua? Sementara itu, untuk Kuhn, ia
telah menceritakan sains dengan contoh yang dipilih dengan sangat hati-hati
tentang “kebutaan ilmiah.”
Untuk setiap kisah seperti
tentang bintik matahari, misalnya, kita dapat mencari satu cerita mengenai
pengamatan yang sepenuhnya tidak terduga tetapi tidak diabaikan. Fakta kalau
pengamatan aneh diperlakukan dengan hati-hati adalah memang seharusnya
demikian, karena ia tidak harus ditolak seketika karena paradigma yang ada:
pertama kita harus skeptis, lalu melakukan eksperimen. Faktanya, Kuhn sendiri,
dalam menyerang kriteria falsifikasi Popper, menekankan fakta kalau sebuah
pengamatan anomali dapat salah dan tidak boleh diambil sebagai landasan untuk
menyangkal sebuah teori.
Sumber: Silver, B.L. 1998, The Ascent of Science,
Oxford University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar