Oleh Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi
Tanya: Apakah tindak
kekerasan memiliki tempat di dalam Islam? Apakah jihad, menjalankan hudûd,
dan tingkat tertinggi amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai
manifestasi tindak kekerasan tercela?
Jawab: Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, sebaiknya kami membahas sebuah prolog yang dengan itu akan
diketahui apakah semua manifestasi tindak kekerasan tercela dan harus dicela?
Ataukah sebagian dari manifestasi tindak kekerasan adalah sebuah keharusan yang
wajib dilaksanakan, dan jika tidak, keamanan sosial akan terancam?
Secara naluri, manusia
hidup bermasyarakat. Untuk memenuhi segala kebutuhan material dan spiritualnya
ia selalu hidup bersama masyarakatnya dan dengan membentuk kehidupan
bermasyarakat tersebut ia ingin memanfaatkan segala jenis produk yang dihasilkan oleh masyarakatnya secara lebih baik dengan cara membeli atau
mengerjakan sebuah pekerjaan serupa sebagai imbalannya. Tujuan utamanya dari
itu semua adalah supaya ia dapat memenuhi semua kebutuhan kebutuhannya secara
lebih baik. Sayangnya, ada sebagian orang dengan tanpa ingin mengeluarkan jerih
payah sedikit pun yang ingin memanfaatkan hasil usaha orang lain dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan jalan merampas hak dan mengorbankan kepentingan-kepentingannya.
Gesekan-gesekan antar kepentingan ini adalah akibat logis sebuah kehidupan
bermasyarakat. Untuk mengantisipasi dan mencegah munculnya (ekses negatif)
gesekan-gesekan antar kepentingan tersebut diperlukan adanya sebuah hukum dan undang-undang
yang berfungsi sebagai pembatas.
Atas dasar ini, tujuan
dari hidup bermasyarakat tersebut (menggunakan segala anugerah alam demi
terwujudnya kesempurnaan material dan spiritual seluruh anggota masyarakat)
hanya dapat direalisasikan dengan adanya sebuah hukum dan undang-undang yang
mengatur segala hak dan kewajiban mereka.
Undang-undang yang
merupakan sekumpulan perintah dan larangan yang bertujuan mengatur setiap
perilaku manusia dalam menjalani hidup bermasyarakat, pertama kali akan
disampaikan kepada anggota masyarakat sehingga – dengan sikap tunduk-patuh
terhadap segala instruksinya – mereka dapat saling bantu-membantu dalam
memanfaatkan (hasil-hasil) hidup bersosial. Akan tetapi, kita menyadari bahwa
di sepanjang sejarah akan ditemukan orang-orang yang bersikap acuh tak acuh
terhadap undang-undang dan dengan menginjak-injak hak-hak oirang lain, mereka
ingin mengacaukan kententraman, keamanan, dan ketenangan masyarakat.
Atas dasar ini, menurut
hukum akal sehat harus ada sebuah kekuatan yang menjamin dijalankannya
undang-undang dan memberantas orang-orang yang bersalah. Dengan demikian, harus
dibentuk sebuah kekuatan yang berkuasa yang dapat menjamin perealisasian
undang-undang dan menentukan segala bentuk hukuman dan pembatasan-pembatasan
bagi orang yang melanggarnya. Dibentuknya kepolisian, lembaga kehakiman,
pengadilan, rumah-rumah tahanan, pengasingan dan lain sebagainya adalah demi
menjamin terealisasikannya dua tujuan tersebut.
Dari sisi lain, adanya
ancaman dari pihak luar yang mengancam eksistensi dan ketentraman sosial sebuah
negara atau kemungkinan munculnya sebuah krisis besar (yang berskala) nasional,
hal ini menuntut dibentuknya sebuah angkatan militer kuat yang dapat
menanggulangi semua ancaman dan krisis di atas.
Atas dasar ini, seluruh
negara di dunia pasti memiliki beberapa kekuatan (resmi) guna
menanggulangi setiap pelanggaran, mencegah perampasan terhadap hak-hak orang
lain, dan menghadapi segala bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar, serta
sesuai dengan kadar pelanggaran, ia akan menggunakan tindak kekerasan. Dan
dalam kondisi tertentu, ia akan mengeluarkan sebuah hukuman atau mengumumkan
perang. Tujuan dari semua itu adalah menjaga hak-hak anggota masyarakat yang
lian dan merealisasikan keamanan sosial.
Atas dasar itu semua,
menggunakan tindak kekerasan selama tidak ada jalan lain kecuali itu dan
dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, dapat diterima oleh semua
sistem negara di dunia ini.
