Oleh A Fatih Syuhud (Republika, November 2003)
Edward Said, yang
meninggal pada 25 September di usianya yang ke 67 karena leukaemia, merupakan
salah satu kritikus sastra paling berpengaruh pada seperempat akhir abad 20.
Sebagai profesor sastra dan perbandingan Inggris di Universitas Columbia, New
York, dia secara luas dianggap sebagai representasi pos-strukturalis Kiri di
Amerika.
Sebenarnya dia menderita leukaemia sejak tujuh tahun yang lalu. Apa yang membuat orang kagum adalah semangatnya yang tidak pernah padam, kendati dia sadar bahwa ajal sudah diambang pintu. Masalah Palestina tentunya telah ikut ambil bagian dalam memotivasi sisa-sisa hidupnya, di samping banyak hal yang menjadi minatnya seperti sastra kontemporer, seni, musik dan kehidupan itu sendiri.Edward Said tidak mempercayai pandangan kepemilikan budaya, yakni yang menganggap bahwa ini budaya kita dan itu bukan. Hal ini mungkin karena dia, seperti yang pernah dia katakan sendiri, adalah “anjing liar” yang tidak bertuan. Ketika masih anak-anak, dia ingat bagaimana ruang kelas tempat dia belajar dipenuhi oleh bangsa Yahudi, Muslim, Armenia, dan Yunani. Dia dan keluarganya meninggalkan Palestina ketika dia berusia 12 tahun dan ini mungkin bukanlah kebetulan bahwa kota yang akhirnya dia tempati sebagai tempat tinggal di AS adalah New York, sebuah kota yang menurut Said, “paling kurang bau Amerika-nya” dibanding kota-kota lain. Kota dengan berbagai budaya. Kota “anjing liar”. Hubungan Said dengan Amerika merupakan sesuatu yang kompleks. Dia terdidik di sana, dan mengabdikan seluruh kehidupan profesionalnya – selama 40 tahun dengan Columbia University – dan merasa bagai di rumah sendiri di AS. Dan pada waktu yang sama dia tetap mempertahankan “perspektif gandanya”: sebagai seorang Amerika pembangkang; dan seorang Arab Palestina sekaligus.
Sebenarnya dia menderita leukaemia sejak tujuh tahun yang lalu. Apa yang membuat orang kagum adalah semangatnya yang tidak pernah padam, kendati dia sadar bahwa ajal sudah diambang pintu. Masalah Palestina tentunya telah ikut ambil bagian dalam memotivasi sisa-sisa hidupnya, di samping banyak hal yang menjadi minatnya seperti sastra kontemporer, seni, musik dan kehidupan itu sendiri.Edward Said tidak mempercayai pandangan kepemilikan budaya, yakni yang menganggap bahwa ini budaya kita dan itu bukan. Hal ini mungkin karena dia, seperti yang pernah dia katakan sendiri, adalah “anjing liar” yang tidak bertuan. Ketika masih anak-anak, dia ingat bagaimana ruang kelas tempat dia belajar dipenuhi oleh bangsa Yahudi, Muslim, Armenia, dan Yunani. Dia dan keluarganya meninggalkan Palestina ketika dia berusia 12 tahun dan ini mungkin bukanlah kebetulan bahwa kota yang akhirnya dia tempati sebagai tempat tinggal di AS adalah New York, sebuah kota yang menurut Said, “paling kurang bau Amerika-nya” dibanding kota-kota lain. Kota dengan berbagai budaya. Kota “anjing liar”. Hubungan Said dengan Amerika merupakan sesuatu yang kompleks. Dia terdidik di sana, dan mengabdikan seluruh kehidupan profesionalnya – selama 40 tahun dengan Columbia University – dan merasa bagai di rumah sendiri di AS. Dan pada waktu yang sama dia tetap mempertahankan “perspektif gandanya”: sebagai seorang Amerika pembangkang; dan seorang Arab Palestina sekaligus.
Bila sudah menyangkut
Palestina, tidak ada yang dapat menghentikan Said. Selama bertahun-tahun dia
manfaatkan seluruh piranti yang ada yang dia kuasai. Tetapi Said sempat putus
asa melihat kenyataan bahwa dia tidak punya teman seide: “Negara-negara Arab di
sekitar kami sangat, sangat licik”. Bahwa aliansi yang dulu terbangun kini tak
lagi eksis. Aliansi yang dulu memerangi Israel: “Anda tidak akan dapat
menemukan musuh terburuk dari Israel, karena mereka adalah orang-orang yang
pernah mengalami berbagai macam kesengsaraan. Mereka memiliki sebuah insting
untuk bertahan yaitu kejam dan tak kenal kasihan. Di samping itu, Israel
mengantongi dukungan penuh AS.”
Edward Said juga kecewa
pada pimpinan Palestina. Yasser Arafat, yang dia kenal dengan baik, dia anggap
sebagai figur yang jenius untuk bertahan. Arafat, kata Said, berusaha untuk
menyatukan rakyatnya, sayangnya tidak punya visi. Said yakin bahwa Arafat tidak
memberikan kepemimpinan moral yang dibutuhkan pada rakyat Palestina, tidak
sebagaimana seorang Mandela yang selama bertahun-tahun di penjara tetap
mempertahankan prinsip satu orang, satu suara. Said berpendapat bahwa jual diri
Arafat dalam negosiasi Oslo merupakan momen krusial penyerahan diri.
Ada satu kenangan pahit
ketika Said kembali ke tanah kelahirannya. Pada 1982 ia mengunjungi rumah
familinya di Yerusalem Barat, di mana dia dilahirkan. “Suasana sangat emosional
waktu itu. Rumah itu sama sekali tidak berubah. Aku tunjukkan pada anak-anakku
kamar tempat aku lahir, tapi aku tidak dapat masuk. Ada perasaan aneh, ketika
melihat di atas negaraku terdapat negara baru. Dan negara baru itu menolak sama
sekali keberadaan negara yang sudah eksis lebih dulu.”
