“Yang
membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal Tuhan, mengunakan
argumenku untuk mendukung pandangan mereka” (Albert Einstein)
Di
tahun 1927, para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan yang berada dalam
sebuah gedung besar. Pagi itu, di luar gedung, salju turun ragu-ragu, awal
musim dingin mulai datang, pelan dan lamban. Kebanyakan orang memilih
berlindung di balik selimut, cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan.
Tapi tidak dengan para ahli fisika itu, mereka berdebat, berdiskusi, sementara
salju turun lamban tapi pasti di luar ruangan (di luar gedung).
Mereka adalah Max Planck, Pauli, dan Heisenberg, yang
sedang membahas tentang Albert Einstein, teoritikus fisika terbesar abad ini.
Diskusi mereka menitik pada pokok soal, Einstein yang terlalu sering berbicara
tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceramahnya, seperti ketika Einstein
menulis, “aku ingin membaca pikiran Tuhan”, “Tuhan tidak bermain dadu”, dan
yang lainnya.
Lalu bagaimana para ilmuwan itu harus menyikapi
kelakuan Einstein tersebut? Setelah perdebatan sengit, akhirnya Pauli
menyatakan: “Kalau batas antar
bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita
akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata
menetes”.
Itulah
sebabnya, sebagai ilmuwan (fisikawan), Einstein menolak konsepsi Tuhan yang
antroposentris (Tuhan yang dibayangkan seumpama manusia). Einstein melihat ide
Tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme (seperti contohnya Mujassimah
Wahabi yang menganggap Tuhan punya tangan dan bertempat).
Pada
intinya, seperti alam, Tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa
manusia. Mengapa demikian? Karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi
kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=MC2. Itupun tidak juga
menuntaskan misteri kosmos. Kosmos dan Tuhan tetap misteri yang tak akan pernah
terungkap tuntas.
Dalam
hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkhutbah: “Ia
yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian
yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. Ia
mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan
mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu”.