Islam juga mengesahkan
tindakan logis di atas dan ia telah menentukan segala jenis hukuman bagi mereka
yang ingin mengacaukan keamanan harta dan jiwa muslimin atau penduduk
non-muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat muslim. Akan tetapi, Islam
tidak hanya membatasi kehidupan dan kemaslahatan manusia dengan kehidupan
dan kemaslahatan duniawi. Ia menukankan bahwa Allah menjadikan kehidupan dunia
manusia ini hanya sekedar pengantar untuk mencapai sebuah tujuan yang lebih
mulia; yaitu, kehidupan abadi di alam akhirat, dan Ia memberikan hak kepada
setiap manusia untuk menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan abadi. Dengan
demikian, undang-undang yang dibuat untuk mengatur kehidupan manusia, baik
dalam segi individu maupun sosial, disesuaikakn dengan kepentingan dan
kemaslahatan duniawi dan ukhrawinya.
Atas dasar ini, Islam
tidak akan memaafkan segala pelanggaran terhadap semua hukum dan undang-undang
(yang telah dibuatnya), baik yang bersifat individual maupun sosial. Meskipun
ia hanya menganggap pelanggaran terhadap hukum-hukum yang berifat individual –
selama tidak dilakukan di depan umum yang akan menimbulkan dampak sosial –
sebagai pelanggaran yang bersifat etis dan pembalasannya ditangguhkan hingga
hari kiamat, akan tetapi, ia menganggap setiap pelanggaran terhadap hukum-hukum
yang bermuatan sosial sebagai pelanggaran juristik dan ia telah menentukan
jenis hukuman untuk itu. Dan dalam kondisi tertentu, ia tidak mengizinkan kita
untuk beriba hati terhadap para lpelanggar. “Wanita pezina dan lelalki
pezina cambuklah setiap orang dari mereka sebanyak seratus kali, dan janganlah
kalian merasa iba hati terhadap mereka dalam menjalankan agama Allah jika
kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”.
Perlu diingat, menggunakan
tindak kekerasan di luar batas hukum dan undang-undang adalah sebuah
pelanggaran juga dan di dalam negara Islam, setiapmpelanggaran terhadap hukum
dan undang-undang yang telah ditetapkan berdasarkan Islam adalah sebuah
pelanggaran.
Kesimpulannya, baik di
dalam (sistem) negara-negara yang tidak berasaskan agama maupun di dalam sistem
negara Islam, menggunakan tindak kekerasan dalam kondisi tertentu adalah sebuah
keniscayaan, dan hal itu tidak dapat dilupakan begitu saja. Karena dengan
demikian, keamanan harta, ketentraman jiwa dan spiritual masyarakat akan
terancam, serta kewibawaan negara dan rakyat akan sirna. Atas dasar ini, tindak
kekerasan secara sendirinya tidak memiliki nilai positif dan juga tidak
mempunyai nilai negatif. Nilai itu bergantung kepada kondisi dan faktor-faktor
pelaksanaannya.
Dalam kesempatan ini, ada
baiknya kita membahas pandangan al-Qur’an berkenaan dengan masalah ini sehingga
kita dapat mengenal pandangan Islam (tentang hal itu) dengan lebih baik dan
jitu.
Di dalam al-Qur’an tidak
akan ditemukan kosa kata al-khusyûnah (yang berarti kekerasan). Yang ada
hanyalah dua kosa kata yang sinonim dengannya. Yaitu al-ghilzhah dan asy-syiddah.
Al-ghilzhah – secara lenguistik – berarti bertindak keras, tegas,
dan berperangai kasar; kebalikan ar-riqqah (yang berarti lemah-lembut,
lunak). Asy-syiddah berarti ghilzhah, ketegaran, dan keuletan;
juga kebalikan ar-riqqah. Kesimpulannya, al-khusyûnah berarti syiddah
dan berperangai keras, kebalikan lemah-lembut.
Di dalam al-Qur’an, –
menurut pendapat meufassirin – dua dosa kata al-ghilzhah dan asy-syiddah
tersebut digunakan sesuai dengan arti lenguaistiknya. Sebagai contoh, Allah
berfirman dalam surah Al-Tahrîm ayat 9, “Wahai Nabi, perangilah
orang-orang kafir dan munafikin dan bersikaplah tegas (dan keras) terhadap
mereka”.
Dalam surah Al-Taubah ayat
123 Ia berfirman, “Hendaknya mereka (orang-orang kafir) melihat kekerasan
(baca : kekuatan) dalam diri kalian”.
Dalam surah Al-Fath
ayat 29 Ia berfirman, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersamanya bertindak tegas dan keras terhadap orang-orang kafir dan bertindak
lemah-lembut terhadap sesama mereka”.
Ayat-ayat di atas dan
ayat-ayat yang serupa mengindikaskan sisi kekerasan dan ketegasan hukum-hukum
Islam yang akan dijalankan pada kondisi tertentu dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh Allah SWT.