Buku Said yang paling
berpengaruh, Orientalism (1978), dianggap memiliki andil dalam membantu merubah
arah sejumlah disiplin ilmu dengan mengekspos adanya persekongkolan antara
pencerahan dan kolonialisme. Sebagai seorang humanis dengan pandangan sekuler
mendalam, kritiknya atas tradisi besar Pencerahan barat, dilihat oleh banyak
kalangan di Barat, sebagai kontradiktif. Begitu juga, pengerahan diskursus
humanistik untuk menyerang tradisi humanisme kultural, dan pada waktu yang
sama, mempertanyakan integritas riset kritis terhadap bidang-bidang yang
sensitif secara kultural seperti Islam, telah membuat lega kalangan
fundamentalis yang menganggap kritik atas tradisi atau teks mereka sebagai di
luar batas.
Pengaruh Said, sebagaimana
disinggung di awal tulisan, tidak hanya terbatas pada bidang diskursus
akademis. Sebagai seorang selebritis intelektual di Amerika, ia juga dikenal
sebagai kritikus opera, pianis, selebritis televisi, politisi, pakar media,
kolumnis populer dan dosen publik. Dia dijuluki “profesor teror” oleh majalah
sayap Kanan Amerika Commentary; pada tahun 1999, ketika ia sedang bergelut
melawan leukaemia, majalah yang sama menuduhnya sebagai telah memalsukan
statusnya sebagai pengungsi Palestina guna menambah nilai advokasi pada perjuangan
Palestina, dan juga dianggap telah memalsu klaimnya bahwa dia pernah sekolah di
Yerusalem sebelum merampungkan pendidikannya di AS.
Permusuhan yang dihadapi
Edward Said dari lingkaran pro Israel di New York tentu bisa diduga, mengingat
kritiknya yang tajam atas pelanggaran HAM Israel terhadap rakyat Palestina dan
kecamannya yang terus terang atas kebijakan AS di Timur Tengah. Uniknya,
perlawanan pada Said juga muncul dari kalangan rakyat Palestina sendiri yang
menuduh Said sebagai telah mengorbankan hak-hak rakyat Palestina dengan
memberikan konsesi-konsesi tak berdasar pada Zionisme.
Said mengakui bahwa
dikecualikannya Israel dari kriteria normal, yang dibuat ukuran standar bagi
bangsa-bangsa lain, adalah disebabkan oleh tragedi Holocaust. Tetapi sambil
mengakui signifikansi unik Israel, ia tidak mengerti mengapa warisan trauma dan
horor yang pernah dialami Yahudi dieksploitasi mereka untuk mengusir dan
merampas hak-hak rakyat Palestina, sebuah bangsa yang “sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan kompleksitas bangsa Eropa,” tulisnya dalam Politics of
Dispossession (1994).
Terpilih sebagai anggota
Palestine National Council (PNC) pada tahun 1977, sebagai seorang intelektual
independen, Said menolak ikut ambil bagian dalam perjuangan faksional, sambil
tetap memanfaatkan otoritasnya untuk membuat intervensi strategis. Dia menolak
perjuangan bersenjata dan pendukung awal dari solusi dua-Negara, yang secara
implisit mengakui eksistensi negara Israel. Kebijakan ini diambil pada
pertemuan PNC di Aljazair pada 1988.
Begitu proses damai
mendapatkan momentum, Said justru mengambil posisi lebih kritis dan pada 1991
dia mengundurkan diri dari PNC. Menurutnya, deklarasi Oslo terlalu banyak
menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Skenario Oslo yang berisi
penarikan mundur Israel dari Gaza dan Jericho sebelum penarikan mundur dari
kawasan-kawasan lain serta kesepakatan atas status akhir Yerusalem, telah
menjadi “instrumen penyerahan diri bangsa Palestina, sebuah Versailles-nya
Palestina.”
Sampai akhir hayatnya,
Said dianggap menjadi duri dalam daging Otoritas Palestina. Warga Palestina di
pengasingan yang paling terkenal inipun menjadi korban sensor oleh bangsanya
sendiri di mana kondisi intoleransi, ketidakbebasan dan korupsi semakin
mengelilingi Arafat dan rejimnya. Sikap pemerintah Palestina yang
mengisolasinya ini sama sekali tidak memadamkan semangatnya untuk terus
memperjuangkan Palestina dari pengasingannya di New York.
Keterlibatan Edward Wadie
Said dengan Palestina akhirnya berujung pada 25 Desember 2003. Said, yang lahir
pada 1 Nopember 1935, dan menikah dengan Mariam Cortas pada 1970 dan
dianugerahi dua anak, itupun menghembuskan napasnya yang terakhir. Siapakah
yang dapat menghentikan kematian? Sebagaimana pernah dia katakan, “Dengan
penyakit seperti leukaemia, ketika kita dengar kata itu pertama kalinya sungguh
terasa sangat sulit. Aku membutuhkan waktu beberapa bulan untuk dapat tenang.
Tetapi itu semua adalah masalah disiplin. Bagaimanapun kita harus mati. Sebelum
kita masuk ke liang lahat, kita usahakan untuk dapat memanfaatkan hidup ini
sebaik mungkin.”
Dia berbuat persis seperti
apa yang dia katakan, memperjuangkan Palestina dengan kata-kata dan
tulisan-tulisannya yang terus mengalir sampai akhir hayatnya dari sebuah tempat
yang dia sebut sebagai kota “anjing liar” seperti dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar