Oleh
Muhammad
Husain Haekal
Orang-orang Yahudi
di negeri-negeri Arab
merupakan kaum imigran yang
besar, kebanyakan mereka tinggal di
Yaman dan Yathrib. Di
samping itu kemudian
agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan
Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates)
ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan
paganisma di mana saja
ia berada. Jatuhnya Rumawi dan
hilangnya kekuasaan yang di
tangannya, ialah sesudah pindahnya
pusat peradaban dunia itu ke Bizantium.
Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah
banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan
dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat
iman yang tinggi ke dalam kancah
perdebatan tentang bentuk dan
ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia
yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau
anak yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang
terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat
hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
Ini tentu
disebabkan oleh karena isi
dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di
atas isi sehingga akhirnya mustahil
sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi
timbunan kulit itu.
Apa
yang telah menjadi pokok perdebatan kaum
Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum
Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat
hubungannya dengan
orang-orang Nasrani, tidak
akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu.
Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang
berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman
dalam perjalanan mereka
pada musim dingin atau
musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia,
tetap tidak akan sudi memihak salah satu di
antara golongan-golongan itu.
Mereka sudah puas dengan kehidupan
agama berhala yang ada pada
mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup
nenek-moyang mereka.
Oleh karena
itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka,
sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada
tetangga-tetangga mereka yang
beragama Kristen di Najran
dan agama Yahudi
di Yathrib, yang
pada mulanya memberikan kelonggaran
kepada mereka, kemudian
turut menerimanya. Hubungan
mereka dengan orang-orang
Arab yang menyembah berhala
untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan itu baik-baik saja.
Yang
menyebabkan orang-orang Arab itu
tetap bertahan pada paganismanya bukan
saja karena ada
pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan
paganisma itu masih tetap
hidup di kalangan
bangsa-bangsa yang sudah menerima
ajaran Kristen. Paganisma
Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai
mazhab yang beraneka macam dan di antara
pelbagai sekta-sekta Kristen
sendiri. Aliran Alexandria
dan filsafat Alexandria
masih tetap berpengaruh, meskipun
sudah banyak berkurang
dibandingkan dengan masa Ptolemies
dan masa permulaan
agama Masehi. Bagaimanapun juga
pengaruh itu tetap merasuk ke
dalam hati mereka. Logikanya
yang tampak cemerlang
sekalipun pada dasarnya masih
bersifat sofistik -
dapat juga menarik kepercayaan paganisma
yang polytheistik, yang
dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya
kira inilah yang lebih kuat mengikat
jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap
zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa
yang lemah itu
tidak sanggup mencapai tingkat yang
lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta
alam sehingga ia dapat memahami
adanya kesatuan yang menjelma
dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud
ini, menjelma dalam
Wujud Tuhan Yang Maha
Esa. Kepercayaan demikian
itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya.
Lalu tak berdaya
lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya
manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa
yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran
yang masih kabur
dan rendah tentang pengertian wujud
dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu
dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai
sekarang masih dapat
kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan
dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula
dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa
Petrus di Roma, mereka
melihat kaki patung
Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena
diciumi oleh penganut -penganutnya,
sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali
mana-mana yang rusak.
Melihat
semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan
kepada iman yang sebenarnya
Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi
tetangga mereka serta cara-cara
hidup paganisma yang masih ada
pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih
menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka.
Betapa kita tak akan memaafkan mereka.
Situasi demikian ini
sudah begitu berakar di
seluruh dunia, tak putus-putusnya
sampai saat ini, dan saya kira memang
tidak akan pernah
berakhir. Kaum Muslimin dewasa
inipun membiarkan paganisma itu
dalam agama mereka, agama yang datang
hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan
segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara
penyembahan berhala orang-orang Arab
dahulu itu banyak sekali
macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan
dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri
telah menghancurkan berhala-berhala itu
dan menganjurkan para sahabat
menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin
sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang
berhubungan dengan pengaruh
itu dalam sejarah dan
lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan
yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam
abad kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan
tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam, paganisma
dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
Di samping
itu menunjukkan pula
bahwa kekudusan berhala-berhala
itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap
kabilah atau suku mempunyai
patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah
inipun berbeda-beda pula antara sebutan
shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam
ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian
juga dibuat dari batu, sedang
nushub adalah batu karang tanpa
suatu bentuk tertentu.
Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan
batu karang itu
berasal dari langit
meskipun agaknya itu adalah batu
kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala
yang baik buatannya agaknya yang berasal
dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban
mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau
di Kinda. Sayang
sekali, buku-buku tentang berhala
ini tidak melukiskan
secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali
tentang Hubal yang dibuat
dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya
pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy
diganti dengan lengan dari emas.
Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah
di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat
itu.
Tidak cukup
dengan berhala-berhala besar
itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan
sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi
kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan
berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi
patungnya itu ketika
akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula
dalam perjalanan bila patung
itu mengijinkan ia bepergian.
Semua patung itu, baik yang ada dalam
Ka'bah atau yang
ada disekelilingnya, begitu juga
yang ada di semua penjuru
negeri Arab atau kabilah-kabilah
dianggap sebagai perantara antara
penganutnya dengan dewa besar.
Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai
pendekatan kepada Tuhan dan
menyembah kepada Tuhan sudah
mereka lupakan karena
telah menyembah berhala-berhala itu.
Meskipun
Yaman mempunyai peradaban
yang paling tinggi
di antara seluruh jazirah
Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan
pengairannya yang baik, namun
ia tidak menjadi pusat
perhatian negeri-negeri sahara
yang terbentang luas itu,
juga tidak menjadi
pusat keagamaan mereka. Tetapi
yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah sebagai rumah Ismail. Ke
tempat itu orang berkunjung dan ke
tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat
dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh
karena itu, dan sebagai markas perdagangan
jazirah Arab yang istimewa, Mekah
dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula
ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad,
dan dengan demikian
ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman.
Ka'bah tetap disucikan
dan suku Quraisy masih menempati
kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi
yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
Sebagai orang Kristiani, saya menganggap tulisan ini cukup obyektif sebagai analisis sejarah.
BalasHapus