Atas dasar ini, meskipun
Islam adalah agama rahmat dan kasih-sayang, dan Allah adalah lebih pengasih
dari para pengasih serta dasar utama dalam Islam adalah kecintaan dan
kasih-sayang, akan tetapi, hal itu tidak menafikan bertindak tegas dan
menggunakan tindak kekerasan pata tempatnya. Dengan demikian, mereka yang
berpendapat bahwa Islam menentang segala bentuk tindak kekerasan meskipun hal
itu dibutuhkan dan atas dasar perintah-Nya, pendapat semacam ini tidak memiliki
landasan al-Qur’an sama sekali. Karena menurut al-Qur’an, Rasulullah SAWW dan
mukminin selalu bertindak tegas dalam menghadapi orang-orang kafir dan tidak
pernah bersikap lemah-lembut terhadap mereka yang ingin mempermainkan keyakinan
mukminin meskipun ketika berhadapan dengan saudara seiman, mereka menunjukkan
sikap lemah-lembut.
Oleh karena itu,
menggunakan tindak kekerasan (bersikap tegas) terhadap mereka yang ingin
mempermainkan Islam dan hukum-hukumnya atau mengancam (keamanan) jiwa, harta
dan harga diri muslimin bukan hanya tidak termask manifestasi kekerasan yang
negatif, bahkan hal itu adalah perilaku Rasulullah SAWW dan mukminin sejati.
Pada hakikatnya, bertindak tegas dan keras demi menjalankan perintah-perintah
Allah yang dapat terwujudkan dalam bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar
ini tidak timbul dari dorongan hawa nafsu atau (ingin menutupi)
kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri kita. Akan tetapi, hal itu diperlukan
untuk menjaga kelestarian nilai dan hukum-hukum Islam. Karena kebahagiaan dunia
dan akhirat manusia bergantung sepenuhnya kepada pengmalan Islam dan
hukum-hukumnya, serta untung dan rugi mengamalkan atau tidak mengamalkan
hukum-hukum tersebut kembali kepada mereka sendiri. Orang-orang yang
menghalangi perealisasian hukum Islam (dalam kehidupan nyata), pada hakikatnya
mereka telah menutup pentu jalan menuju kesempurnaan bagi seluruh manusia.
Tugas kita adalah hendaknya kita memerangi orang-orang seperti mereka. Jika
teguran lisan tidak berpengaruh, dengan izin pemimpin negara Islam kita
menggunakan tindak kekerasan di atas. Dan bahlkan pada kondisi tertentu, kita
dapat menjalankan hukuman gantung bagi mereka.
Atas dasar ini, harus
dibedakan antara tindak kekerasan yang negatif dan tindak kekerasan yang telah
ditekankan oleh Islam, dan jangan kita terjebak oleh tipu daya setan berwajah
manusia yang dengan menganggap bahwa kedua jenis kekerasan di atas memiliki
satu esensi, mereka berusaha untuk membinasakan semangat bergama dan kewibawaan
Islam. Jika tidak demikian, (akibatnya bisa fatal). Karena mereka akan
beranggapan bahwa Rasulullah SAWW dan para imam ma’shum as adalah manifestasi
kekerasan, mempekenalkan hukum Qishâsh (kepada khalayak) sebagai hukum
yang non-insani, dan menganggap pembantaian Imam Husein as di Karbala sebagai
balas dendam masyarakat terhadap kekejaman Rasulullah SAWW di perang Badar dan
Hunain.
Tanya: Apakah Wali Faqîh
dalam menjalankan pemerintahan dapat menggunakan tindak kekerasan?
Jawab: Dalam pandangan
mazhab Syi’ah, keabsahan sebuah pemerintahan harus didasari oleh restu Ilahi.
Akan tetapi, untuk merealisasikannya (dalam kehidupan masyarakat sehingga ia
berhak untuk) menjalankan hukum-hukum Ilahi, keabsahan dengan sendirinya tidak
cukup. Karena, meskipun ia memiliki landasan teoritis sehebat apapun selama
tidak didukung oleh masyarakat, pemerintahan itu tidak layak dijalankan. Mereka
yang mengetahu sejarah Islam akan memahami kelemahan asumsi yang berpendapat
bahwa Islam menang dan berhasil mendirikan negara dengan kekuatan pedang.
Landasan agama Islam adalah tabligh (menyampaikan) dan menuntun manusia menuju
kehidupan (ideal) dengan didasari oleh akan dan logika. Banyak ayat al-Qur’an
yang membuktikan kebenaran asumsi di atas, di antaranya:
“Kami telah menunjukkan
jalan baginya; adakalanya ia bersyukur dan adakalanya ia kufur”.
“(Tugas) Rasulullah
SAWW hanyalah menyampaikan”. “Barangsiapa
berkehendak (untuk beriman), maka berimanlah dan barangsiapa mau (kufur), maka
kufurlah”.
Meskipun Rasulullah SAWW
dan para imam ma’shum as memiliki mukjizat dan mampu untuk membentuk negara
melalui perantara tangan ghaib, akan tetapi, mereka tidak melakukan hal itu.
Rahasianya dadalah Islam menginginkan masyarakat menerima Islam dan (wujud)
negara Islam atas dasar pengetahuan dan kesadaran. Karena sebuah negara dapat
berdiri tegak dan abadi jika ia berhasl menaklukkan hati mesyarakatnya. “Dan
Kami turunkan bersama mereka kitab dan mîzân supaya manusia merealisasikan
keadilan”. Allah menurunkan agama dan syari’at dengan tujuan supaya manusia
membentuk sebuah negara yang adil dan bijaksana atas dasar pengetahuan dan
logika.
Islam meyakini bahwa
kebenaran harus dijelaskan kepada umat manusia dan tidak seorang pun berhak
mencegahnya meskipun setelah mengenalkebenaran mereka justru mengingkarinya.
Alâ kulli hâl, jika masyarakat menerima Islam sebagai agama yang
benar dan Rasulullah SAWW, para imam ma’shum as atau Wali Faqîh sebagai
pemimpin, maka mereka berkewajiban untuk mendirikan negara dan mengatur
masyarakat atas dasar hukum-hukum Islam. Di samping itu, mereka juga harus
memberantas orang-orang yang – di samping mereka enggan untuk menerima Islam –
berusaha untuk menentang pemerintah. (Pendek kata), mereka kharus menjaga
keutuhan agama dan negara Islam serta “memaksa” para penentang untuk menaati
(segala undang-undang yang berlaku).
Menjaga (keutuhan)
hukum-hukum Islam adalah salah satu tugas penting negara Islam, dan meremehkan
hal itu yang berkonsekuensi pelecehan terhadapnya dan menutup jalan atas
terpenuhinya kesempurnaan bagi anggota masyarakat adalah sebuah “dosa besar”
yang tak terampuni.
Akan tetapi, – seperti
yang telah kami singgung sebelumnya – kekuatan seorang hakim syar’î dan Wali
Faqîh berasal dari masyarakat, dan hanya dukungan mereka terhadapnya yang dapat
memberikan hak baginya untuk menjalankan negara. Oleh karena itu, meskipun
Rasulullah SAWW telah memilih Imam Ali as sebagai penggantinya pada peristiwa
Ghadi Khum, karena masyarakat tidak bersedia berjalan berasamanya dan
mendukungnya, beliau tidak bersedia mendirikan negara. Akan tetapi, – seperti
telah kita ketahui bersama – begitu mereka bersedia mendukungnya untuk
menjalankan hukum-hukum dan negara Islam, beliau bersikap tegas dalam
menghadapi para musuh Islam, dan perang Jamal, Shiffîn, dan Nahrawân adalah
contoh dari sikap tegas beliau tersebut.
Atas dasar ini, keabsahan
seorang pemimpin dalam arti ia berhak untuk memimpin bersumber dari restu Ilahi
dan perealisasian hal itu berasal dari dukungan masyarakat. Dengan dukungan
masyarakat tersebut, ia berkewajiban untuk memberantas para penentang negara
dan “memaksa” mereka untuk patuh terhadap norma dan undang-undang Islam.
Meskipun demikian, ia
tidak berhak untuk ikut campur tangan dalam urusan pribadi masyarakat. Mereka
bebas (menentukan sikap) dalam ruang lingkup masalah pribadi dan negara tidak
berhak untuk ikut campur tangan. Akan tetapi, hal itu masih bisa ditoleransi
selama mereka tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan Islam secara
terang-terangan dan melanggar hukum-hukum Islam meskipun hukum yang bersifat
pribadi di hadapan khalayak. Hal ini dikarenakan melakukan sebuah maksiat di
tengah-tengah masyarakat secara terang-terangan dapat mengurangi nilai buruk
maksiat tersebut, bermunculannya berbagai dekadensi sosial dan terancamnya
kemaslahatan masyarakat. Pada hakikatnya, hal itu akan menghambat masyarakat
untuk mencapai kesempurnaan duniawi dan ukhrawi mereka. Dengan demikian, Wali
Faqîh harus memberantas segala bentuk pelanggaran hukum. Pertama kali dengan
cara menegor, dan jika hal itu tidak berpengaruh, maka ia dapat – dalam upaya
menegakkan supremasi hukum – menggunakan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar